x

Gambar oleh Alex Banner dari Pixabay.com

Iklan

Muhammad Arief Virgy

Peneliti Kebijakan Publik
Bergabung Sejak: 12 Mei 2023

Jumat, 12 Mei 2023 20:57 WIB

Korupsi; Jalan Terjal Industri Tambang Nasional

Artikel untuk diikutkan dalam LOmba Menulis Artikel Jatam

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengamanatkan bahwa jalannya perekonomian Indonesia didasarkan pada asas kekeluargaan. Oleh karena itu cabang-cabang produksi yang memiliki nilai ekonomi tinggi perlu dikuasai oleh negara karena pengaruhnya yang besar terhadap hajat hidup orang banyak. Adapun cabang-cabang produksi yang memiliki nilai ekonomi tinggi meliputi tanah, air, hingga sumber daya alam yang didalamnya termasuk aneka jenis tambang.

Indonesia merupakan salah satu aktor kunci dalam industri perdagangan global pada sektor pertambangan, terutama batu bara dan nikel. Oleh karenanya penting untuk memastikan tata kelola sektor pertambangan yang baik agar sumber daya tambang dapat menopang hajat hidup orang banyak sebagaimana diamanatkan konstitusi. Namun, Indonesia masih menghadapi jalan panjang untuk mewujudkan amanat konstitusi tersebut karena adanya tantangan potensi korupsi yang besar pada sektor ini.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pada cuitannya, apabila korupsi di sektor pertambangan dapat dihapus, maka setiap orang di Indonesia dapat memiliki penghasilan sebesar Rp30 juta per bulan menurut penuturan mantan Ketua KPK Abraham Samad (2013). Potensi kerugian negara yang luar biasa besar tersebut diamini juga oleh penelitian-penelitian yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga. Misalnya, menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), walaupun hanya terdapat 4 kasus korupsi pada sektor pertambangan yang tercatat sepanjang 2019, sektor pertambangan menjadi sektor yang paling besar menimbulkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp5,9 Triliun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Korupsi yang besar mempengaruhi kondisi tax ratio dari sektor pertambangan dimana sektor tersebut hanya memiliki tax ratio sebesar 6,3%, jauh dari rasio yang ideal yaitu sebesar 14-16%. Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menunjukkan bahwa potensi pemasukan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan belum sepenuhnya optimal.

Padahal, sebenarnya tarif pajak serta PNBP yang dikenakan pada sektor pertambangan masih sangat rendah. Misalnya, tarif Pajak Bumi Bangunan (PBB) untuk pertambangan minerba hanya sekitar Rp81.000 per hektar. Idealnya, tarif pajak serta PNBP perlu memasukkan biaya eksternalitas dari potensi degradasi lingkungan serta sosial yang mungkin terjadi akibat konsesi tambang. Pengenaan pajak dan PNBP dapat menjadi instrumen mengatur tata kelola sektor pertambangan dapat comply dengan prinsip good governance.

Namun, dengan tarif yang masih rendah ini saja, penerimaan pajak serta PNBP pada sektor pertambangan masih belum berada pada titik yang optimal akibat praktik korupsi yang merajalela. Lantas, apa yang menjadi penyebab maraknya korupsi terjadi pada sektor pertambangan?

Memahami Tipologi Penyebab Korupsi di Sektor Pertambangan

Tipologi korupsi di sektor pertambangan cenderung memiliki kemiripan dengan korupsi di sektor-sektor sumber daya alam lainnya yang bersifat state-captured corruption. Artinya, korupsi ini melibat sejumlah nama besar dan pemodal besar sehingga permasalahan yang terjadi lebih bersifat struktural ketimbang institusional. Permasalahan korupsi di sektor pertambangan tidak hanya meliputi sistem regulasi, melainkan juga pada pengaturan administrasi dan birokrasi.

Tantangan struktur ekonomi-politik yang melibatkan elit-elit nasional dan daerah menambah catatan mengenai proses penegakan hukum pada sektor ini, karena menyebabkan proses penegakan hukum menjadi terkendala. Dengan demikian, praktik korupsi pada sektor pertambangan cenderung persistent terlepas dari beragam upaya-upaya reformasi yang telah dilakukan.

Apabila kita melakukan penelusuran lebih dalam mengenai tipologi korupsi dalam sektor pertambangan, salah satu tipologi korupsi yang paling marak terjadi adalah mengenai penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal ini terutama marak terjadi ketika menjelang dan pasca pelaksanaan Pemilukada. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat pada 2017-2018 setidaknya terdapat 170 izin baru bergulir pada tahun politik tersebut. Maraknya penerbitan izin sektor pertambangan disebabkan oleh adanya transaksi antara kandidat dengan donatur yang salah satu hal yang menjadi kesepakatan antara kedua belah pihak tersebut adalah perihal kemudahan pemberian izin kepada donatur pasca kandidat memenangkan kontestasi. Alasan tersebut diperkuat oleh penelitian dari KPK pada 2015 yang menyebutkan bahwa dari 286 calon kepala daerah yang gagal dalam Pemilukada, 161 calon kepala daerah tersebut diantaranya mengakui bahwa donatur yang membiayai kontestasinya mengharapkan adanya imbalan di kemudian hari.

Studi dari Transparency International Indonesia juga menunjukkan bahwa dari 35 risiko korupsi yang teridentifikasi pada proses pemberian izin IUP eksplorasi, sebagian risiko korupsi yang paling besar terjadi adalah berkaitan dengan proses rancangan pemberian izin dan penentuan wilayah pertambangan. Dengan demikian, hal ini memperkuat indikasi bahwa sektor pertambangan cenderung memiliki kerentanan pada korupsi politik ketimbang korupsi birokratis. Risiko korupsi ini diperparah dengan tidak terbukanya data mengenai penerima manfaat (beneficial ownership) dari perusahaan terkait sehingga menghambat proses penegakan hukum ketika pemilik perusahaan yang sebenarnya tidak diketahui secara jelas.

Tipologi korupsi lain yang juga marak terjadi adalah perihal tumpang tindih antara perizinan tambang dengan area lain yang menyebabkan area konsesi tambang tidak clean and clear. Studi dari KPK pada 2014 menunjukkan konsesi tambang yang berbasis Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) tumpang tindih dengan kawasan hutan konservasi seluas 1,3 juta hektare dan dengan kawasan hutan lindung seluas 4,9 juta hektar. Selain itu, tumpang tindih perizinan tambang juga terjadi dengan Hak Guna Usaha (HGU) sawit yang luasannya mencapai 3 juta hektar. Sistem pemetaan Indonesia yang belum mencakup semua wilayah Indonesia secara rinci menyulitkan proses penentuan batas yang notabene krusial untuk memastikan tidak adanya tumpang tindih konsesi tambang. Dengan demikian, hal ini menyebabkan sulitnya Pemerintah Pusat untuk melakukan supervisi terhadap Pemerintah Daerah dalam hal mekanisme pemberian izin sehingga membuka pintu praktik korupsi di daerah. Salah satu contoh praktik korupsi yang paling besar terjadi di daerah yakni kasus Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 5,8 Triliun dan 711.000 US Dolar. Supian telah menyalahgunakan wewenangnya untuk menerbitkan IUP kepada tiga perusahaan yang dilakukan dalam kurun waktu 2010 hingga 2012.

Lalu, apa solusi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tata kelola sektor pertambangan sehingga dapat menurunkan risiko korupsi pada sektor ini?

 

Melirik Kebijakan Satu Peta

Perencanaan spasial yang baik merupakan salah satu hal yang dapat memperbaiki tata kelola sektor pertambangan di Indonesia dengan meminimalisir adanya tumpang tindih antar perizinan atau area masyarakat lokal/adat maupun menghindari konsesi tambang yang berada pada kawasan hutan lindung maupun kawasan hutan konservasi. Hal ini juga dapat membantu para pengusaha memiliki kepastian hukum dalam usahanya karena dapat menghindari konflik agraria dengan masyarakat lokal/masyarakat adat yang berpotensi menimbulkan kerugian operasional yang besar pada perusahaan jika konflik tak dapat dihindari. Masyarakat lokal/masyarakat adat yang memiliki kerentanan dalam konteks land tenure juga memiliki safe guard yang lebih baik lewat perencanaan spasial yang komprehensif.

Menyadari pentingnya perencanaan spasial yang baik tersebut, maka Pemerintah Indonesia mencoba menelurkan salah satu kebijakan yang dapat menjadi enabler untuk membuat lahan-lahan konsesi pertambangan yang ada dapat clean and clear, yakni Kebijakan Satu Peta yang dicanangkan Pemerintah lewat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan negara terhadap keakuratan data spasial guna melakukan pembangunan yang baik, termasuk perbaikan tata kelola sektor pertambangan terhambat dengan data yang seringkali tidak sinkron antara satu instansi dengan instansi lain terutama disebabkan tidak adanya satu acuan yang valid, apalagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menjadi tambahan tantangan di lapangan mengenai keakurasian data spasial. 

Dengan demikian, untuk menyelesaikan tantangan ini, Kebijakan Satu Peta membuat kompilasi data-data seluruh perizinan serta dokumen-dokumen pendukungnya seperti SK izin hingga peta izin yang memiliki format shapefile. Setelahnya, data-data yang telah dikompilasi kemudian diintegrasikan dengan peta dasar bumi yang sama hingga tahapan terakhir adalah sinkronisasi. Pada tahapan ini, Peta Indikatif Tumpang Tindih Izin dihasilkan sehingga dapat dilihat mana saja konsesi tambang yang perlu dirumuskan mekanisme penyelesaian tumpang tindihnya serta identifikasi awal mengenai indikasi korupsi pada beberapa konsesi tambang tertentu.

Dalam perkembangannya, pengembangan Kebijakan Satu Peta menemui tantangan perihal kesediaan instansi-instansi pemerintah yang memiliki kewenangan dalam penerbitan izin lahan untuk berkolaborasi dalam mengembangkan Kebijakan Satu Peta. Hal ini karena instansi-instansi terkait telah lama menikmati keuntungan dari ketidakjelasan tata kelola pengaturan yang ada dan dengan adanya Kebijakan Satu Peta maka celah pada perizinan tambang tidak dapat lagi dimanfaatkan. Saat ini, terdapat 5 provinsi yang menjadi lokasi percontohan pada dalam implementasi kebijakan ini yaitu Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, serta Papua. Namun, progresnya baru sekitar 38,2% dikarenakan masih terdapat kesulitan dalam mengintegrasikan data-data izin meliputi data izin lokasi hingga IUP.

Pengintegrasian data-data izin berjenjang pada sektor pertambangan dapat dibantu dengan adanya keterbukaan data konsesi tambang yang memudahkan proses kompilasi data-data konsesi. Akan tetapi, keterbukaan data konsesi justru menjadi tantangan terbesar yang dihadapi dalam implementasi Kebijakan Satu Peta. Indonesia yang notabene merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi Open Government Partnership nyatanya masih memiliki tantangan pada hal ini karena menganggap data konsesi merupakan data properti pribadi yang tidak dapat dibuka kepada publik. Intepretasi pemerintah terhadap klasifikasi data konsesi memiliki perbedaan dengan regulasi yang ada. Padahal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi mengenai perencanaan kebijakan publik, program-program pemerintah, hingga proses pengambilan keputusan yang sifatnya mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Atas dasar itu maka setiap warga negara dapat menuntut negara untuk menyediakan informasi mengenai konsesi suatu lahan guna menjadi kendaraan untuk memantau risiko-risiko korupsi pada sektor lahan. Sebagai contoh, organisasi masyarakat sipil dalam konteks tata kelola lahan sawit telah menggugat pembukaan data HGU kepada Komisi Informasi Publik (KIP) dan gugatan tersebut telah dikabulkan. Begitu juga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur juga telah mengabulkan gugatan terhadap pembukaan data HGU. Sayangnya, keinginan pemerintah untuk memperbaiki transparansi data konsesi masih belum ada walaupun sudah didorong oleh keputusan hukum yang tetap.

Secara regulasi, Kebijakan Satu Peta juga masih belum memberikan akses yang luas terhadap publik. Sebagaimana diatur pada Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Kewenangan Akses Untuk Berbagi Data dan Informasi Geospasial Melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional dalam Kegiatan Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, hanya beberapa pihak yang dapat mengakses Jaringan Informasi Geospasial Nasional yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Kepala Bappenas, Kepala Badan Informasi Geospasial, Menteri atau Pimpinan Lembaga, Gubernur, serta Bupati/Walikota. Padahal, adanya keterbukaan data spasial dan Kebijakan Satu Peta ke depan dapat mempermudah masyarakat sipil untuk menganalisa potensi praktik-praktik korupsi di sektor pertambangan. 

Akhir kata, sebagai negara yang notabene merupakan salah satu inisiator Open Government Partnership, Indonesia seharusnya menjadi benchmark bagi negara lain untuk menerapkan konsep Open Government dalam segala sektor, terutama sektor pertambangan yang memiliki kecenderungan melibatkan elit-elit. Indonesia perlu secara serius menggarap isu ini, karena pada dasarnya kita sudah berikrar lewat konstitusi, bahwa kekayaan negara merupakan pondasi bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga seyogyanya tidak ada lagi pihak-pihak yang justru tertinggal akibat eksplorasi sumber daya tambang di masa depan.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Arief Virgy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu