x

Sumber ilustrasi: darcyclothing.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 18 Oktober 2022 12:24 WIB

Sepatu

Itu dia, tergantung di sana bagai buah delima di pohonnya, meneteskan permata berembun di bawah cahaya pagi yang berkilauan. Dia tidak mampu membelinya. Dia tahu itu, wanita penjual tahu itu, semua orang di butik kecil di jalan Dipatiukur tahu itu. Dia salah tempat. Kedrongkongannya tercekat asisten penjualan tersedak. Dia telah memakai sepatu itu sebanyak lima kali. Memakai, tetapi tidak pernah memiliki. Dia telah memesannya secara daring, dengan cepat membelinya dalam perjalanan ke Tasikmalaya atau Sukabumi, setiap kali menyimpannya bersamanya selama beberapa hari sebelum toko online atau perusahaan kartu kredit menelepon. Atau dia kembalikan sendiri. Terlalu kecil, pelanggan berubah pikiran ... apa saja alasan yang dialamatkan ke dalam sistem komputer.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Itu dia, tergantung di sana bagai buah delima di pohonnya, meneteskan permata berembun di bawah cahaya pagi yang berkilauan. Dia tidak mampu membelinya. Dia tahu itu, wanita penjual tahu itu, semua orang di butik kecil di jalan Dipatiukur tahu itu. Dia salah tempat. Kedrongkongannya tercekat asisten penjualan tersedak.

Dia telah memakai sepatu itu sebanyak lima kali. Memakai, tetapi tidak pernah memiliki. Dia telah memesannya secara daring, dengan cepat membelinya dalam perjalanan ke Tasikmalaya atau Sukabumi, setiap kali menyimpannya bersamanya selama beberapa hari sebelum toko online atau perusahaan kartu kredit menelepon. Atau dia kembalikan sendiri. Terlalu kecil, pelanggan berubah pikiran ... apa saja alasan yang dialamatkan ke dalam sistem komputer.

Dia belum pernah membelinya dari toko ini. Terlalu dekat dengan tempat dia indekos.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia menyukai ilusi yang tersirat dari kunjungannya—seorang mahasiswi selebgram populer yang membutuhkan sepatu baru untuk pesta, kencan pertama, konser musik kampus (tidak ada yang memercayai skenario saat dia mengenakan celana olahraga dan hoodie ITB yang serasi.)

 Dia tidak bermaksud datang sama sekali, tetapi toko itu terletak sangat strategis di antara perjalanannya dari kampus ke perpustakaan, dan dia tidak bisa menahan diri. Suatu hari dia akan memilikinya dengan benar, dia berjanji pada dirinya sendiri, seperti yang selalu dia lakukan. Mengangkat kakinya dari lantai dan menghentakkan tumitnya seperti Dorothy dalam The Wizrd of Oz, film favorit ibunya.

Dia akan memajangnya di lemari yang dibuat khusus, tempat kebanggaan, pengubah kemenangan menakulukkan godaan, tetapi untuk saat ini, bagaikan teman yang menunggunya untuk dibebaskan dari penjara yang mengungkung. Dia memasukkannya kembali ke dalam kotak, memberikannya kepada asisten penjualan yang sinis mencibir, dan pergi.

Malam hari, sepatu itu akan sepenuhnya memilikinya, bebas dari batas-batas toko, bebas dari tatapan asisten toko, bebas dari batas kartu kredit. Tidak ada batasan untuk apa yang bisa diberikan kehidupan kepadanya ketika kaki meringkuk di dalam kaus atau telanjang.

Sepatu itu adalah impiannya. Segera bahkan ketidaksadarannya tidak cukup ruang untuk godaan, dan kesadarannya berubah menjadi obsesi. Ini bukan lagi tentang kepemilikan, ini tentang apa yang bisa terjadi dengan sepasang sepatu seperti itu.

Mereka menjadi lambang masa depannya: tidak ada yang dapat diperoleh tanpanya. Dia mengadu padanya. Berkonspirasi dengannya. Tidak ada yang normal tentang lamunannya ketika melamun tentang sepatu itu.

Lagi pula, itu hanya sepatu.

Akal sehat meninggalkannya. Sepatu itu atau tidak sama sekali.

Jika dia tidak memilikinya, dia tidak akan lulus kuliah, tidak akan mendapatkan pekerjaan, tidak akan pernah menikah. Sepatu itu adalah segalanya dan akhir segalanya baginya sebagai pribadi. Tidak ada lagi gadis penyendiri dan cerdas yang berdiri melawan dunia, tetapi seorang gadis penyendiri Bersama sepatunya. Tanpa sepatu, dia akan kehilangan semua identitas diri dan menjadi bukan apa-apa, melebur dengan latar belakang.

Batu itu terasa berat di tangannya yang bersarung kulit. Napasnya sehangat perkedel yang baru dimakannya. Udara panas merembes hingga mengaburkan kacamatanya.

Dia sudah lama menginginkannya, dia bisa menandai menit dan jamnya. Siapa lagi yang berhak mengklaim sepatu itu? Berkilauan di jendela, diterangi oleh satu lampu sorot yang menampikannya ke depan pentas. Sangat ingin dikenakan.

Dia bisa mendengar sepatu itu memanggilnya. Mereka ingin dia memilikinya.

Batu itu terbang menembus kaca jendela depan toko.

 

Bandung, 18 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler