x

dari pixabay.com

Iklan

Joy Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 April 2023

Rabu, 3 Mei 2023 07:31 WIB

Perempuan-perempuan Setia

Garin percaya suaminya masih rapat. Dia menanti dengan setia. Kalau Ria bisa dipersatukan dengan calonnya setelah setia menunggu sepuluh tahun, Garin yakin dirinya pun akan bertemu suaminya lagi, entah di hidup ini, entah di hidup mendatang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dirus gerimis yang tumpah sepanjang siang menyisakan kemilau bening, seperti butiran kristal ditatah di jalanan. Seolah awan masih rindu kepada bumi, ditinggalkannya pula hawa dingin mengapit dunia: dingin yang bergelayut turun dari angkasa, dan dingin yang menyeruak naik dari tanah. Biar makhluk hidup tak lekas lupa warna hujan.

Di sebuah bangku panjang yang sudah dilap dengan sapu tangan, duduk seorang perempuan sore itu. Tangan kirinya meremas-remas jemari kanan, yang meremas-remas lipatan rok panjangnya. Ada risau di bibirnya namun kerlip pengharapan di matanya. Kerlip itulah yang membuat pancaran wajahnya tetap muda, walau kulit mukanya sudah lima puluh tahun lebih berkasih-kasihan dengan gravitasi sehingga ujung mata dan lemak pipinya turun sedikit. Sambil sesekali menggigil, dibenahinya syal putih kembang-kembang sambil menatap kejauhan. Selain itu, ia duduk tegak tak bergerak.

Puluhan meter di belakang bangku panjang — yang oleh sang wanita dianggap halte — ada bangunan bersih, yang dianggapnya apartemen. Dari bangunan itu keluar wanita lain, lebih muda namun tak lebih segar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Permisi, ikut duduk ya?” perempuan muda bertanya.

“Silakan, silakan,” jawab yang setengah baya.

Kecanggungan membekap mereka beberapa lama, sampai angin di dedaunan bersiul menertawakan. Akhirnya yang muda memberanikan diri meretas kebisuan.

“Eh, anu, Ibu sedang apa?” tanyanya, lantas langsung mengutuk diri karena pertanyaan bodohnya.

“Lagi menunggu, Mbak,” wanita yang tua menjawab ramah, bahkan tidak menganggap itu pertanyaan bodoh. “Kalau Mbak sendiri?”

“Sama, Bu. Menunggu suami saya.” Hening lagi. “Kalau boleh tahu, Ibu menunggu siapa? Anak Ibu?”

“Aduh bukan,” sahutnya cekikikan. “Saya menunggu calon suami.” Dia tertawa kecil bersahaja.

“Calon suami Ibu tinggal di mana?”

“Di luar kota, Mbak. Saya hitung-hitung tanggalan, harusnya dia datang minggu ini.”

“Hebat ya Ibu, bisa sabar pacaran jarak jauh.”

“Sudah dewasa ya begini, Mbak, cintanya makin dalam, riaknya makin tenang.”

Keduanya terkekeh bersama. Rasa akrab mulai bertunas.

“Mbak namanya siapa?” perempuan tua bertanya.

“Saya Garin. Kalau Ibu?”

“Saya Riang. Panggil nama saja, Mbak, atau kalau sungkan bisa panggil kakak. Kalau ‘ibu’ kok rasanya tua amat, padahal menikah saja belum.”

“Oh, iya Bu, eh Kak. Omong-omong, Kak Riang dengan calon suami kenal di mana?”

“Dulu, waktu saya masih di rumah, dia tetangga sebelah.”

“Wah, so sweet... Sudah pacaran berapa lama, Kak?”

“Sepuluh tahun lebih, Mbak.”

“Apa?!” Keterkejutan Garin menampak tanpa dibuat-buat. “Sepuluh tahun lebih pacaran, Kak? Bisa awet? Apa rahasianya?” Garin bertanya antusias.

“Betul. Awet Mbak, tengkar pun tak pernah, karena saya berjanji menunggu.”

 

Riang menghela napas syahdu. Dan kisah cintanya pun mulai. “Dulu, waktu awal kenal, dia lebih muda dan segan menyatakan cinta. Saya yang mulai duluan. Mulanya dia menolak. Dia bilang, masa lelaki lebih muda, kurang patut. Saya bilang tidak masalah, umur kan cuma angka. Dia tetap enggan, tetapi saya beri perhatian terus-terusan. Lama-lama dia luluh.”

Perempuan setengah baya itu berhenti sejenak. Seraya menatap ke angkasa, seutas senyum bahagia tersungging menghias nostalgianya. “Saya ingat betul dia pakai baju biru waktu bilang begini, ‘Baik Riang, aku mau melamarmu, tapi tunggu ya sampai umurku menyusul umurmu dan jadi lebih tua. Sementara menunggu, kamu jangan bertambah tua.’ Tentu saja saya mau. Saya janji. Saya bersumpah.”

Garin menyimak penuh haru.

“Sejak itu dia pergi, Mbak. Kerja di luar kota. Saya menunggu sambil menghitung perputaran bulan bintang. Akhir tahun lalu, dia mulai mengejar umur saya, dan minggu ini dia akan jadi lebih tua. Dia pasti datang melamar sesuai jan... Eh! Ya ampun! Astaga! Itu dia! Mbak Garin, dia datang, Mbak! Calon suami saya!” Suaranya gemetar.

Riang berlari melesat, menyongsong calon suaminya yang bergerak mendekat. Di mata Riang dan Garin, pria itu memakai baju biru bersejarah yang tadi diceritakan.

Dengan karib Riang dan lelaki itu berpelukan mesra. Di bangku panjang, Garin menangis berderai-derai.

 

Dari bangunan di belakang bangku itu keluar lagi perempuan lain, Diana.

“Kak Riang! Waktunya mandi!” teriaknya kuat-kuat. Namun, Riang yang sedang sibuk menggelontorkan rindu tidak mendengarnya. “Kak Riang!” panggil Diana lagi. 

Sejak hari pertama tinggal di situ, Riang memang tak mau disebut ibu, sebab menurutnya, pertambahan usianya sudah berhenti sepuluh tahun lalu. 

Diana tergopoh menjemput Riang. “Ayo mandi dulu, Kak,” ajaknya. Riang dituntun ke dalam sambil menyepak-nyepak.

Tangan Suster Diana lembut namun kuat, terlatih menggenggam situasi semacam itu. Sembari merangkul kencang pundak Riang, sempat dia meluruskan kerutan di kemeja seragamnya yang dibordir, Rumah Pemulihan Hidup Baru.

Di luar, Pak Tisna, pesuruh dapur, lanjut menggelindingkan elpiji biru 12 kilogram yang ditumpuk dua, yang tadi sempat terhenti gara-gara tabungnya dipeluk Ria.

Sementara itu, di bangku panjang Garin masih sesenggukan. Matanya nanar menyaksikan yang biru-biru itu bergulir menjauh. Buat dia sendiri, bangku ini bukan halte, melainkan kursi beranda rumahnya, tempat dia biasa menunggu suami yang dua tahun lalu pamit pergi rapat bersama nona sekretaris. Suaminya bersumpah itu hanya rapat besar, rapat panjang. Suaminya berjanji pasti kembali. 

Garin percaya suaminya masih rapat. Dia menanti dengan setia. Kalau Ria bisa dipersatukan dengan calonnya setelah setia menunggu sepuluh tahun, Garin yakin dirinya pun akan bertemu suaminya lagi, entah di hidup ini, entah di hidup mendatang.

 

Di angkasa sana, gemawan tak sanggup lagi menanggung rindunya kepada bumi. Bergulung mereka datang mendesau diiringi tabuh-tabuhan guruh, serupa mempelai pria menjemput pengantinnya. Alam berubah warna. Warna hujan. Dan gerimis pun tiris lagi.

 

Ikuti tulisan menarik Joy Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler