x

Cover buku Mey Sin

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 10 Februari 2023 15:49 WIB

Mey Sin - Betapa Bahayanya Steretotipe dalam Bernegara

Mey Sin adalah gadis Tionghoa yang bergiat di bidang sosial. Ia membantu anak-anak jalanan supaya bisa kembali ke dalam masyarakat. Namun karena matanya sipit dan kulitnya kuning, ia menjadi korban perkosaan pada kerusuhan Mei 1998.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Mey Sin

Penulis: Saroyan Royan

Tahun Terbit: 2009

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Jaring Pena

Tebal: iv + 220

ISBN: 978-979-1490-86-3

 

 

Novel “Mey Sin” karya Saroyan Royan ini membahas nasip malang seorang gadis Tionghoa yang berhati mulia. Namun nasipnya sungguh tragis ketika terjadi kerusuhan politik yang diarahkan untuk menumpahkan kemarahan kepada etnis Tionghoa. Mey Sin menjadi korban karena kesipitan matanya dan karena kuning kulitnya.

Stereotipe adalah sangat berbahaya. Apalagi kalau stereotipe dipelihara untuk tujuan kekuasaan. Apapun kebaikan yang dilakukan tak ada artinya. Seberbeda apapun yang dijalani tetap saja tak ada arti. Sebab otak dan hati tak lagi bisa berpikir jernih karena terhalang stereotipe yang sudah terlanjur melekat dalam.

Contohnya adalah tentang etnis Tionghoa yang senantiasa dipersepsikan sebagai binatang ekonomi yang tak peduli kepada NKRI dan nasip orang malang yang ada di sekitarnya. Itulah stereotipe yang dipelihara sampai kini. Akibatnya jika ada kerusuhan politik, mereka inilah yang dijadikan sasaran kemarahan. Padahal banyak juga orang Tionghoa yang begitu cinta dengan Indonesia dan bahkan rela berkorban jiwa dan harta untuk membela negara yang dicintainya, yaitu Indonesia. Banyak pula orang Tionghoa yang tidak berkarir dibidang perdagangan. Ada yang jadi politisi, ilmuwan, olahragawan, budayawan, teknokrat dan sebagainya. Banyak yang karya dan prestasi mereka membanggakan Indonesia.

Novel karya Saroyan Royan ini mencontohkan tentang stereotipe orang Tionghoa yang masih menempel kuat dalam benak warga Indonesia. Stereotipe yang sangat berbahaya. Seorang gadis Tionghoa yang bergiat di bidang sosial dan seorang pengusaha Tionghoa beragama Islam menjadi korban kerusuhan. Padahal keduanya berakhlak mulia dan berbuat demi kebaikan bangsa.

Mey Sin adalah seorang gadis Tionghoa. Mey Sin seorang relawan di sebuah rumah singgah. Ia mendedikasikan hidupnya untuk membantu anak-anak jalanan yang bermasalah. Namun karena dia seorang Tionghoa, nasipnya sungguh buruk. Mey Sin menjadi korban perkosaan yang brutal saat terjadi kerusuhan rasial Mei 1998. Demikian juga dengan Om Bie Hien, seorang Tionghoa Muslim yang baik hati. Keduanya tetap menjadi korban dikala ada sengketa.

Mey Sin adalah seorang gadis Tionghoa. Ia tidak kaya. Ia tak bisa berderma dengan hartanya. Meski tak kaya dan tak bisa berderma dengan hartanya, Mey Sin berkarya dengan cinta kasihnya. Ia menjadi relawan pada sebuah rumah singgah milik Ibu Dewi. Ibu Dewi adalah seorang tokoh yang terkenal kedermawanannya. Ia istri seorang pejabat kaya raya. Ibu Dewilah yang membuka dan mendanai rumah singgah yang menampung anak jalanan. Tapi ternyata sumber uang yang dipakai oleh Bu Dewi untuk membiayai rumah singgah adalah uang bantuan dari Dinas Sosial. Bukan uang dari kantongnya sendiri.

Ketika rumah singgah mengalami masalah karena anggaran dari Dinas Sosial ternyata dikorupsi oleh Bu Dewi, Mey Sin dan kawan-kawannyalah yang mencari jalan keluar. Padahal Bu Dewi adalah seorang yang berlimpah harta. Tapi masih tega mengorupsi hak kaum dhuafa. Ah…dasar istri pejabat yang korup mentalnya.

Cinta Mey Sin mengalami dilema. Pacarnya yang sesama Tionghoa yang sedang kuliah di Amerika mengajaknya untuk pindah kesana. Namun Mey Sin sungguh sangat menyayangi kegiatannya bersama anak-anak jalanan. Karena ditinggal lama ke Amerika, Mey Sin mendapatkan gangguan dari seorang duda tua. Sang duda sangat mengingini Mey Sin menjadi istrinya. Tentu Mey Sin tak bersedia.

Di saat yang sama, Mey Sin tertarik kepada Satrio, temannya sesama pegiat anak jalanan yang beretnis Jawa. Dan Satrio pun tertarik kepada Mey Sin. Satrio adalah kawan seperjuangan saat menyelamatkan kumpulan anak jalanan yang kehilangan rumah singgah.

Saat seharusnya Mey Sin berbahagia karena telah mampu memecahkan masalah rumah singgah, justru nasip malang yang menimpanya.

Ayah Mey Sin ternyata masih mempunyai aset sebuah rumah besar yang saat ini ada di tangan Om Bie Hien (seorang Tionghoa Muslim). Om Bie Hien adalah orang baik. Ia suka menolong sesama. Om Bie Hien menyerahkan rumah tersebut kepada Mey Sin untuk dipakai sebagai rumah singgah. Satrio telah mendekorasi rumah yang sudah lama tak dihuni tersebut, sehingga siap untuk menampung anak-anak jalanan. Mey Sin telah berhasil mendirikan yayasan. Anak-anak jalanan mulai menghuni rumah singgah milik Mey Sin. Saat seharusnya Mey Sin kembali bekerja untuk membantu anak-anak jalanan, terjadi kerusuhan politik.

Kerusuhan politik Mei 1998 itu sepertinya diarahkan untuk melabrak orang-orang Tionghoa. Orang Tionghoa dianggap sebagai biang kerok kehancuran ekonomi Indonesia. Masa yang marah tak lagi bisa membedakan mana orang baik dan mana yang tidak baik. Siapapun yang berkulit kuning dan bermata sipit dijadikan sasaran kemarahan. Om Bie Hien yang Islam dan baik hati jadi korban. Om Bie Hien tokonya dibakar. Mey Sin yang sangat giat membantu anak jalanan menjadi korban. Mey Sin diperkosa ramai-ramai.

Sudah saatnya kita menanggalkan cara pandang rasialis. Paling tidak kita memerangi stereotipe yang bisa membawa bencana kemanusiaan. Marilah kita memandang manusia dari karyanya. Bukan karena suku, ras dan agama. 732

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB