x

Mamat Alkatiri. FOTO/Instagram/mamat_alkatiri

Iklan

Luna Septalisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2022

Kamis, 3 November 2022 06:27 WIB

Komedi, Self-Censorship dan Ketersinggungan Orang Lain

Komedi, sebagai salah satu medium penyalur keresahan pribadi maupun publik, belakangan ini juga kerap berhadapan dengan ketersinggungan. Apalagi yang bentuknya humor “pinggir jurang”. Hal inilah yang membuat para komedian atau komika dipaksa tunduk pada self-censorship. Lantas, apa itu self-censorship? Mengapa ia bisa menjadi sosok yang mengerikan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagaimana kita pada umumnya, komika atau komedian pun punya keresahan, impian bahkan masa lalu yang tidak selalu menyenangkan.

Ketika kita punya insecurity soal fisik yang tidak sesuai dengan standar kecantikan, mereka juga. Ketika saudara-saudara kita yang beretnis atau beragama minoritas pernah mengalami diskriminasi, mereka yang dari golongan ini bisa merasa relate. Kita boleh punya pilihan, pandangan atau sikap politik tertentu, mereka juga boleh punya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ilustrasi komedi tunggal stand up comedy yang sekarang sedang booming

Musisi mengekspresikan keresahan, impian, pengalaman, pilihan, pandangan dan sikap akan suatu hal melalui musik. Penyair mengekspresikannya melalui puisi. Perupa mengekspresikannya melalui lukisan. Sedang komedian atau komika mengekspresikannya melalui canda.

Intinya, setiap pekerjaan atau peran tertentu yang diemban seseorang, selalu ada medium ekspresinya. Dan kita bebas mau menggunakan medium yang mana.

Konstitusi kita memang menjamin kebebasan berekspresi. Namun, praktik di lapangan tak jarang masih jauh panggang dari api.

Jurnalis cum inspirator anak muda, Najwa Shihab, dalam Mata Najwa edisi 1 November 2022 Kenapa Kita Butuh Komika? mengatakan, “Dari satu pembatasan ke pembatasan yang lain, dampak yang tak kasat mata adalah pembatasan sejak dalam pikiran. Bahkan sebelum keresahan itu disuarakan. Self-censorship dipaksa menjadi keharusan bagi para komika. Bukankah ini persoalan?”

Pandangan senada juga ditunjukkan oleh para komika yang diwawancarai oleh Nana (panggilan akrab Najwa Shihab). Salah satunya adalah Sakdiyah Ma’ruf. Komika perempuan keturunan Arab ini mengatakan bahwa musuh dari kebebasan berekspresi bukan hanya tirani, melainkan juga self-censorship.

Lantas, apa itu self-censorship? Mengapa ia bisa menjadi sosok yang mengerikan?

Kamus Merriam-Webster daring mendefinisikan self-censorship sebagai tindakan menahan diri dari mengungkapkan sesuatu (pikiran, sudut pandang atau keyakinan) yang orang lain anggap tidak menyenangkan.

Mengutip dari liberties.eu, dalam dunia pers, self-censorship biasa dilakukan oleh jurnalis atau media dengan cara tidak melaporkan sesuatu—seperti informasi yang menyangkut tentang pemerintah atau kebijakannya—yang penting bagi publik, baik karena sifatnya yang faktual atau berpotensi memicu perdebatan publik yang kuat mengenai suatu isu.

Self-censorship apabila digunakan sebagai kontrol diri agar tidak menyebarkan kabar bohong atau fitnah tentu tidak masalah. Setiap informasi yang didapat tidak langsung ditelan dan disebarkan, tapi dikritisi dulu kebenarannya.

Namun, ketika seseorang terlalu berhati-hati, khawatir dan takut akan terjadi apa-apa setelah menyuarakan opininya, di sinilah self-censorship menjadi musuh kebebasan berekspresi. Lebih jauh lagi, self-censorship adalah preseden buruk bagi demokrasi.

Komedi, sebagai salah satu medium penyalur keresahan pribadi maupun publik, belakangan ini juga kerap berhadapan dengan ketersinggungan. Apalagi yang bentuknya humor “pinggir jurang”. Yang terbaru adalah ketika komika Mamat Alkatiri disomasi oleh seorang anggota DPR yang merasa tersinggung oleh candaan sang komika. Kasus lain yang serupa dapat Anda cari sendiri di mesin pencari.

Jauh sebelum era stand up Comedy di Indonesia, kritik sosial berbalut komedi sudah pernah dilakukan oleh komedian-komedian yang besar di era Orde Baru. Sebut saja karikatur ‘Oom Pasikom’ karya almarhum Gerardus Mayela Sudarta, lawakan almarhum Jojon tentang Presiden Soeharto dan uang kertas pecahan lima ratusan bergambar monyet sampai celetukan pedas ala Warkop yang berawal di Radio Prambors.

Satu hal yang disayangkan, baik yang diungkapkan oleh para seniman lawak maupun masyarakat adalah mengapa sekarang orang lebih mudah tersinggung oleh komedi. Lebih luas lagi, tersinggung oleh kritik.

Orang jadi gampang baper. Sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit somasi, sedikit-sedikit mengamcam dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Mengancam kok sedikit-sedikit.

Saya yang juga aktif menulis di salah satu blog jurnalisme warga ternama saja, suka ketar-ketir kalau dapat notifikasi peninjauan artikel. Meski tidak sering terjadi dan akhirnya artikel tetap tayang, rasa khawatir dan overthinking itu ada. Padahal setiap saya mengunggah tulisan, dimanapun itu, saya punya prinsip yang tidak boleh saya langgar.

Salah satunya adalah saya tidak akan menulis sesuatu yang saya tidak punya pengalaman atau dasar ilmunya. Katakanlah saya perlu memperkuatnya dengan data, saya akan mencari referensi yang mendukung dan relevan. Jika referensi di ambil dari internet, saya tidak mau sembarangan comot dari situs yang tidak kredibel. Dan yang terpenting lagi adalah menjauhi plagiarisme.

Ketika saya merasa sudah menulis sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, ternyata ada peringatan demikian, saya akan berpikir apa yang salah dalam tulisan saya. Padahal saya merasa tulisan saya tidak setajam dan sekeras itu.

Namun, di era media sosial, ketika informasi bisa tersebar dan didapat dengan mudah dan cepat, setiap orang, siapapun itu harus siap dengan segala reaksi orang lain. Mau itu orang di dunia nyata maupun maya.

Kita memang bisa mengontrol apa yang kita pikirkan, rasakan, ucapkan dan ingin kita unggah ke dunia maya. Namun, kita tidak pernah bisa mengontrol reaksi orang lain atas pemikiran, ucapan, tindakan atau unggahan kita. Selama yang kita suarakan adalah kebenaran, niat dan caranya baik, ketersinggungan orang bukan tanggung jawab kita.

Sebenarnya, komedi adalah cara menyuarakan kritik dan keresahan dengan lebih menyenangkan, egaliter dan tidak menggurui. Komedi adalah bahasa yang lebih mudah dipahami dibandingkan bahasa akademik sehingga mampu merangkul lebih banyak kalangan.

Komedi memang hanya candaan, tapi pesan yang tersirat di dalamnya bisa jadi serius. Untuk menangkap dan memahaminya butuh perspektif yang luas agar tidak menjadi manusia baperan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Luna Septalisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu