x

Agama-agama di Indoenesia

Iklan

Arief Nur Rohman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 November 2021

Rabu, 1 Februari 2023 13:06 WIB

Menerka Pendidikan Agama sebagai Elemen Pembangunan Bangsa

Artikel ini mencoba menerka, menakar, serta menelaah sejauhmana pendidikan agama mampu berperan sebagai elemen yang tidak terpisahkan bagi pembangunan bangsa. Dalam artikel ini pula disajikan beberapa data problematika yang dihadapi guru agama, mulai dari hasil Asesmen Nasional tentang indeks akhlak, hingga hasil survei tentang potensi intoleransi guru agama. Lalu, apa saja peran, kontribusi, dan elemen penting yang mampu meningkatkan pembangunan bangsa dalam bidang agama? Mari kita urai bersama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Modalitas pendidikan agama sebagai penggerak pembangunan bangsa memiliki andil yang tidak bisa kita sangsikan. Agama menjadi spirit utama dalam setiap elemen pembangunan bangsa. Ditambah dengan konteks sosial-demografis bangsa Indonesia sebagai negara yang multi-etnis dan multi-agama menjadikan keberagamaan sebagai potensi, modal sosial, dan kekuatan kolektif untuk menghadapi beragam tantangan, persoalan, dan perkembangan kemajuan zaman.

Agama pula menjadi sumber landasan spiritualitas, basis etika, dan keluhuran moralitas untuk bersama-sama memandu bangsa dalam membangun dan meneguhkan tatanan kehidupan yang damai, inklusif, adil, maslahat yang mengejawantah harmoni inklusi sosial dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Berdasarkan landasan aksiologis inilah, sejatinya pembangunan pendidikan agama menjadi satu keniscayaan yang mutlak. Pembangunan dalam bidang pendidikan agama tidak lagi dibayang-bayangi dengan sekelumit problematika struktural-kultural yang mampu membendung cita-cita luhur pendidikan nasional yang di dalamnya memuat nilai agama.

Guru agama sebagai muazin bangsa yang menyerukan, menuntun, dan menjadi cermin bagi generasi mendatang memegang peran dan kontribusi yang tidak kecil. Guru agama memiliki tugas besar dalam menentukan anak bangsa yang beriman, bertakwa kepada Tuhan, dan berakhlak mulia melalui pendidikan agama. Oleh karenanya, kehadiran guru agama menjadi bagian yang tidak terelakkan dalam mewujudkan visi pembangunan tujuan pendidikan nasional. Namun, rupanya guru dan pendidikan agama masih dihadapkan pada sejumlah problematika serius, mulai dari regulasi hingga paparan ideologi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Problematika Guru dan Pendidikan Agama

Beragam problematika yang dihadapi guru dan pendidikan agama menjadikannya bagai benang kusut yang saling simpul, bahkan menjadi serupa bola salju yang menggelinding, membesar, lalu menghancurkan bangunan pendidikan kita yang selama ini dibangun bersama. Problematika itu antara lain soal regulasi, kejelasan status guru agama honorer, konten pengajaran, hingga disparitas hasil pendidikan.

Berdasarkan hasil Asesmen Nasional Kemendikbudristek tahun 2021, menunjukkan adanya inkonsistensi dan ketimpangan antara hasil pendidikan agama dan perilaku menghargai siswa terhadap kemanusiaan universal. Hasil Asesmen Nasional lainnya memotret lanskap indeks iman, takwa, dan akhlak mulia siswa, namun penghargaan terhadap kebinekaan rendah. Jika kita menelaah lebih jauh, hasil Asesmen Nasional ini menunjukkan bahwa, konten pengajaran dan pendidikan agama belum mengindikasikan adanya integrasi-interkoneksi dengan perilaku iman, takwa, dan akhlak siswa dalam keseharian.

Hasil di atas memberi gambaran kepada kita bahwa, di masa mendatang generasi bangsa ini akan surplus orang yang memiliki kecakapan dalam ranah kognitif, namun nirkarakter atau tidak memiliki keteguhan karakter kebangsaan. Ini menjadi satu tantangan, persoalan, dan pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan oleh guru agama. Hal ini menjadi satu paradoks tersendiri yang dibangun negara, seolah memberi visi besar bagi pembangunan moral, akhlak, dan spiritual generasi mendatang akan tetapi belum memberi ruang strategis-artikulatif bagi guru agama.

Problematika ini bermuara pada keterbatasan guru agama di sekolah, sehingga praktik pembelajaran pendidikan agama, transmisi nilai, dan pembiasaan sikap religius belum optimal diberikan kepada siswa. Ditambah dengan sebagian siswa beragama lain (Kristen, Hindu, Budha, dll) belum mendapat pelajaran agama di sekolah pada umumnya yang menyebabkan perkembangan siswa tidak sepenuhnya terpantau.

Lebih jauh lagi, problematika guru agama ini mengerucut pada potensi intoleransi dan paparan ideologi transnasional. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2018 melaporkan bahwa, sebanyak 57% guru berpandangan intoleran terhadap pemeluk agama lain, dan 37,77% di antaranya berkeinginan untuk melakukan tindakan intoleran. Hasil survei ini menunjukkan adanya tiga faktor yang menyebabkan seseorang terpapar intoleransi dan radikalisme; 1). Pandangan Islamis; 2). Faktor demografis; dan 3). Keterlibatan dengan ormas dan sumber pengetahuan keislaman.

Inilah problematika serius yang dihadapi guru dan pendidikan agama dalam membangun bangsa kedepan. Guru agama diidealkan menjadi manusia paripurna. Mereka harus menguasai serangkaian kompetensi, menjaga iklim keagamaan yang inklusif-kondusif di lingkungan pendidikan, serta menjadi local actor yang mampu membendung siswa dari paham ideologi transnasional, sikap intoleransi, dan pemahaman yang eksklusif terhadap umat agama lain. Oleh karenanya, mengubah paradigma pendidikan agama menjadi hal yang mutlak dilakukan. Pendidikan agama tidak lagi bertumpu pada capaian ibadah ritual-formal dan memberikan pemahaman keagamaan yang legal-literal. Akan tetapi berorientasi pada misi profetik sebagai landasan spirtual-moral dan transmisi nilai universal.

Pendidikan Agama dan Pembangunan Bangsa

Indonesia adalah negara majemuk dengan multi-etnis, multi-agama. Keragaman Indonesia menjadikan sebagai satu mozaik indah yang saling menyusun bagi keberlangsungan peradaban. Keragaman etnis dan agama pula menjadikannya sebagai satu khazanah bangsa sekaligus konfigurasi masyarakat Indonesia yang majemuk untuk membangun negara yang unggul, maju, modern, sejahtera, berkarakter tangguh, inklusif dan bermartabat. Semua ini antara lain dibangun dengan pendidikan dan internalisasi nilai-nilai agama.

Jika kita melihat perkembangan jumlah data siswa terakhir di Indonesia terus mengalami fluktuasi. Misalnya pada tahun ajaran 2020/ 2021, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah siswa di Indonesia sebanyak 45,21 juta siswa. Dari jumlah ini, mayoritas atau sekira 24,84 juta siswa (54,95%) merupakan siswa sekolah dasar. Namun di tahun ajaran berikutnya, jumlah siswa kita mengalami penurunan. Tahun ajaran 2021/ 2022 BPS mencatat, siswa di Indonesia sebanyak 23,33 juta siswa. Jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 2,01% dari tahun ajaran sebelumnya. Berdasarkan sebaran wilayahnya, siswa terbayak berada di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi dengan proporsi siswa terbanyak, yaitu 4,45 juta siswa. Posisi berikutnya disusul oleh Provinsi Jawa Tengah dengan 2,68 juta siswa, lalu Jawa Timur 2,65 juta siswa.

Amanah besar yang ditumpukan pada dunia pendidikan begitu berat. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi bumerang yang akan balik menyerang rancang bangun pendidikan kita. Lebih dari 40 juta siswa kita, beberapa di antaranya didominasi siswa jenjang sekolah dasar. Jenjang sekolah dasar menjadi titik pijak sekaligus titik tolak untuk melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini jika tidak diimbangi dengan peran pendidikan agama, maka kemungkinan besar akan mengalami dekadensi moralitas dan degradasi karakter.

Pendidikan agama berperan penting dalam pembangunan bangsa, berdasarkan rumusan hasil kajian pendahuluan Rencana Program Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 Direktorat Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan Kementerian PPN/ Bappenas merinci beberapa isu strategis pembangunan dalam bidang agama. Pertama, Literasi Keagamaan. Masih banyak di antara siswa kita yang masih minim pada pemahaman ajaran keagamaan yang substansial. Hal ini diindikasikan dengan berkembangnya pemikiran, pandangan, dan sikap keagamaan yang kurang moderat serta belum menghargai perbedaan perspektif dan mazhab. Beberapa aspek pula masih menjadi kendala di lapangan. Misalnya masih terdapat kontestasi pada level pemahaman dalam memahami pesan ajaran keagamaan antar kelompok. Misalnya kelompok konservatif-ideologis, konservatif-tekstualis, moderat, dan liberal. Literasi keagamaan pula memerlukan ijtihad baru untuk memahami pesan dan ajaran keagamaan yang utuh, benar, dan komprehensif. Oleh karenanya literasi keagamaan menjadi urgen untuk diimplementasikan melalui ranah pendidikan. Guru dan pendidikan agama menjadi aktor utama dalam mengimplementasikan literasi keagamaan lintas budaya dengan beragam program dan kegiatan. Hal ini dapat dirumuskan dalam muatan kurikulum pembelajaran atau menyajikannya dalam struktur hukum tertulis yang diundangkan oleh pemerintah.

Kedua, Relasi Antar-Intra Agama. Ruang publik kita belum tersedia untuk membuka ruang-ruang dialog, perjumpaan antar iman, serta kolaborasi-relasi penghayat kepercayaan antar dan intra agama termasuk di dalamnya relasi agama dan budaya. Pemerintah dan elemen pendidik; guru, pemuka agama, serta otoritas agama menjadi pelopor untuk menciptakan bina damai antar-intra pemeluk agama untuk memperkuat kerukunan yang mampu menciptakan harmoni sosial, pemenuhan perlindungan hak beragama dan berkeyakinan.

Dua di antara isu strategis inilah yang menjadikan pendidikan agama begitu penting dalam pembangunan bangsa. Setiap agama memiliki nilai pokok yang mengandung pesan sekaligus ajaran mulia untuk keberlangsungan kemanusiaan. Para pemeluk agama sekaligus guru agama didorong untuk selalu berpartisipasi dan berkontribusi dalam kehidupan masyarakat yang berorientasi pada kebaikan universal. Oleh karenanya agama, para pemuka agama, otoritas keagamaan, guru pendidikan agama, dan organisasi sosial-keagamaan memiliki peran sentral dalam melaksanakan agenda pembangunan bangsa untuk mewujudkan bangsa yang bermartabat. Peran guru dan pendidikan agama dalam pembangunan bangsa harus terus berupaya mengoptimalkan pelayanan keagamaan dalam mendukung pembangunan, seperti mencari dan menggali paradigma baru dalam memahami isu pembangunan perspektif agama, serta penguatan tata kelola dan pemanfaaatan sosial keagamaan.

Ikuti tulisan menarik Arief Nur Rohman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler