Generasi Anti Sosial

Kamis, 15 Desember 2022 08:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Digital, bisa jadi, telah menjadi kosakata yang biasa bagi kita semua tanpa menyadari dari manakah, serta apa sebenarnya makna tersebut dan lantas, mengapa “digital/digits/digitus/digitum” menjadi kosakata yang kembali terangkat di era enam puluhan sebagai dunia yang matematis. --Seorang Cicero pernah menulisnya, bagaimana jika; “si tuos digitos novi” kepada Atticus.

Pertengahan bulan di Desember, di mana di berbagai kelompok masyarakat mulai menyambut libur panjang hingga tahun baru yang menjadikan “perbatasan” antara tradisi/kebiasaan menuju budaya baru tentang menyusun “flowchart atas strategi bersosial yang total berbeda sebelum tahun-tahun pandemi.

Saya membayangkan, apakah masa pandemi telah memberikan vibrasi “shocked culture atau memperlihatkan, bahwa, sesungguhnya sifat terdasar diri manusia; “chauvinism”?

Mungkin, ini tentang visual teater teranyar, bahwa rapuhnya sistem jaringan saraf bukan lagi bersiar seputar perkiraan mendata karakter psikologi sosial selain realita keseharian yang tersembunyi dari balik ramah tamah serta basa basi.

Mungkin, peradaban masa dapan hanyalah tentang jarum injeksi berjangka; seumur hidup.

Digital, bisa jadi, telah menjadi kosakata yang biasa bagi kita semua tanpa menyadari dari manakah, serta apa sebenarnya makna tersebut dan lantas, mengapa “digital/digits/digitus/digitum” menjadi kosakata yang kembali terangkat di era enam puluhan sebagai dunia yang matematis.

Seorang Cicero pernah menulisnya, bagaimana jika; “si tuos digitos novikepada Atticus. Namun, jika Cicero berbicara tentang anatomi tubuh, maka saya pribadi, lebih mencari bagaimana ruang waktu tidaklah matematis dan simetris, sebagaimana bahasa tubuh bukanlah sesuatu yang pasti. Pada saat putusasa bereksplorasi Aryabhattiya, hingga kini, saya masih mencari bagaimana susunan jemari mengukir Hanacaraka; yang mengukir di antara denyut dan jalan darah, yang menjadikan penopang hidup dan penghidupan dalam memaknai kehidupan.

Mungkin, seringkali, kita melupakan yang terlampau dekat, sekaligus yang terlampau jauh.

Ini menjadi catatan lainnya, tentang bagaimana komunikasi dalam koneksi selalu mengalami pasang surut sementara rekonstruksi peta tujuan terkadang cenderung berkabut. Ini menjadi catatan lainnya, serupa noktah di musim hujan, manakala cahaya surya menjelma kenangan dari musim panas, juga berdebu. Apakah ini menjadi pembaruan pola kognisi yang telah mengalami radiasi berbobot?

Hari-hari berlalu, di dua dunia online sekaligus offline, yang ialah; “maya/water/illusion/artificial”. Hanya saja, kepekaan emosi serta rasa tentang kebutuhan mendasar bagi tubuh atas kecenderungan laku empati yang terstruktur hanya menghasilkan realita terbaru tentang sengkarut penerimaan kata hingga kalimat atas tulisan dan lisan melalui layar datar.

Siklus “pulsar/denyut/darah” pun menjadi birama lain dalam menghantam intuitif pun perspektif, dua hal dasar yang akan selalu menjadi rotasi keseimbangan manusia dalam memilih dan menjadi hingga menjalaninya sebagai kesadaran yang penuh hati-hati. Bahwa, penyerangan, percakapan yang cenderung searah hingga menuding keras atas perilaku orang lain melalui dunia artifisial lebih memberikan peluang untuk membunuh seseorang baik secara mental hingga kematian jasad dengan pola “bigoted insults”.

Saya mencoba untuk mengutip dari sebuah artikel tentang kesehatan tubuh yang terganggu melalui berbagai cara, salah satunya melalui isu ras: “To conduct the study, researchers compared death rates from circulatory diseases from 2003 to 2013 – collected by the Centers for Disease Control – with racial bias data that came from Project Implicit, a website that provides tests to measure explicit and implicit biases related to gender, religion and race. --Circulatory disorders, which include heart attacks, angina and coronary heart disease, are the leading cause of death in the United States.” [Berkeley News]

Bahwa, komunikasi dalam koneksi tentang manusia menyusun kembali intuisinya dalam dunia yang dualisme; online-offline, secara sadar atau tidak telah menjadikan digital sebagai wadah manipulasi yang bias dan rahasia.

 

 

- Jakarta, 14 Desember 2022

 

Lampiran:

bigoted insults:

[ https://www.cambridge.org/core/journals/utilitas/article/john-stuart-mills-harm-principle-and-free-speech-expanding-the-notion-of-harm/F1D77D5D5F9A4B8AA3BAD4058A9708B4 ]

[ https://www.washingtonpost.com/nation/2018/11/30/how-online-hate-speech-is-fueling-real-life-violence/ ]

[ https://www.pewresearch.org/internet/2014/03/11/the-more-hopeful-theses/ ]

Bagikan Artikel Ini
img-content
Okty Budiati

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Gremet-gremet Waton Slamet

Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIB
img-content

Musim Masa

Kamis, 5 Januari 2023 19:28 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Humaniora

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Humaniora

Lihat semua