x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Rabu, 10 Agustus 2022 08:21 WIB

Sforeuita

Pada saat itu, Domma yang lebih mengejar mimpinya menjadi awak kapal layar berharap akan membawa dirinya mengelilingi samudra di planet ini. Sedangkan Amma yang penuh kepastian, merebut harapannya untuk memiliki ruangan di gedung Ei45. Air mendidih, dan setum ketel logam terguyur uap, membuat keduanya saling menatap. Air matang, namun Domma dan Amma dibeku renjana, yang tidak pernah mereka sadari selama ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I

 

 

Sebaiknya tetap di sini.”

Domma memandang langit yang masih mengumbar hujan dengan begitu deras.....

Hatinya cukup tenang setelah melihat pelita dari warna kornea milik Amma. Meski tubuhnya mulai membiru dan menggigil, tetapi kali ini, Domma berhasil membujuknya untuk menetap.

Mungkin cuaca menghendaki percakapan di antara keduanya benar-benar terjadi dalam ruang sejuk selengkap kesejukan pegunungan yang telah ditinggalkan keduanya sejak puluhan tahun lalu.

Di mana, pada saat itu, Domma yang lebih mengejar mimpinya menjadi awak kapal layar berharap akan membawa dirinya mengelilingi samudra di planet ini. Sedangkan Amma yang penuh kepastian, merebut harapannya untuk memiliki ruangan di gedung Ei45.

Petir-petir menyilang, bergetar, mengguncang keras pada lantai rumah bernuansa kumbang. Sebuah rumah baja yang hanya akan menyala manakala Domma melabuh. Sebuah rumah peninggalan Aki yang diberikanya langsung kepada Domma sebelum dirinya menjadi awak kapal di laut Atineu.

Sepertinya hujan akan lama. Aku akan memasak air.”

Amma mengikuti Domma, dengan langkahnya yang perlahan, dirinya kembali teringat masa kecil yang dihabiskannya pada pendapa di rumah ini. Pendapa itu telah tiada, namun ingatannya masih begitu kuat. Sebuah pendapa yang telah mengajarkannya bagaimana menelusuri pengetahuan waktu dan melatihnya untuk membuat inovasi waktu ke dalam beberapa pola desain pergerakan jaman.

Kedua matanya yang teduh menemukan dipan kayan, dipan yang sebenarnya berbahan material baja di sudut ruangan dan menghadap ke perapian. Dipan kayan dengan simbol ukiran irisan-irisan ketam makara yang dibuat langsung dengan keduabelas jari Aki.

Pada masa hidupnya, Aki adalah orang yang sangat dihormati karena dirinya telah membawa koloni di wilayah ini menjadi desain percontohan dalam bagan arus swadaya. Namun, keahlian ini tidak ada di dalam diri Domma, atau mungkin, Domma memilih penghidupan yang lain, yang jauh dari darat. Kehidupan bebas tanpa adanya batas pasti; samudra.

Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”

Aku mengikuti langkahku. Tapi hujan mendadak turun, dan itu jauh dari bayanganku. Saat itu, aku lihat langit masih cerah di daerah Sulang. Hanya beberapa meter, lantas, hujan lepas deras.”

Maksudku, bagaimana kau tahu, kalau aku sedang berlabuh?”

Aku tidak tahu.”

Air mendidih, dan setum ketel logam terguyur uap, membuat keduanya saling menatap. Air matang, namun Domma dan Amma dibeku renjana, yang tidak pernah mereka sadari selama ini.

Di musim yang ilusif

kita saling mengingat

cukup dalam satu nama

memetik melodi ganjil

saat hanyut mengalir

membadai bagai tropis

 

 

(Bersambung)

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler