x

Photo by Tikkho Maciel on Unsplash

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 26 Agustus 2022 10:51 WIB

Mengejar Penjahat


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerita ini bukan tentang saya.

Hari itu adalah hari yang normal di bulan April. Tidak terlalu cerah dengan awan hujan kelabu. Busana saya mengikuti ramalan cuaca: jeans hitam, jaket hitam, syal abu-abu rajutan ibu saya.

Ini adalah hari pertama saya merasa ingin berjalan-jalan setelah pungsi lumbar. Kalau ada yang belum tahu, itu adalah bahasa Indonesia untuk spinal tap, tentang jarum yang disematkan di antara ruas tulang belakang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Biasanya saya tidak membawa apa-apa, tetapi kebetulan  kali ini saya membawa sebuah kue raksasa dari koperasi klinik.

Saya berjalan pulang melalui taman. Kaki saya mulai lelah, tetapi saya terus berjalan.

Seorang pria melewati saya, hampir membuat kue itu terbang. Dia memakai kacamata berbingkai hitam, baju olahraga biru pudar dengan benang bagian bawah terurai, dan sandal jepit hitam kotor. Rambutnya berwarna cokelat tua yang baru dipangkas, karena di belakang telinganya terdapat benjolan bergaris merah yang dapatkan jika mencukur.

Hal berikutnya, seorang pria lain meneriakkan sesuatu, dan dia berlari. Rambutnya beruban banyak meski belum terlalu tua. Mengenakan pakaian yang biasa dipakai orang-orang pada hari Sabtu sore. Kamu tahu. Celana jeans dan kaos rock band yang kusut.

Percakapannya seperti ini:

"Hentikan dia!"

“Apa?” Saya memegang kue lebih erat.

“Orang itu, hentikan dia. Dia memecahkan kaca mobil saya!”

Si pria yang berlari melihat ke arah saya, dan saya tahu apa yang dia lihat. Seorang pria jangkung, cukup berotot untuk mengejar si buronan. Saya yang dulu.

Dia tidak mengira saya tidak dapat membantunya, tetapi cukup banyak orang asing yang kenal saya. Otot-otot itu tidak selalu menuruti tuannya kini. Untungnya, mulut saya tahu tugasnya.

"Bang, saya bawa kue," sambil memberi isyarat dengan dagu, kalau-kalau dia tidak melihatnya. “Tapi dia ada di sana, dekat ayunan. Abang bisa menangkapnya sendiri, tidak sulit.”

Dan si buronan masih di sana, terseok-seok. Bahkan belum sampai setengah jalan di taman. Tidak lebih cepat dari saya. Buronan terburuk dalam sejarah kejahatan. Dia menuruni lereng menuju gundukan pasir, dan si pria memburunya. Saya tidak pernah melihat keduanya lagi.

Itu cerita yang bagus, bukan? Sungguh: aksi, ketegangan, kue. Saya menceritakannya berkali-kali. Ini membantu menghabiskan waktu dengan tes darah, di ruang tunggu, bosan atau gugup, mendengarkan "Halo Iqbal, kita mendapatkan hasil tes-mu."

Saya biasanya tidak menjelaskan secara detail tentang kuenya, karena jika kamu membeli bolu pisang yang lebih besar dari kepalamu, itu hanya akan terjadi setelah kamu menemui ahli saraf. Itu hanya reaksi normal.

Semua orang berpihak pada orang yang mengejar, tindakannya tidak perlu dijelaskan. Tapi saya tidak bisa mengingat wajahnya.

Terkadang saya dituntut untuk membuat akhir cerita, tentang pengejaran si pria yang berlari. Menjebak si penjahat di antara dua mobil yang diparkir dan memanggil polisi. Atau meninjunya tepat di perut. Si penjahat tidak pernah lolos dalam cerita saya.

Saya bisa memberikan gambar pria buronan, lengkap dengan detail tonjolan di lehernya. Pakaian olahraganya yang compang-camping dan caranya yang buruk dalam menanggapi krisis. Apakah dia berpikir saya akan mengejarnya?

Saya membayangkan dia perlahan, perlahan, menjauh dari takdirnya. Apakah dia punya rencana?

Apakah dia pikir dia akan menang?

Semoga ending yang sesungguhnya tidak terlalu menyakitkan.

 

Bandung, 26 Agustus 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu