x

Ilustrasi Langit. Gambar: Pixabay.com

Iklan

Dewi Sartika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Oktober 2022

Sabtu, 18 Maret 2023 10:55 WIB

Langit Merah di Atas Mergosono

Asap hitam menjulang tinggi di seberang jalan. Kobaran api membakar habis sebuah bangunan. Namun, sepasang mata sipit Mei Ling tertuju kepada sebuah toko yang terletak beberapa meter dari bangunan yang terbakar tadi. Sebuah pemandangan mengerikan sedang disaksikannya. Beberapa pemuda sedang memukuli seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu berseru memohon ampun. Di dekatnya, seorang wanita, mungkin istrinya, menangis keras. Puas menyiksa, gerombolan itu kemudian menyeret dan memaksa si lelaki tua dan istrinya naik ke sebuah jeep. Inilah kisah kelam yang menimpa orang-orang Tionghoa menjelang Agresi Militer Belanda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Asap hitam menjulang tinggi di seberang jalan. Kobaran api membakar habis sebuah bangunan. Namun, sepasang mata sipit Mei Ling tertuju kepada sebuah toko yang terletak beberapa meter dari bangunan yang terbakar tadi. Sebuah pemandangan mengerikan sedang disaksikannya. Beberapa pemuda sedang memukuli seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu berseru memohon ampun. Di dekatnya, seorang wanita, mungkin istrinya, menangis keras.

Puas menyiksa, gerombolan itu kemudian menyeret dan memaksa si lelaki tua dan istrinya naik ke sebuah jeep.

Seorang pemuda bercelana pendek kemudian menuangkan bening bensin ke beberapa bagian toko, lalu melempar suluh ke dalam toko. Api segera berkobar, melahap  ‘Toko Kediri’ milik pasangan suami istri tadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “Ayo kita balik segera, Mei Ling. Ndak usah di lihat!” seru Karmin sembari menghentikan sepedanya tepat di sisi sepeda yang dinaiki Mei Ling.

“Saya takut, Mas Karmin.” Raut wajah Mei Ling terlihat cemas.

“Ayo, cepat! Kita ndak ada waktu lagi. Masmu sudah nunggu di rumah!” Karmin mendesak Mei Ling agar segera pergi.

“Mas Karmin ....”

Karmin mengikuti telunjuk Mei Ling. Seorang lelaki dengan Lee Enfield di tangan tampak menoleh ke arah mereka. Karmin mengenal pria itu. Badannya seketika menggigil.

“Ayo cepat!” Karmin memaksa Mei Ling mendahuluinya, mengayuh sepeda lebih cepat. Ia mengikuti dari belakang.

Mata Karmin menatap lurus ke depan. Ia sama sekali tak berminat untuk mengubah pandangannya, ke kanan atau kiri. Kerusuhan beberapa hari yang lalu membuat beberapa bangunan kosong karena rusak dijarah orang atau ditinggal pemiliknya mengungsi ke luar kota. Pikirannya kini, diisi oleh Pramoe yang baru saja dilihatnya tadi. Karmin tidak mengenal Pramoe. Ia hanya mengetahui jika lelaki itu adalah teman pamannya. Mereka sama-sama  pernah menjadi  anggota stadswacht di  Sukun.

Sepasang matanya masih mengawasi Mei Ling yang berada di depannya. Kali ini, Karmin harus memastikan Mei Ling selamat sampai rumah.

Mei Ling. Nama ini masih setia terpahat di hati Karmin. Setidaknya sampai saat ini. Rasa  ini masih ia pendam dalam-dalam tanpa berani mengungkapkannya. Kalaupun ia berani melakukannya, bisa jadi, orang akan menganggapnya tak waras. Karmin tahu diri! Mana mungkin ia melakukannya jika ada batasan di antara pemuda berdarah Jawa dan Madura ini dengan gadis pujaannya tersebut.

Begitu tiba di halaman sebuah rumah berpagar cokelat yang pintunya terbuka, mereka berhenti. Sepeda ditinggalkan begitu saja di pekarangan, lantas mereka berlari memasuki rumah dengan wajah cemas.

“Zemin, saya bawa adikmu!” Karmin berteriak.

“Ndak ada, Mas Karmin.” Mei Ling muncul dari ruang tengah setelah berusaha mencari kakaknya di setiap sudut rumah.

Mata Mei Ling tampak mulai berair. Gadis ini mulai khawatir atas nasib saudara satu-satunya yang dimilikinya. Ketakutan akan nasib buruk seperti yang menimpa pemilik Toko Kediri terjadi kepada Oei Zemin, sang kakak.

“Ayo ...” Tangan kanan Karmin meraih tangan Mei Ling. Entah, keberanian darimana yang Karmin dapatkan saat memutuskan menyentuh kulit gadis ini. Meski mereka berdua cukup dekat. Baru kali, ia memberanikan diri melakukan hal ini. Ada perasaan aneh yang merasuki pikirannya saat tangan mereka bersentuhan.

Karmin mengajak Mei Ling menuju bagian belakang rumah, membuat gadis ini heran. Namun, Mei Ling memutuskan untuk tetap diam dan mengikuti Karmin. Langkah Karmin terhenti di depan pintu gudang. Mei Ling merasa bodoh, bagaimana bisa gadis ini melupakan gudang  rumahnya.

“Mungkin kakakmu sembunyi di sini. Kalau pintu ini terkunci berarti Zemin ada di dalam.” Karmin berusaha membuka pintu tetapi tidak bisa. Lalu, ia memanggil nama Zemin.

Pintu terbuka, sesosok lelaki dengan tangan memegang tongkat muncul di hadapan mereka. Mei Ling langsung memeluk kakaknya. Wajahnya kini terlihat semringah. Merasa lega karena Zemin baik-baik saja. Mereka saling berpelukan.

“Lebih baik kita segera pergi dari sini!” Suara Karmin memecah kesunyian.

Kakak beradik itu kemudian saling melepaskan pelukan. “Jangan dulu, saya ndak yakin keadaan sudah aman. Tadi, tukang kebun saya dibawa mereka.”

“Kita pergi, Zemin. Saya takut di sini ndak aman lagi. Tadi kami lihat mereka membawa pasangan Kwee dan membakar tokonya.” Karmin berusaha meyakinkan Zemin.

“Bener, Ko. Tadi saya lihat sendiri.” Wajah Mei Ling yang semula semringah berubah seketika saat mengatakan apa yang dilihatnya tadi.

Cukup lama  Zemin diam sampai Mei Ling kembali bersuara. “Ko ...” Sang adik menggoyang lengan Zemin sampai akhirnya Zemin mengangguk.

Mereka bertiga segera menuju bagian depan. Berharap sesegera mungkin menaiki Ford yang terparkir di halaman. Namun, langkah mereka terhenti saat terdengar suara jeep dari depan. Karmin dan Zemin saling berpandangan. Tanpa bicara, mereka berdua sepertinya satu suara untuk kembali ke gudang.

Zemin sengaja tidak mengunci pintu gudang agar keberadaan mereka di gudang tidak dicurigai. Kini, mereka bertiga bersembunyi di sebuah ruang rahasia berukuran 2x2. Sebuah ruang rahasia yang tertutup lemari.

Derap langkah mulai terdengar dari dalam. Karmin, Zemin dan Mei Ling duduk berdampingan dengan wajah cemas. Langkah itu terdengar makin jelas. Beberapa orang mulai menggeledah isi ruangan tetapi hasilnya nihilnya.

“Ndak ketemu?”

Telinga Karmin mendengar jelas suara berat seorang lelaki. Ya, suara itu sangat ia kenal.

Hening. Sesaat setelah terdengar beberapa langkah keluar meninggalkan gudang. Mereka bertiga memutuskan untuk tetap bersembunyi. Sembari menunggu keadaan aman, Zemin mengajak Mei Ling berbicara.

Berbeda dengan Karmin yang terlihat lebih banyak diam. Namun, sesungguhnya, pikirannya mengembara ke suatu masa. Sepasang matanya menoleh kepada kakak beradik yang sedang berbicara itu. Karmin mendesah. Merutuki ketidakperdayaannya melindungi dua sahabatnya yang kini sedang terancam.

Seumur hidup, Karmin merasa akan berhutang budi selamanya kepada keluarga Oei terutama terhadap Zemin. Pada suatu hari, Karmin, mencoba mengendarai Harley Davidson milik Zemin. Terjadi kecelakaan. Zemin, yang duduk di boncengan, menjadi cacat. Tak bisa berjalan normal. Oei Beng Lien, ayah Zemin, harus merelakan anaknya memupus mimpi melanjutkan ke sekolah hukum.

Karmin lalu mengalihkan matanya kepada Mei Ling yang mendengarkan Zemin berbicara. Ia tak tahu bagaimana ia bisa menaruh hati kepada putri keluarga Oei ini. Bisa jadi karena dulu mereka berdua sering bertemu sehingga Karmin tahu betul apa saja kebaikan Mei Ling. Lama Karmin menatap gadis Tionghoa ini, membuat Mei Ling tersadar ada sepasang mata yang memandangnya. Pipi Mei Ling memerah. Bibir tebalnya merekah sempurna.

“Ayo, cepat ngomong, di mana orangnya sembunyi?” mendadak dari arah luar terdengar lagi suara berat yang ditakuti Karmin.

Karmin hanya bisa menduga-duga apa yang sedang terjadi. Jika Karmin tampak begitu kuatir maka Zemin menampilkan wajah tenang. Jemari kirinya mengenggam erat tangan adiknya yang duduk di sampingnya. Zemin bisa merasakan ketakutan yang dirasakan Mei Ling saat mendapati tangan adiknya itu berkeringat.

Lemari persembunyian mereka berderit. Seseorang membukanya. Sapili! Karmin menahan napas. Seharusnya ia tahu, pamannya sejak dahulu tak pernah menyukai pertemanannya dengan keluarga Oei.

“Tarik mereka ke luar!” Sapili memberi perintah kepada anak buahnya sambil berkacak pinggang.

Zemin tak begitu kaget mendapati seorang lelaki paruh baya—tukang kebunnya berdiri di hadapannya bersama beberapa pemuda—anak buah Sapili. Dengan suara terbata, lelaki itu meminta maaf kepada majikannya. Zemin hanya mengangguk. Sama sekali tidak menampakkan kemarahan.

"Dasar ... sudah diberitahu bolak-balik ndak usah ketemuan sama temenmu ini, tetep saja ngotot! Untung saja Pramoe beritahu saya kalau kamu sama perempuan ini! Telunjuk Sapili mengarah kepada Mei Ling.

“Paman! Keluarga Zemin bukan mata-mata Belanda. Tolong, percaya sama saya. Saya ndak bohong! Karmin masih berusaha meyakinkan pamannya untuk tidak membawa Zemin dan Mei Ling.

Plakk! Tangan Sapili mendarat di pipi Karmin.

Sapili tidak dapat menahan kemarahannya! Tangannya mendarat mulus di pipi Karmin. Zemin dan Mei Ling sangat terkejut dengan pemandangan yang baru saja mereka lihat.

Seorang pemuda berpakaian kemeja dan celana selutut mendekati Sapili dan menyerahkan sesuatu. Bola mata Mei Ling membesar seketika saat mendapati  Sapili membuang sebuah bendera tiga warna ke tanah.

“Kamu pikir ini apa, he? Bendera Belanda ini ada di kamar perempuan  ini! Wajah Sapili semakin mengeras saat menginjak-injak bendera itu.

“Bukan, Paman. Mei Ling menemukannya sudah lama saat perayaan Hari Ratu di alun-alun.  Karmin hampir saja tak mempercayai jika Mei Ling masih menyimpan bendera itu selama bertahun-tahun. Seharusnya Mei Ling tahu, betapa berbahaya menyimpan benda-benda berbau Belanda di masa revolusi kemerdekaan seperti ini. Sekarang, kebaikan Mei Ling terhadap bendera itu akan menjadi alasan utama Sapili membawa kakak beradik itu.

“Karno, cepat bawa laki-laki pincang ini ke rumah sakit. Kumpulkan semua jadi satu!”

 Zemin berusaha berontak tetapi sia-sia. Tenaga  lelaki itu tak sebanding dengan dua orang yang berusaha menyeretnya keluar. “Karmin, saya nitip Mei Ling! Tolong dia!”

“Koko ... jangan tinggalkan saya, Ko.” Mei Ling berusaha menyusul kakaknya tetapi dihalangi pemuda yang membawa pistol parabellum. Adik Zemin itu menangis sejadi-jadinya saat suara jeep tak terdengar lagi.

Karmin yang iba melihat Mei Ling mendekat dan  berusaha meyakinkan sang untuk melepaskan Mei Ling. “Saya mohon, Paman. Tolong, lepaskan  Mei Ling. Kasihan...” Karmin setengah bersimpuh di hadapan Sapili.

Namun, Sapili tidak menghiraukannya. Lelaki ini justru memerintahkan anak buahnya yang masih tersisa untuk membawa Karmin  keluar. Dua pemuda mencoba membawa Karmin keluar tetapi Karmin berusaha melepaskan diri. Mulanya, sebuah pukulan di dapatnya di bagian perut. Kemudian, berulang kali. Ditambah lagi dengan Lee Enfield mendarat di bagian tengkuknya. Karmin makin tak berdaya dan diseret keluar denga mudah.

Penderitaan Karmin tak berhenti sampai di situ, beberapa pukulan masih diterimanya. Darah segar mulai keluar pada pelipis dan hidung Karmin. Semakin menambah ketidakperdayannya. Kini, ia tergeletak di tepi jalan—depan rumah Zemin. Samar-samar, telinganya menangkap teriakan Mei Ling. Sebuah permintaan tolong dari kebuasan Sapili.

Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, Karmin menyeret kakinya menyusuri jalanan Mergosono. Hatinya masih perih menyimpan luka tiada. Ia melangkah ke sebuah tanah kosong. Gundukan tanah menyembul di hadapannya. Karmin berdiri tepat di depannya lalu bersimpuh. Di sinilah akhir nasib Oei Zemin bersama orang-orang Tionghoa lainnya. Dibunuh dan dibakar di sebuah bekas pabrik mie.

Bibir Karmin tak henti meminta maaf kepada Zemin atas nasib Mei Ling yang juga berakhir tragis. Gadis pujaan Karmin itu berakhir di rumah sakit jiwa Lawang akibat tekanan jiwa karena pemerkosaan yang dialaminya. Sementara Sapili,  lelaki itu ditembak mati serdadu Belanda dalam sebuah pertempuran di Malang Timur.

Keterangan :

Tragedi Mergoso di Malang adalah pembantaian terhadap sekitar 30 orang Tionghoa yang diduga sebagai mata-mata Belanda pada penghujung Juli 1947 menjelang Agresi Militer oleh elemen rakyat.

Stadswatch : Organisasi penjaga keamanan kota yang anggotanya terdiri dari berbagai ras, dibentuk oleh pemerintah kolonial.

Lee Enfield : Senjata modern pada masa itu

Suku : Nama salah satu kecamatan di Kota Malang

Mergosono : Nama wilayah di Kota Malang

Ikuti tulisan menarik Dewi Sartika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler