Kampanye politik oleh Irmawati
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Penegakan demokrasi dibuktikan oleh hubungan antara pemerintah dan rakyat diwadahi oleh partai politik sebagai penyambung lidah rakyat. Pendirian parta politik didasari oleh kehendak untuk memperjuangakan keutuhan dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Dalam pergerakan partai politik memiliki identitas yang khas berupa ideologi yang mampu mengatur orientasi perilaku politik partai terhadap pembuatan kebijakan publik. Pada perkembangannya, ideologi partai politik mulai melemah di tengah berbagai praktik politik pragmatis. Memahami pragmatisme sebagai perilaku politik seseorang dalam mencapai suatu tujuan berdasarkan kondisi dan tujuan praktisnya tanpa memperhitungkan tujuan ideologis yang dianut. Sehingga, muncul persoalan eksistensi ideologi partai politik ditengah maraknya praktik politik pragmatis dimana ideologi dinilai melemah melalui prinsip, tujuan, maupun program agenda dalam tindakan politik partai. Kecenderungan politik pragmatis tersebut dibuktikan oleh berkembangnya praktik politik uang menjelang pemilihan melalui pembagian bahan pokok, memberikan uang maupun kegiatan sosial untuk menarik perhatian masyarakat.
Hal tersebut, dapat dijalankan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai praktik politik uang yang dilakukan oleh simpatisan partai merupakan tindakan melanggar aturan yang tercantum dalam UU No.7 tahun 2017 pasal 523 ayat (1) sampai (3) terkait pemilu yaitu kampanye, masa tenang dan pemungutan suara. Para politikus menilai tindakan pragmatis tersebut lebih mampu meraup suara rakyat dibandingkan penerapan ideologi partai ke masyarakat. sehubungan dengan, data yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan sebanyak 82 persen calon legislatif melanggengkan praktik politik uang demi mendapatkan kekuasaan di pemerintahan.
Alih-alih menegakan kepentingan ideologi politik, para elit politik melakukan praktik pragmatis demi melanggengkan kekuasaan untuk kepentingan partai maupun kepentingan diri sendiri dengan mengesampingkan peran utama partai politik sebagai wadah aspirasi rakyat. Melemahnya ideologi partai menimbulkan maraknya praktik pragmatis di masyarakat karena adanya kecenderungan ketidakdekatan rakyat dengan partai politik. Bahkan, menurut survey yang dilakukan kepada pemilih masyarakat kelas bawah dalam pemilihan umum lebih mementingkan pemberian politikus berupa uang untuk memberikan dukungan suara dalam pemilihan tanpa pertimbangan ideologi yang diusung oleh partai politik calon pemimpin.
Politik
Dilihat dari fenomena diatas, ideologi partai politik pasca reformasi terjadi pergusuran nilai oleh praktik politik yang berorientasi pada tindakan pragmatis dan transaksional. Salah satunya dalam momen penting politik dalam pemilihan legislatif adanya perubahan sikap partai dalam menjalankan peran sebagai agen tawar-menawar pencalonan pemimpin berdasarkan keuntungan yang diberikan. Kemunduran ideologi membuktikan praktik pragmatis yang dilakukan oleh partai politik hanya berorientasi terhadap suara yang diperoleh bukan berdasarkan pengembangan identitas dan konsistensi partai. Sehingga, berkembangnya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap eksistensi partai politik yang cenderung mementingkan kepentingan partai. Menurut Lembaga Survei Indonesia (2009) ketidakpercayaan publik kepada peran partai politik sebagai wadah aspirasi rakyat membuat rakyat beralih kepada peran media massa dan ormas yang dinilai dapat menyalurkan kepentingan publik. Dapat disimpulkan, faktor pendorong berkembangnya praktik politik pragmatis di Indonesia disebabkan oleh tiga hal yaitu melemahnya ideologi partai politik, butuh dana besar dalam mempertahankan pendirian partai politik dan terakhir rekrutmen calon pemimpin oleh partai politik kurang kredibilitas dan kompeten dalam menghadapi permasalahan politik.
Berdasarkan analisis diatas, maraknya praktik politik pragmatis di Indonesia perlu adanya gerakan perubahan baik dari pihak masyarakat, pemerintah, maupun partai politik untuk meningkatkan kembali eksistensi ideologi partai politik agar lebih professional, akuntabel, dan penegakan demokrasi. Fenomena politik pragmatis merupakan contoh bahwa terjadi kesalahan dalam rekrutmen kader partai politik yaitu penanaman ideologi partai dianggap gagal dalam proses kaderisasi. Selanjutnya, permasalahan dana dalam partai politik membuat partai melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan walaupun, cara tersebut bertentangan dengan ideologi. Kedua permasalahan tersebut, berhubungan erat menjelang pemilihan umum dimana partai politik mengusung kader yang dinilai menguntungkan partai untuk menduduki jabatan pemerintahan. Sehingga, partai dapat melanggengkan kepentingan melalui kader dalam pemerintahan untuk mengumpulkan dana secara ilegal. Meningkatkan eksistensi ideologi partai politik dapat dilakukan oleh beberapa cara yaitu penguatan ideologi partai kepada masyarakat melalui komunikasi politik dengan memaparkan aktivitas dan agenda partai sesuai prinsip ideologi yang diusung. Selanjutnya, keterbukaan rekrutmen kader berdasarkan kompetensi, pembinaan anggota terkait penanaman ideologi dan loyalitas kerja yang menjunjung integritas. dalam mengisi jabatan pemerintahan
Ikuti tulisan menarik Iqlima Ghaitsa lainnya di sini.