x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Selasa, 30 Agustus 2022 12:41 WIB

Sambil Menatap Kebun Pisang

“Apa istrimu tahu kalau kau dan Omba menjalin hubungan? Aku sudah ingatkan untuk berhati-hati saat kau diberikan kepercayaan untuk menjaga kontrakan, bukan untuk bermain api baru. Aku tidak akan menolongmu berbicara dengan istrimu kali ini, masalahku hari ini cukup membuatku pusing.” --Keduanya hanya terdiam dalam larut sayup-sayup deru yang decit tanpa aroma kretek selain kopi yang hampir habis sambil menatap kebun pisang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kau tahu, tidak akan pernah ada hal-hal yang demikian murni dalam kehidupan bersosial. Bahkan, untuk segala macam blablablablabla, semuanya hanya tentang amukan mewabah.”

Hampir saja kopi hitam yang diseruputnya masuk ke lubang yang salah, lubang hidung. Malam ini, seorang pemuda dengan nametag lengkap pakaian kerjanya duduk di kursi bambu usang warisan dari orang tua kepadanya sepuluh tahun lalu. Bagi siapapun, para penikmat kretek, malam dan kopi hitam menjadi sahabat sejati meregangkan kusutnya penat. Terlihat rapi pada nametag, pemuda itu bernama Komar, seorang kurir jasa pengiriman barang.

Hari ini, dua buah paket yang dikirimnya harus berakhir dengan tegasnya penolakan juga kerasnya amukan dari dua penerima paket tersebut sebagai barang yang telah cacat bukanlah barang-barang yang dipesan oleh mereka. Komar menarik nafasnya dalam-dalam sambil menghisap kretek satu-satunya. Rasa muaknya dan ketidakberdayaan telah membuatnya diam.

Brengsek! Siapa malam-malam gedor-gedor?

Tanpa peduli gedoran dari arah pintu depan rumahnya, Komar lebih memilih untuk mandi sebelum melanjutkan kegiatan terduduk berdiam dalam lamunan tentang hari yang terlewati. Namun cita-citanya yang singkat harus dihapusnya dengan membukakan pintu rumah yang kian getar tergedor. Komar tidak ingin para tetangga melongok ke rumahnya sekedar menyulam gosip-gosip terbaru menjelang tengah malam sebagai obrolan warkop atau perkumpulan belanja sayur ibu-ibu pagi.

“Tolong aku, istriku ngamuk!”

“Masuk. Aku mau mandi. Buat sendiri kopi atau apapun.”

Tanpa mempersilahkan duduk juga membuatkan tamunya segelas kopi hitam, Komar lantas berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan dirinya. Dirinya tahu, Dongki akan menyibukkan dirinya sendiri untuk membuat minuman sekaligus menggeledah isi kulkas Komar dengan bebas. Berbeda halnya dengan Komar, Dongki hidup dari persenan setoran kontrakan petak yang dijaganya. Istrinya bekerja sebagai tukang cuci gosok harian, dan juga, sesekali membantu usaha katering rumahan di perumahan sekitar mereka tinggal.

Sedangkan Komar masih hidup melajang. Menikah menjadi kecemasan lain, meski Komar melepas keinginan ibunya dengan tanpa memperkenalkan seorangpun sebagai pendamping hidupnya. Hasrat sang ibu yang tidak pernah diwujudkan oleh Komar hingga ibunya masuk liang lahat. Kebetulan, rumah orang tua Komar memang berhadap-hadapan dengan deret kontrakan petak yang dijaga oleh Dongki.

Namun, pekerjaan Komar lebih menuntutnya untuk tidak mengintip aktivitas tetangganya sendiri kecuali mereka datang bertamu, berbagi keluh kesah. Komar cukup menjadi seorang yang memilih menghabiskan waktunya untuk berdiam dalam sendiri. Pekerjaannya sudah cukup lengkap untuk membuatnya diam dan tersenyum.

“Mar, kau sudah dengar kabar tentang rumah nomer empat?”

“Apa yang terjadi? Aku tdak tahu. Tadi saat aku pulang, semua tampak baik-baik saja.”

Kedua pria ini akhirnya duduk dan saling diam menghadap kebun pisang di halaman rumah Komar. Dongki seakan lupa dengan alasannya sendiri kenapa dia tergesa menuju Komar. Sedangkan Komar dalam dingin menuju tengah malam, memikirkan, bagaimana mencari uang untuk menggantikan dua buah barang yang telah ditolak oleh para penerima. Kedua barang itu memang bukanlah barang yang murah. Ini sama saja dengan mengorbankan empat bulan persenan dari pekerjaannya.

“Pengisi rumah nomer empat kabur sebelum membayar kontrakan yang menunggak selama hampir dari tiga bulan, dan istriku marah besar karena untuk menutupi uang tunggakan itu, aku mengambil uang istriku. Ini salahku...”

“Apa istrimu tahu kalau kau dan Omba menjalin hubungan? Aku sudah ingatkan untuk berhati-hati saat kau diberikan kepercayaan untuk menjaga kontrakan, bukan untuk bermain api baru. Aku tidak akan menolongmu berbicara dengan istrimu kali ini, masalahku hari ini cukup membuatku pusing.”

Keduanya hanya terdiam dalam larut sayup-sayup deru yang decit tanpa aroma kretek selain kopi yang hampir habis sambil menatap kebun pisang.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler