x

Film Tilik produksi Ravacana Films. Foto: Twitter Ravacana Films.

Iklan

Rofi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Juni 2021

Jumat, 19 Mei 2023 09:52 WIB

Tilik Series: Gambaran Politik Uang dalam Pusaran Pemilihan Kades

Film Tilik series telah memperlihatkan potret secara utuh persaingan politik di tingkat desa. Mulai dari sengitnya pencalonan, strategi kampanye, sampai momentum pemilihan menjadi latar cerita yang layak untuk ditonton. Melalui film ini, kita menjadi paham bahwa cara politik uang di dalam pemilu seperti bola panas yang dapat menjadikan siapa saja sebagai korban.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tahun 2020, Ravacana film merilis sebuah film pendek berjudul Tilik di kanal YouTube mereka. Film yang diproduksi pada tahun 2018 tersebut berhasil menarik minat lebih dari 28 juta penonton YouTube serta menjadi trending topik di berbagai media sosial. Saat ini MD Entertainment telah mengembangkan film “TILIK” menjadi Tilik series yang sudah tayang perdana pada tanggal tanggal 31 Maret 2023.

Tilik dalam Bahasa Indonesia diartikan menjenguk. Sesuai dengan judul film, konflik diawali dengan adegan rombongan ibu-ibu kampung yang menjenguk Bu Lurah di rumah sakit di tengah kota. Pada saat perjalanan, Bu Tejo memulai celotehannya tentang Dian, perempuan yang dianggap akan menjadi menantu Bu Lurah. Banyak gosip yang bertebaran mengenai perilaku Dian. Konflik semakin memanas ketika tokoh Yu Ning selaku inisiator tilik, mengingatkan Bu Tejo untuk tidak menelan informasi mentah-mentah justru harus menerima omelan Bu Tejo dan ibu-ibu lainnya setelah menerima informasi dari Dian bahwa saat ini Bu Lurah belum bisa dijenguk.  

Berjalan waktu, masa periode Bu Lurah memasuki akhir jabatan. Beberapa nama yang akan mencalonkan diri sebagai kades baru mulai bermunculan. Dua nama tersohor yang berniat mencalonkan diri adalah Pak Tejo dan Hartono. Pada bagian ini, Tilik series secara paripurna menggambarkan dimulainya persaingan yang panas dan sengit antara kedua tokoh tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pak Tejo berusaha memaksakan diri menjadi calon kepala desa untuk mempertahankan tradisi keluarganya sebagai keturunan lurah. Sedangkan Hartono merupakan tokoh kaya raya yang ingin menguasai desa dengan menjadi kades. Sedari awal kedua kandidat sama sekali tidak menunjukkan jiwa kepemimpinannya. Pak Tejo sibuk memikirkan harga diri keluarga besarnya, sedangkan Hartono tak kalah sibuk menghamburkan uang untuk niat piciknya.

Kedua tokoh ini sebetulnya mengingatkan kita, bahwa perilaku Pak Tejo dan Hartono adalah contoh kecil kondisi politik praktis di lingkungan kita. Kontestasi pemilihan kades sebagian besar dikuasai oleh para pemodal dan atau kelompok yang menguasai kantor desa. Figur-figur yang bermunculan tidak menunjukkan integritas dan kapabilitas yang mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin.  Justru ego dan kepentingan pribadi lebih banyak mendominasi pencalonannya. Sistem perekrutan pegawai desa kemudian diperparah dengan unsur nepotisme. Sudah menjadi rahasia umum jika kantor desa ya disesaki oleh pegawai dari kerabat dekat kades.

Situasi ini tentu tidak menyehatkan bagi sistem politik di desa. Desa menjadi ladang yang subur bagi para bandit-bandit kecil yang ingin mengeruk anggaran dan kekayaan desa melalui praktik korupsi. Sehingga dibutuhkan calon pemimpin yang mampu memutus rantai politik yang tengah suram.

Di tengah problematika Pak Tejo dan Hartono, Bu Tejo ditampilkan sebagai figur yang berani dan mementingkan kepentingan masyarakat. Mendengar arahan dari Bu kades, ia lantas memantapkan diri mendaftar sebagai bakal calon kades. Cerita Tilik menjadi begitu menarik ketika Pak Tejo yang menggebu-gebu ingin mencalonkan diri, masyarakat justru lebih tertarik dengan gaya kepemimpinan Bu Tejo.

Keputusan Bu Tejo tentu bukanlah hal yang mudah diterima bagi suaminya. Budaya patriarkal yang masih kental cukup menggambarkan adanya rasa tidak terima dari diri Pak Tejo. Di lain pihak, Hartono juga menggaungkan narasi misoginis yang dialamatkan kepada Bu kades dalam melancarkan niat bulusnya mencalonkan diri. Sehingga menjadi relevan jika situasi riil di lapangan perempuan masih harus melewati jalan terjal dalam memperjuangkan kebebasan berpolitiknya. Lalu, bagaimana Bu Tejo mengatasi situasi sulit dan justru menguntungkan elektabilitasnya sebagai calon kades?

Seperti kata Nelson Mandela “Pemimpin yang baik harus rela berkorban untuk memperjuangkan kebebasan rakyatnya.” Bu Tejo sedari awal mengawali langkah politiknya dengan menggali masalah yang terjadi di desa. Bersama dengan tim suksesnya, Ia menyampaikan gagasan dan program yang akan diwujudkan kepada masyarakat. Bu Tejo bahkan memberanikan diri melakukan ikrar bahwa terpilih atau tidaknya saat pemilihan, program yang telah dicanangkan akan tetap ia jalankan agar bisa bermanfaat bagi masyarakat.

Sudah menjadi barang langka figur-figur Bu Tejo di dunia politik. Politisi kita lebih banyak mengobral janji-janji palsu yang dibalut dalam bentuk program kerja. Program tersebut hanyalah sebatas bualan untuk melengkapi prasyarat pendaftaran, tentunya program kerja tersebut tidak memiliki nilai dasar pertimbangan atas masalah nyata masyarakat. Faktanya saat mereka terpilih menjadi wakil atau pemimpin di daerahnya banyak program kerjanya yang tak terealisasi. Jika diamati, politisi seperti ini biasanya mengawali kampanye politiknya dengan politik uang.

Strategi kampanye politik uang tentu juga mewarnai gelaran politik di desa Bu Tejo. Hartono memainkan praktik licik tersebut dengan memberikan berbagai bingkisan, kaos, dan uang kepada masyarakat. Berbeda dengan karakter Bu Tejo, Ia melarang keras keras segala bentuk kampanye dengan unsur politik uang. Ia memilih terus mengampanyekan program-programnya di pasar, rumah-rumah warga, dan masyarakat yang beraktivitas di ladang.

Tilik series menunjukkan bagaimana situasi warga yang telah terbiasa dengan politik uang berhadapan dengan pemimpin yang berani menentang keras strategi curang tersebut. Tidak sedikit tetangga Bu Tejo meragukan keseriusannya sebagai calon kades hanya karena tidak memberikan uang kepada warga. Tentu tekanan ini dirasakan langsung oleh Bu Tejo dan tim suksesnya. Akan tetapi ketegasan Bu Tejo mampu membangun kekuatan yang solid dengan tim suksesnya. Mereka dengan tegas tidak mengandalkan cara tersebut hanya untuk mendulang suara.

Menjelang masa pemungutan suara, Hartono mengerahkan tim suksesnya seperti Yu Ning dan Nopek selaku ketua karang taruna desa untuk melakukan serangan fajar di setiap rumah. Sifat culas Hartono memang begitu terlihat selama kampanye sampai masa pemilihan. Ia bahkan berani untuk menyuap Bawaslu yang sedang melakukan pemeriksaan mengenai laporan kecurangan atas kampanyenya. Hartono tetap percaya diri bahwa hal tersebut sudah menjadi hal biasa.

Sesuai dengan pembahasan di awal bahwa salah satu rusaknya pemilihan kades karena disokong oleh para pemodal. Hal demikian juga dilakukan oleh Hartono, ia berani menghabiskan banyak uang untuk kepentingan kampanye karena didukung oleh beberapa pemodal di belakangnya. Tak heran jika ia merasa percaya diri akan kemenangannya. Sayangnya mereka tak menyadari bahwa kecurangan itu justru menjerumuskannya pada kekalahan.

Hasil pemungutan suara telah selesai dilakukan. Hartono kalah 19 suara dengan Bu Tejo dan gagal menduduki kursi kades. Ia berakhir tragis di tangan para pemodal.

Melalui film ini, kita banyak belajar bahwa kampanye yang selalu dibalut dengan politik uang memiliki rentetan beban yang akan ditanggung berikutnya. Budaya politik uang yang telah mengakar di masyarakat perlu diruntuhkan dengan sosok calon pemimpin yang berani, tegas, berintegritas, dan mampu menyampaikan gagasan programnya dengan baik kepada masyarakat. Kita memahami bahwa politik bersih adalah cita-cita bagi setiap masyarakat. Sehingga bersatunya masyarakat yang menginginkan dan memilih kampanye bersih mampu menemukan calon pemimpin yang berkualitas untuk kepentingan masyarakat selama periode menjabat.

Ikuti tulisan menarik Rofi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler