x

Cover buku Memoar Rewang

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 16 Januari 2023 18:08 WIB

Memoar Rewang - Pendapat Rewang Tentang Peristiwa G30S 1965

Sejarah tentang peristiwa G30S 1965 adalah sejarah yang masih diperdebatkan. Banyak tafsir tentang peristiwa ini, selain tafsir resmi yang dibuat oleh Pemerintah orde Baru. Tafsir terhadap peristiwa tersebut bisa saling bertentangan 180 derajat. Ada yang menganggap itu adalah ulah Partai Komunis Indonesia, namun ada juga yang menganggap bahwa peristiwa tersebut adalah tanggungjawab sebagian tentara. Ada pula yang berpendapat peristiwa tersebut adalah disain dari Pemerintah Amerika Seritas melalui CIA untuk menumbangkan Rejim Sukarno yang tak mau tunduk kepada Barat. Buku ini memuat pendapat Rewang tentang peristiwa G30S 1965.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Saya Seorang Revolusioner – Memoar Rewang

Penulis: Joko Waskito

Tahun Terbit: 2017

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Ultimus

Tebal: x + 222

ISBN: 978-602-8331-62-3

 

 

Sejarah tentang peristiwa G30S 1965 adalah sejarah yang masih diperdebatkan. Banyak tafsir tentang peristiwa ini, selain tafsir resmi yang dibuat oleh Pemerintah orde Baru. Tafsir terhadap peristiwa tersebut bisa saling bertentangan 180 derajat. Ada yang menganggap itu adalah ulah Partai Komunis Indonesia, namun ada juga yang menganggap bahwa peristiwa tersebut adalah tanggungjawab sebagian tentara. Ada pula yang berpendapat peristiwa tersebut adalah disain dari Pemerintah Amerika Seritas melalui CIA untuk menumbangkan Rejim Sukarno yang tak mau tunduk kepada Barat.

Posisi Sukarno sebagai Kepala Negara pun ditafsir berbeda oleh berbagai pihak. Ada yang menyatakan bahwa Sukarno terlibat G30S 1965. Ada yang berpemdapat bahwa Sukarno tahu, tetapi tidak bertindak. Ada juga yang menyatakan beliau tidak terlibat, bahkan menjadi korban dan sebagainya.

Mengingat masih belum samanya pandangan publik tentang peristiwa G30S 1965, maka sangat penting bagi kita untuk membaca sebanyak mungkin buku yang memuat peristiwa dan pandangan tentang G30S 1965. Termasuk dari mereka yang menjadi pelaku dan korban. Dengan membaca sejarah dari berbagai versi – setidaknya, kita menjadi mempunyai banyak pertimbangan dalam membuat kesimpulan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Tentu kesimpulan tersebut tidak bisa sepenuhnya mencapai kebenaran.

Salah satu buku kesaksian tentang G30S 1965 adalah buku karya Rewang. Buku “Saya Seorang Revolusioner” adalah memoar Rewang yang ditulis oleh Joko Waskito berdasarkan penuturan yang bersangkutan. Kesaksian Rewang ini sangat penting karena posisi Rewang di Partai Komunis Indonesia adalah sangat penting saat terjadi peristiwa G30S 1965. Rewang adalah Kepala Departemen Kebudayaan sekaligus sebagai anggota Sekretariat Comitte Central (CC) (hal. 51). Selain memuat memoar Rewang, buku ini juga memuat lengkap pledoi dan duplik yang disampaikan oleh Rewang dalam persidangannya.

Marilah pertama-tama kita ketahui siapa Rewang sehingga akhirnya bisa menjadi seorang penting di Partai Komunis Indonesia. Seperti penuturannya di awal buku ini, Rewang lahir di Solo pada tahun 1928. Semula namanya adalah Subandi, tetapi karena sering sakit, maka oleh sang ayah namanya  diganti menjadi Rewang (hal. 7). Ayahnya adalah seorang buruh batik. Sementara ibunya adalah seorang pembatik. Rewang mengaku bahwa intelektualitas dan sikap revolusionernya tidak tumbuh dari keluarganya, tetapi dari sekolah, pengamatan terhadap peristiwa yang terjadi dan dari buku-buku yang dibacanya.

Rewang sudah berkenalan dengan Partai Komunis Indonesia sejak ia bersekolah di MULO. Namun yang dikenalnya adalah Partai Komunis yang memberontak kepada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926. Ia juga menyaksikan bagaimana orang-orang komunis ditangkapi di Jaman Jepang. Dari dua informasi yang dia dapat itu, Rewang berkesimpulan bahwa orang-orang komunis adalah orang-orang yang menentang penjajahan dan berani memberi perlawanan kepada penjajah (hal. 10).

Setelah kemerdekaan, Rewang bergabung dengan Partai Komunis Indonesia yang saat itu membuka pendaftaran anggota. Karir Rewang di Partai Komunis Indonesia berjalan cepat. Pada tahun 1946, ia sudah terpilih mewakili Kecamatan Serengan sebagai anggota Dewan Kota Surakarta (hal. 19).

Ketika Partai Komunis Indonesia dibangun kembali setelah peristiwa Madiun, Rewang menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia di Sukoharjo. Rewang juga sempat duduk sebagai anggota DPRD Sukoharjo mewakili Barisan Tani Indonesia (BTI). Pada tahun 1953 Rewang menjabat sebagai Sekretaris SC Surakarta, pada tahun 1954 menjabat sebagai Anggota Dewan Harian Provincial Committee Jawa Tengah (hal. 37). Karir Rewang terus menanjak. Pada tahun 1959 ia terpilih sebagai anggota Central Committee (CC), kemudian menjadi anggota Politbiro (hal. 39).

Dalam kesaksiannya, Rewang menyampaikan bahwa ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa G30S 1965. Memang isu tentang adanya Dewan Jenderal sudah didengar oleh para tokoh Partai Komunis Indonesia. Namun informasi tersebut juga sudah menyebar di kalangan publik (hal. 43). Namun tentang apa yang terjadi sesungguhnya, Rewang yang saat itu mempunyai jabatan yang penting di Partai justru sama sekali tidak tahu. Pengakuan Rewang, meski Partai Komunis Indonesia mengetahui tentang Dewan Jenderal, dan mendukung gerakan perwira muda progresif yang menentang kudeta oleh Dewan Jenderal tetapi partai ini sama sekali tidak menyiapkan diri untuk sebuah gerakan militer (hal. 45). Partai Komunis Indonesia tidak sedang menyiapkan diri untuk ikut serta dalam aksi militer. Rewang mengatakan bahwa selain Partai Komunis Indonesia, ada pihak-pihak yang mendukung gerakan anti-Dewan Jenderal.

Rewang baru mengetahui bahwa ada keterlibatan pimpinan Partai Komunis Indonesia setelah tahu bahwa D.N. Aidit ada di Halim (hal. 47). Rewang menyimpulkan bahwa yang terlibat adalah para pimpinan Partai, khususnya Biro Chusus, dan bukan Partai itu sendiri. Sebab keputusan-keputusan Biro Chusus tidak melibatkan Politbiro dalam mengambil keputusan. Menurut Rewang, sikap oportunis beberapa pimpinan Partailah yang menyebabkan Partai Komunis Indonesia dituduh terlibat peristiwa G30S 1965.

Rewang adalah pimpinan Partai. Setelah terjadi tuduhan yang masif terhadap keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam peristiwa G30S 1965, ia memprakarsai adanya “Kritik Otokritik (KOK)” dan merencanakan gerakan militer di Blitar Selatan. Rewanglah yang mengusulkan untuk adanya otokritik saat kampanye pembasmian Partai Komunis Indonesia begitu gencar dilaksanakan oleh Suharto dan kawan-kawan, pasca G30S. Mulanya usulan ini ditolah oleh Lukman. Lukman berpendapat bahwa melakukan otokritik saat Partai sedang terpuruk justru akan memperlemah kedudukan Partai. Namun setelah Lukman ditangkap, Sudisman sebagai Pimpinan Politbiro menyetujui usulan Rewang. Rewang bersama Sudisman dan Oloan Hutapea bertugas untuk menyusun konsep Kritik Otokritik.

Selain menghasilkan otokritik sebagai pegangan bagi anggota Partai Komunis Indonesia, para pimpinan yang masih bebas ini juga menghasilkan tripanji baru partai, yaitu pertama pembangunan kembali partai, kedua perjuangan bersenjata dan ketiga front nasional. Rewang dan kawan-kawan kemudian memindahkan basis perjuangannya ke Blitar Selatan (hal. 74). Di Blitar Selatan inilah dibentuk CC baru yang diketuai oleh Ruslan Wijayasastra (hal. 77). Mereka menyiapkan, atau lebih tepatnya menganalisis apakah perjuangan bersenjata untuk membela diri sudah siap untuk dilakukan. Namun sebelum mereka berhasil menyiapkan perjuangan bersenjata, satu persatu mereka tertangkap termasuk Rewang.

Rewang ditangkap pada tanggal 21 Juli 1968 (hal. 92) di Blitar. Rewang dijatuhi hukuman seumur hidup pada tahun 1972 (hal. 117). Sempat mendapatkan remisi menjadi hukuman 20 tahun sehingga seharusnya ia sudah bebas pada tahun 1988 (hal. 119). Namun pembebasannya ditangguhkan sehingga ia baru bebas pada tahun 1990 (hal. 120).

Dalam Pledoinya, Rewang membuktikan bahwa Partai Komunis Indonesia sudah sejak jaman penjajahan ikut berjuang untuk kemerdekaan. Rewang juga menyampaikan bahwa Partai Komunis Indonesia tidak anti Pancasila seperti yang dituduhkan oleh Rejim Suharto (hal. 121). 728

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler