x

Petani Kelapa Sawit, sedang memanen sawit, untuk dijual. Foto-Ist.

Iklan

Bagas Indrayatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Mei 2023

Rabu, 10 Mei 2023 09:54 WIB

Pusat Energi Kelapa Sawit Indonesia: Masterplan Optimasi Regulasi dan Teknologi Bioenergi Kelapa Sawit di Indonesia

Sawit menjadi tanaman yang kompleks dalam nexus energi, makanan, dan air. Sawit dapat menjadi raksasa bioenergi yang potensial mendukung bauran energi terbarukan di Indonesia. Produk sisa industri kelapa sawit juga sudah banyak dimanfaatkan. Namun dalam pelaksanaan secara masif, berbagai inovasi pemanfaatan produk sisa kelapa sawit belum berjalan efektif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional menyebutkan bahwa target penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia tahun 2025 mencapai 23%. Dari angka tersebut, 8,41% energi baru terbarukan ditargetkan berasal dari bioenergi.

Bioenergi merupakan sumber energi yang berasal dari tanaman atau bahan baku organik. Bioenergi termasuk dalam sumber energi yang kompleks dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan bioenergi bukan hanya menghasilkan listrik, namun juga menghasilkan energi lainnya seperti biofuel, gas LNG, dan biopelet.

Salah satu bioenergi yang masif dimanfaatkan adalah kelapa sawit. Kelapa sawit adalah tanaman pangan dan juga menjadi tanaman sumber energi yang banyak tumbuh di Indonesia. Dalam prosesnya, industri kelapa sawit melakukan ekstraksi Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak mentah kelapa sawit. Dari proses tersebut dihasilkan produk utama, yaitu minyak mentah kelapa sawit/Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti kelapa sawit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, juga dihasilkan produk samping, yaitu berupa cangkang, serabut, janjangan kosong, limbah cair kelapa sawit/Palm Oil Mill Effluent (POME), batang, dan dahan. Semua produk yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit diatas merupakan sumber bioenergi yang potensial. Bukan hanya CPO nya yang berguna untuk menjadi biodiesel, lebih dari itu berbagai produk samping memiliki potensi sumber bioenergi seperti dalam bentuk biogas dan biomassa.

Selama ini, pemerintah baru fokus terhadap pemgembangan biodiesel dari CPO yang terlihat dari program B30. Padahal jika ditinjau potensi energi yang dikandung, produk sisa industri kelapa sawit juga memiliki kandungan energi yang besar. Hambali, dkk (2017) menyebutkan bahwa di tahun 2030 akan terproduksi 54 juta ton janjangan kosong, 31 juta ton serabut,15 juta ton cangkang, 130 juta ton POME, 115 juta ton pelepah sawit, dan 59,7 juta ton batang kelapa sawit. Ini akan menjadi potensi yang besar dalam memenuhi sumber bioenergi nasional.

Sekarang produk sisa industri kelapa sawit sudah banyak dimanfaatkan. Namun dalam pelaksanaan secara masif, berbagai inovasi pemanfaatan produk sisa kelapa sawit belum berjalan efektif. Hal ini karena kurangnya integrasi antara teknologi dengan regulasi yang belum mendukung. Kesenjangan ini yang mengakibatkan berbagai teknologi pemanfaatan produk sisa kelapa sawit belum dapat diaplikasikan dengan maksimal.  Padahal proyeksi kebutuhan energi nasional 2050 mencapai 5.284 juta SBM (BPPT Outlook Energi Indonesia 2020). Sokongan energi ini termasuk diantaranya dari bienergi. Bioenergi kelapa sawit ini benar-benar perlu dikembangkan secara serius.

Phaik Eong Poh, dkk (2020) dalam bukunya Waste Management in the Palm Oil Industri - Plantation and Milling Processes telah menyebutkan bahwa teknologi dan inovasi telah banyak ditemukan dalam memanfaatkan produk sisa kelapa sawit. Hanya saja, dalam buku tersebut tidak dijelaskan strategi integrasi supaya teknologi tersebut mampu diaplikasikan. Masterplan dan rencana integrasi adaptasi terhadap regulasi belum dimunculkan secara jelas.

Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) belum ada rancangan/masterplan pengembangan bioenergi, khususnya kelapa sawit. Masterplan ini penting, karena tanpa adanya keseimbangan antara penemuan teknologi inovasi dengan regulasi, maka teknologi tersebut sulit untuk dapat diterapkan.

Akselerasi ini dilandaskan bahwa jika suatu masterplan sudah disetujui dan dilaksanakan untuk suatu pengembangan, pastinya akselerasi teknologi akan dilakukan demi berjalannya masterplan tersebut. Masterplan ini pastinya akan menciptakan regulasi baru yang mengadaptasi dari tujuan masterplan. Regulasi inilah yang nantinya akan merangsang munculnya teknologi baru. Karena walaupun banyak penemuan teknologi tapi regulasinya sama sekali tidak mendukung. Maka teknologi tersebut tidak akan diterapkan dan tidak akan terdapat perubahan.

Dengan pengalaman penulis kuliah pada jurusan teknologi pengolahan sawit, penulis menemukan solusi terhadap masalah ini. Penulis menemukan suatu strategi masterplan yang kompleks yaitu Pusat Energi Kelapa Sawit Indonesia (PEKSI). PEKSI merupakan konsep pembangunan pusat energi kompresensif yang berasal dari kelapa sawit, baik itu berupa energi listrik, LNG, maupun biomassa/biopelet. PEKSI akan mengintegrasikan industri kelapa sawit khusus energi dari hulu sampai hilir, yaitu meliputi perkebunan kelapa sawit, pabrik kelapa sawit, instalasi biogas, pabrik pelet boiler, dan biodiesel refinery. PEKSI terdiri dari beberapa strategi yaitu :    

  1. Penetapan Regulasi Rencana Umum Bioenergi Kelapa Sawit Indonesia

Walaupun rencana umum energi nasional sudah terbentuk dengan diterbitkannya PP Nomor 22 Tahun 2017, namun pelaksanaan secara khusus yang merencakan pengembangan bioenergi kelapa sawit belum dibuat. Bioenergi kelapa sawit harus memiliki rencana umum tersendiri karena potensi bioenergi yang besar, sudah massif dilakukan pengembangan, teknologi yang relative mudah, serta ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan. Rencana umum ini nantinya yang akan merangsang adanya masterplan, arah kebijakan perundangan, akselerasi teknologi, dan adaptasi social budaya. Pilar-pilar keberlanjutan menjadi pegangan utama dalam penyusunan RUEN yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Ini bertujuan agar RUEN yang dirancag untuk masterplan PEKSI dapat digunakan secara berkelanjutan dan tidak berhenti di tengah jalan karena salah satu pilar tidak terpenuhi.

  1. Pembangunan Kawasan PEKSI Nasional

Langkah awal setelah adanya regulasi dalam merancang sebuah masterplan PEKSI yaitu pembangunan kawasan PEKSI nasional. Kawasan ini meliputi kebun energi, pabrik kelapa sawit, instalasi biogas POME, pabrik biopelet boiler, gasifikasi cangkang kelapa sawit, dan biorefinery. Kawasan dibangun secara terpadu dalam sebuah area yang luas dan dengan kemungkinan pembangunan yang memadai. Data dari Badan Pusat Statistik (2019) menyebutkan bahwa terdapat 14.595.579 hektare kebun kelapa sawit yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dengan presentase penyebaran yaitu, pulau Sumatera 56,17%, pulau Kalimantan 39%, pulau Sulawesi 3,16 %, pulau Maluku 0,07%, pulau Papua 1,4%, dan pulau Jawa 0,2%. Dengan angka diatas, peluang terbangunnya kawasan PEKSI ini menjadi besar.

Kebun energi merupakan kebun yang dibangun hanya untuk kepentingan energi. Jadi seluruh hasil produksi hanya digunakan dalam produksi bioenergi baik dalam bentuk biofuel, biogas, ataupun biomassa. Kebun energi ini harus dibedakan dengan kebun pangan kelapa sawit. Hal ini dilakukan supaya tumpang tindih permintaan produk kelapa sawit untuk pangan dan energi tidak bercampur jadi satu. Dalam pembangunan kebun energi, tidak perlu diadakan land clearing kembali, karena luasan kebun kelapa sawit sekarang sudah sangat mencukupi. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (2019), kebutuhan konsumsi CPO nasional meliputi 2,4 persen untuk pangan, 12,5 persen untuk industry oleokimia, dan 11 persen industri biodiesel dengan produktivitas CPO nasional mencapai 48.417.897 ton. Dari data ini, dapat diambil kesimpulan bahwa hanya 14,9 persen dari produktivitas CPO nasional yang digunakan untuk memenuhi konsumsi non energi. Masih terdapat 85,1% produktivitas CPO yang tersisa untuk siap dijadikan sebagai sumber bioenergi. Jadi tidak perlu lagi membuka lahan untuk pembangunan kebun energi ini.

Pembangunan kawasan PEKSI dapat dibagi berdasarkan luasan kebun kelapa sawit yang dimiliki. Saat ini dengan luas kebun kelapa sawit 14.595.579 hektare (Badan Pusat Statistik, 2019:21) yang tersebar di 27 provinsi, PEKSI dipetakan menjadi 12 regional. Meliputi regional Aceh-Sumatera Utara (ACSU), Sumatera Barat-Riau-Kepulauan Riau (SBRI-KR), Jambi-Bengkulu (JMBL), Sumatera Selatan-Lampung-Bangka Belitung (SLBB), Jawa Barat-Banten (JBB), Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah-Kalimantan Selatan (KBTS), Kalimantan Timur-Kalimantan Utara (KTKU), Gorontalo-Sulawesi Barat-Sulawesi Selatan (GSS), Sulawesi Tengah-Sulawesi Tenggara (STT), Maluku, Papua, dan Papua Barat. Dasar argumentasi pengategorisasian menggunakan suatu pendekatan yang disebut sebagai klasterisasi. Klasterisasi ini berdasarkan luas kebun kelapa sawit dan letak geografis.

  1. Akselerasi Teknologi

Dalam menciptakan iklim PEKSI dalam kancah penyediaan energi nasional, akselerasi teknologi sangatlah perlu dilakukan. Kolaborasi dengan start up local dapat dilakukan untuk menciptakan iklim akselerasi teknologi energi kelapa sawit. Banyak BUMN maupun start up yang sudah bergelut dengan energi kelapa sawit. Namun mereka bekerja di bidangnya masing-masing, seperti produksi biodiesel, produksi biogas POME, ekspor cangkang sawit, maupun produksi biopellet. Dengan adanya PEKSI ini harapannya, pemerintah dapat merangkul pihak-pihak tersebut untuk menyatukan visi demi pemanfaatan 100% kelapa sawit untuk bioenergi di Indonesia.

Kolaborasi dapat dilakukan oleh beberapa BUMN seperti PLN, PERTAMINA, dan Perusahaan Gas Negara. Untuk start up seperti Aliesh Power. Perusahaan-perusahaan tersebut sudah memiliki teknologi mumpuni, tinggal bagaimana PEKSI mampu lebih mengoptimalkan dan menfokuskan dalam produksi diversifikasi energi dari kelapa sawit.

  1. Perancangan Konsep Ekonomi Energi

Saat ini koordinasi pengembangan energi dari kelapa sawit masih dilakukan secara terpisah oleh perusahaan atau lembaga tertentu. Maka dari itu banyak sekali kesenjangan yang muncul. Perlu adanya rancangan terpadu untuk bisa melakukan komando yang sama dalam pengembangan energi ini. Salah satunya dari sisi keekonomian yang menjadi sector vital dalam pengembangan energi ini. Berbagai aspek mempengaruhi keekonomian energi kelapa sawit, mulai dari harga minyak bumi, subsidi, sampai kesejahteraan petani kelapa sawit. Karena kepentingan masih bertumpang tindih, perusahaan-perusahaan menginginkan profit tinggi, dan petani jauh dari kesejahteraan, maka proyek energi kelapa sawit terutama biodiesel menjadi seret. Mengadopsi sudut pandang makroekonomi biodiesel, kajian subsidi energi kelapa sawit dapat dikelola dengan APBN supaya keberlanjutannya terjamin. Saat ini seperti kejadian pada biodiesel, semua subsidi ditanggung oleh BPDPKS yang pastinya akan keberatan dengan fluktuasi pasar terhadap harga CPO.

Masterplan PEKSI dirancang dengan memperhatikan kondisi kebun kelapa sawit, kebutuhan energi masa depan, dan optimisme mencapai penggunaan energi baru terbarukan 23% di tahun 2025. Masterplan ini dapat menjawab rencana umum energi nasional bidang bioenergi secara spesifik. Penyusunan RUEN Bioenergi Kelapa Sawit menjadi hal utama karena akan menjadi pemantik poin-poin selanjutnya dalam mensukseskan masterplan ini. Hadirnya masterplan PEKSI diharapkan mampu menciptakan ekosistem pembangkit bioenergi yang massif di Indonesia. Selain itu, upaya ini dapat memajukan perusahaan atau start up bidang energi terbarukan untuk bisa tumbuh dan berkolaborasi dalam menghadirkan energi bersih bagi negeri. Harapannya masterplan ini dapat dijadikan referensi bagi pemangku kebijakan di pemerintahan dalam upaya pemenuhan energi nasional dan pelaksanaan pemanfataan energi baru terbarukan dalam mempersiapkan energi yang berkelanjutan.

Ikuti tulisan menarik Bagas Indrayatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu