x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Jumat, 23 September 2022 07:18 WIB

Manggala (Bagian I)

Aroma ikan bakar menghampiri makanan yang telah dipesan mereka. Teh tawar dan kopi berampas, sajian yang meninggalkan kenangan tradisi akan tempat memiliki ruang ingatan lain. Seketika suara ombak menghilang. Salah satu dari empat sekawan, dan yang kebetulan berdomisili di Pangandaran kota memberi tanda melalui bahasa tubuhnya. Ketiganya telah mengerti; diamnya gelombang bukanlah tenang bagi suatu malam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Dahulu, runtuhan itu, stasiun pusat kereta api di Pangandaran. Masih keren kan?”

Mora tetap tergeming. Kedua matanya menatap tajam pada sisa-sisa bangunan yang kini lebih mirip tempat jin beranak pinak. Bagaimana mungkin! Itu bangunan yang sangat bersejarah. Di masa kini masih bisa terlewatkan dari perlindungan cagar. Apa sudah tidak ada yang peduli? Semua hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang memang akhirnya tidak lagi penting. Ini hanya singgah berlibur dengan sensasi getaran-getaran yang cukup jarang dialaminya jika kembali ke Jakarta.

Ada sayatan tertajam sebelum malam merambat dengan cengkeram belukar yang begitu halus.

Semilir angin dan hawa dingin dengan rintikrintik air yang terjatuh masih tetap menjadi khas paling romantis di kota ini. Aroma pohon-pohon dan jalan raya dengan penerangan yang jauh dari hambur cahaya Jakarta tidak membuatnya ingin segera pergi meninggalkan kota kecil ini. Rumah-rumah tua dengan bangunan yang terpugar lebih modern, aneka jajanan tradisional, serta lapisan aspal serupa lapisan wajah berminyak dengan sisa-sisa jerawat berlubang. Namun, inilah yang selalu dirindukan Mora.

Setiap rumah memiliki kisahnya yang berbeda. Mulai dari berbagai legenda, seperti; kisah mahluk penunggu rumah, kisah rumah yang ditinggalkan oleh pemiliknya sejak masa pendudukan Jepang, hingga rumah-rumah sengketa yang dapat dimiliki dengan cara tunai atau melunasi cicilannya yang semuanya tertransaksi secara aman, di bank. Jika menuju daerah atas, dengan perjalanan menanjak dan menukik, pemandangan hutan-hutan dan bukit-bukit karang seakan menjadi penyegar lain dari sisa pendar yang tertangkap saat menatap gedung-gedung pencakar langit Jakarta.

Akhirnya, Mora beserta ketiga orang kawannya memilih menghabiskan malam di pantai Batukaras. Empat sekawan ini memilih restoran tanpa atap selain langit serta daun-daun pohonan kelapa, yang terletak paling ujung, dan yang berdekatan dengan sebuah vila bertingkat, juga sepertinya tidak lagi berpenghuni. Restoran bernuansa alam terbuka menghadap lautan luas untuk gelombang berombak; haturan pemandangan yang muskil.

Desain ruang terbuka dengan perabotan meja kursi kayu, gentong tempayan air mancur, perangkat makan anyaman rotan, serta daun-daun kering yang menghias tanpa aturan sebab terjatuh menua di meja makan dengan noktah-noktah air sisa hujan membuat malam melarut dalam sesumbar hening gelombang yang pecah di tepian bukit karang. Konon, para warga yang hidup dan berdomisili di sepanjang tepian pantai sudah hafal akan kedatangan pasang. Cukup merasakan hembus angin serta melihat keadaan di angkasa.

Aroma ikan bakar menghampiri makanan yang telah dipesan mereka. Teh tawar dan kopi berampas, sajian yang meninggalkan kenangan tradisi akan tempat memiliki ruang ingatan lain. Seketika suara ombak menghilang. Salah satu dari empat sekawan, dan yang kebetulan berdomisili di Pangandaran kota memberi tanda melalui bahasa tubuhnya.

Ketiganya telah mengerti; diamnya gelombang bukanlah tenang bagi suatu malam.

 

(Bersambung)

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB