x

cover buku Dimsum Terakhir

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 11 Mei 2023 12:14 WIB

Dimsum Terakhir - Novel Yang Membahas Masalah Tionghoa Dari Dalam

Kebanyakan karya fiksi bertema tionghoa membahas topik tentang diskriminasi, penderitaan akibat kerusuhan dan dorongan untuk berasimilasi. Dimsum Terakhir berbeda. Novel ini membahas masalah tionghoa dari dalam. Clara Ng menggambarkan kegelisahan orang-orang Tionghoa tentang hubungannya dengan budaya leluhur karena kehidupan mereka saat ini sudah sangat beragam. Kehidupan mereka beragam dilihat dari orientasi pekerjaan, agama, orientasi politik dan budaya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Dimsum Terakhir

Penulis: Clara Ng

Tahun Terbit: 2006 (cetakan kedua)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 368

ISBN: 979-22-2069-0

 

Dari sekitar 60 karya fiksi bertema tionghoa yang saya miliki, “Dimsum Terakhir“ karya Clara Ng ini adalah lain dari yang lain. Kebanyakan karya fiksi bertema tionghoa membahas topik tentang diskriminasi, penderitaan akibat kerusuhan dan dorongan untuk berasimilasi. Dimsum Terakhir berbeda. Novel ini membahas masalah tionghoa dari dalam. Clara Ng menggambarkan kegelisahan orang-orang Tionghoa tentang hubungannya dengan budaya leluhur karena kehidupan mereka saat ini sudah sangat beragam. Kehidupan mereka beragam dilihat dari orientasi pekerjaan, agama, orientasi politik dan budaya.

Apakah mereka masih bisa merawat budaya leluhur? Apakah mereka masih beridentitas tionghoa ketika mereka telah mempunyai cara hidup yang berbeda?

Sebagai seorang penulis fiksi beken, Clara Ng membungkus kegelisahan masyarakat tionghoa tersebut dalam sebuah kisah yang renyah dan menarik. Clara Ng memilih tokoh lelaki tua bernama Nung (Tan Tjing Yung) yang terkena strook untuk menggambarkan budaya leluhur yang sudah mulai ditinggalkan tetapi tetap dicintai. Sedangkan untuk menggambarkan orang-orang tionghoa yang hidupnya beragam, Clara Ng menghadirkan4 gadis kembar. Keempat gadis kembar tersebut adalah Siska Yuanita (Tan Mei Xia) pebisnis, Indah Pratidina (Tan Mei Yi) wartawan,  Tan Mei Xi (Rosi Liliani) petani bunga, dan Tan Mei Mei (Novera Kresnawati) guru.

Siska digambarkan sebagai perempuan yang cerdas, punya bisnis di Singapura. Siska adalah seorang perempuan mandiri yang tidak membutuhkan suami dan membangun keluarga. Siska adalah representasi orang-orang tionghoa yang bergelut di sektor bisnis yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dan berpikir sangat rasional.

Indah si wartawan digambarkan sebagai seorang perempuan yang punya asma, selalu khawatir tentang keadaan tetapi juga agak sembrono dalam pergaulan. Indah digambarkan mengandung dan melahirkan anak dari seorang pastur. Indah adalah gambaran orang-orang tionghoa yang bergerak di wilayah intelektual yang sering khawatir akan kondisi orang tionghoa.

Rosi adalah seorang perempuan tomboi yang berprofesi sebagai petani mawar. Rosi mempunyai masalah karena merasa sebagai laki-laki yang terjebak dalam tubuh perempuan. Ia berpacaran dengan seorang perempuan bernama Dharma. Saya agak kesulitan mengidentifikasi kelompok mana yang diwakili oleh Rosi. Apakah Clara Ng mau menggunakan Rosi sebagai kelompok tionghoa yang bingung dengan identitasnya sebagai orang cina atau sebagai pribumi?

Novera sang guru digambarkan sebagai gadis yang kehilangan kandungannya karena operasi kanker dan memilih untuk menjadi Katholik. Novera akhirnya menikah dengan seorang duda beranak satu yang ditinggal mati oleh istrinya. Menurut saya Novera sangat cocok mewakili orang-orang tionghoa yang merintis karir sebagai pekerja. Kelompok tionghoa yang menjadi pekerja memang besar jumlahnya. Biasanya mereka memilih untuk hidup praktis (memilih agama yang tidak ribet secara ritual), kurang memikirkan nasipnya sebagai orang tionghoa karena terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-hari.

Meski keempat gadis kembar mempunyai kehidupan sangat berbeda sifat dan pekerjaannya, mereka dibesarkan dalam budaya leluhur yang sama di masa kecilnya. Saat kecil mereka sering diajak ke kelenteng oleh mamanya. Mereka mempunyai kebiasaan merayakan hari besar tionghoa, seperti Imlek. Dalam novel ini juga digambarkan berbagai tradisi tionghoa yang masih membekas dalam kehidupan keempat gadis tersebut. Contohnya saat hari keduapuluhlima (cap go) mereka hanya makan sayur. Saat ayah mereka memerlukan pengobatan, mereka mencari shinshe dan obat cina. Mereka makan bacang dan dimsum di saat Imlek.

Kegalauan akan orientasi terhadap budaya leluhur digambarkan dengan situasi dimana sang ayah (Nung) kena strook dan keempat anak kembarnya datang untuk menunggui. Saat menunggui sang ayah yang sakit parah inilah mereka menghadapi masalahnya masing-masing. Masalah praktis dan masalah eksistensi. Siska harus mengurus bisnisnya yang bermasalah. Indah bingung dengan kehamilannya. Rosi menghadapi kegamangan untuk mendeklarasikan bahwa dia sesungguhnya adalah seorang lelaki yang terjebak dalam tubuh perempuan. Sementara Novera menghadapi pilihan antara menjadi suster atau menjadi istri Rafy ayah dari muridnya.

Pada saat yang sama, mereka dihadapkan pada permintaan sang ayah. Permintaan tersebut adalah supaya mereka berempat menikah sebelum sang ayah meninggal. Apakah permintaan ini adalah cara Clara Ng menggambarkan permintaan untuk kembali merengkuh tradisi?

Clara Ng mengakhiri novelnya dengan kematian sang ayah. Sebelum kematiannya, Nung bisa menerima bahwa tidak semua anaknya memenuhi permintaannya untuk menikah. Siska tetap menjadi perempuan mandiri yang sibuk dengan bisnis. Indah memilih untuk membesarkan bayinya meski tanpa ayah. Rosi berani mengakui jatidirinya sebagai seorang lelaki yang terjebak dalam tubuh perempuan. Bahkan Rosi berani mengakui Dharma sebagai pacarnya di hadapan sang ayah. Hanya Novera yang memenuhi janji untuk menikah. Novera menikah dengan Rafy.

Kehidupan orang tionghoa memang sangat kompleks, Mereka diikat dalam sebuah tradisi tapi di saat yang sama mereka mempunyai kehidupan yang sangat beragam. Kehidupan yang sangat beragam itu mengakibatkan respon mereka tentang jatidiri dan hubungannya dengan berbagai tradisi leluhur juga sangat berbeda-beda.

Dimsum Terakhir adalah sebuah perlambang bahwa bagaimanapun orang-orang tionghoa masih merasa dirinya sebagai tionghoa. Tetapi di saat yang sama masing-masing telah membangun tradisi baru yang cukup rumit untuk dipersatukan kembali dalam satu tradisi.

Akhirnya, benar apa yang disampaikan oleh Putu Fajar Arcana dalam endorsnya bahwa buku karya Clara Ng ini adalah novel bertema tionghoa yang lain dari yang lain. Clara Ng melakukan gugatan tidak bermaksud menjadi hero, tetapi menyalakan “lampu kuning,” bahwa ada hal yang harus diperbaiki dalam perikehidupan kita. 749

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu