x

Iklan

Wahyu Kris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Minggu, 21 Mei 2023 17:46 WIB

Ketika Pesantren Menertawakan Diri


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Catatan ringan film Pesantren (Shalahudin Siregar, 2022)

 Wahyu Kris

Bayangan tentang kopiah dan sarung perlahan memudar. Padahal, Pesantren baru saja memasuki menit-menit awal dimana seorang santri menekuri novel Life of Pi. Meski hanya sekejap, adegan di sudut kamar sempit itu sanggup menggerakkan cerita.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Novel Life of Pi (Yann Martel, 2001) mengisahkan perjalanan panjang remaja India bernama Pischine. Bagian paling banyak diulas adalah petualangannya mengarungi samudra berteman harimau Bengali. Di situlah lelaki yang kerap dipanggil Pi itu meragukan dan akhirnya menemukan Tuhan. Namun, sesungguhnya, pencarian Pi atas Tuhan dimulai sejak ia belajar agama Islam dan Kristen selain Hindu yang dianut keluarganya. Semua terhentak ketika Pi mengutarakan keyakinannya memeluk tiga agama sebagai jalan menemukan Tuhan.

Garis singgung Life of Pi dan Pesantren membujur di antara dua titik. Titik pertama adalah keberagaman sebagai keniscayaan. Titik kedua adalah dialektika sebagai fitrah manusia dalam ruang hidup yang tak hampa. Film berlatar Pondok Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon itu cukup telaten mengajak penonton merefleksikan bagaimana agama mesti dipeluk dan dibumikan kini di sini.

Keberagaman sebagai keniscayaan adalah anugerah Tuhan. Menghindari keberagaman berarti menyangkal hakikat Tuhan. Percakapan para santri di salah satu kelas tentang Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih menegaskan hal itu. Yang satu berbicara tentang akhirat, satunya tentang dunia. Allah mengasihi semua manusia di dunia. Maka, selama masih hidup di dunia, saling mengasihi adalah kunci. Me-liyan-kan sesama manusia, apapun alasan dan perbedaannya, hanya akan menjerumuskan manusia pada kehilangan kemanusiaannya. 

Keberagaman hadir dalam pelbagai latar dan tataran. Indonesia terbentuk dari lapis-lapis keberagaman. Setiap lapis membawa corak keberagamannya masing-masing. Mulai dari keberagaman agama dan cara beragama. Keberagaman budaya dan cara berkebudayaan. Hingga keberagaman berekspresi dan pilihan media untuk mengekspresikannya.

Keberagaman yang tersorot tajam dalam film besutan Shalahuddin Siregar ini adalah keberagaman menafsir ayat kitab suci. Zaman terus bergerak. Tafsir tak boleh mandeg.  Agama mesti ditafsir-terjemahkan secara progresif agar tetap relevan dengan kehidupan dan menjawab persoalan kontekstual. Salah satunya adalah tentang kesetaraan gender. Melalui Pesantren, kita diajak mengungkit kembali linieritas lelaki dengan kapabilitas kepemimpinan. Patronasi patriarki dikritik habis-habisan. Strategi kritiknya menukik. Cukup menghadirkan seorang ustad sibuk di dapur, sementara perempuan memimpin acara kongres. Adegan itu jauh lebih utuh berbicara tentang kesetaraan ketimbang hiruk-pikuk perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia itu sendiri.

Lapis keberagaman itu terhubung dengan titik dialektika manusia dalam ruang hidup yang tak hampa. Manusia terlahir sebagai bagian dari kerumunan manusia. Itu niscaya. Pun dengan agama. Di satu sisi agama hadir dalam kerumunan bersama agama lain. Di sisi lain, agama hadir di tengah kerumunan manusia dengan segala keberagaman di dalamnya.

Pada aras lain, agama perlu menghidupi peran sebagai garam yang meski tak tampak tetap memberi dampak. Agama mesti menjadi ruang dialektika dimana kesalehan ritual segaris dengan kesalehan aktual. Wajah agama seperti itu amat dibutuhkan Indonesia hari ini. Film Pesantren menangkap kebutuhan itu. Maka, hadirlah percakapan lugas tentang salat Jumat.

Hakikat Jumat-an adalah menjalin relasi intim secara vertikal sekaligus horizontal. Selain melekatkan jiwa-spiritual kepada Sang Khalik, Jumat-an juga merekatkan raga-sosial dengan tetangga. Begitulah salat Jumat hadir sebagai anti-tesis terhadap kecenderungan manusia (sok) modern dalam jargon masyarakat 5.0 yang lebih suka hidup di jagat digital. Padahal, manusia hanyalah mahkluk tak kekal yang lahir-hidup-mati di dunia fisikal.

Dari pesantren yang dipimpin seorang perempuan bernama Nyai Masriyah ini, kita bisa menemukan tataran lain dialektika manusia. Yaitu perjumpaan manusia dengan dengan keganjilan-keganjilan fakta di depan mata. Ada yang berbeda antara apa yang terbaca di kitab dengan apa yang tertangkap di depan mata.  Perbedaan itu bukanlah dikotomi benar-salah. Bukan pula polarisasi baik-buruk. Berbeda merupakan tanda bahwa ayat kitab suci adalah entitas yang hidup. Ayat-ayat kitab suci mesti dihidupi secara lentur tapi tak boleh luntur meski membaur dalam segala konteks kultur.

Tak ada utopia perjalanan santri mengitari dunia. (Foto: Youtube, trailer Pesantren)

Dengan apakah kita mensyukuri lapis-lapis keberbedaan itu? Tertawa!

Tertawa membawa kita merenungkan kejadian jenaka yang memancarkan kebahagiaan. Di balik peristiwa jenaka tersimpan gagasan-gagasan yang seakan-akan sulit dinalar. Akan tetapi, apa yang di luar nalar kerap menawarkan cara pandang baru. Bukan lagi out of the box, melainkan without the box. Melampaui  cara berpikir di luar kotak. Ini adalah berpikir tanpa kotak. Maka, kritik dan gagasan leluasa keluar masuk kapan saja. Bonusnya adalah auto-kritik sebagai pijakan membangun masa depan lebih baik.

Pesantren Pondok Jambu menyemai  kritik dan mengunduh gagasan lewat stand up comedy. Para santri diberi ruang dan waktu untuk membuktikan kepiawaiannya mengocok perut penonton. Namun, yang dikocok sejatinya bukan perut melainkan nalar kritis. Hanya mereka yang terampil berpikir kritis yang bisa tertawa.

Cerita keseharian diangkat dari-oleh-untuk para santri. Mereka tak canggung mengemas cerita faktual menjadi hiburan intelektual. Yang lucu menjadi jenaka. Yang serius menjadi lebih jenaka. Tak ada lagi sekat antara yang publik dan yang privat. Perihal privat seperti gasruk (masturbasi) ditertawakan bersama perihal publik seperti dialog pak polisi dengan santri pelanggar lalu-lintas.

Memang, para santri di Pesantren tak seheroik Alif dan kawan-kawan mengejar mimpi dalam Negeri Lima Menara (Affandi Abdul Rachman, 2012). Juga tak  se-epik Ikal dan anak-anak Belitung menempuh pendidikan di tengah amuk kemiskinan dalam Laskar Pelangi (Riri Riza, 2008). Pesantren lebih sederhana sebagaimana aksioma karya dokumenter. Tak ada utopia perjalanan santri mengitari dunia. Yang ada hanyalah perjalanan santri ke desa terdekat. Menjadi guru ngaji sekaligus menolong petani.

Kesalehan sosial seperti itulah yang bisa diunduh dari Pesantren. Juga keberaniannya mempercakapkan ‘anjing’ yang rawan memicu konflik. ‘Anjing’ yang acap ditolak kehadirannya justru diperbincangkan sebagai teladan kebaikan.   

Patronasi patriarki dikritik habis-habisan (Foto: Youtube, trailer Pesantren)

Sisi lain bilik Pesantren yang layak dikulik adalah ruang berkesenian. Musik tradisional kulintang dan angklung bersanding dengan xilopon. Seni menawarkan ruang olah rasa sekaligus asah rasio. Di ruang seni inilah santri belajar menjadi manusia sebelum belajar tentang Tuhan. Memahami agama dengan rasio tanpa rasa hanya akan menjebak manusia pada kekakuan dogma. Menjalani agama dengan rasa tanpa rasio akan menggelincirkan manusia pada kehampaan jiwa.  

Buah apakah yang bisa diunduh dari Pesantren?  

Film Pesantren yang tayang di jaringan bioskop Cinepolis ini bisa menjadi pengingat tentang mendesaknya ke-beragama-an kontekstual. Umat beragama perlu lebih berani menertawakan diri sebagai bentuk auto-kritik. Percakapan inter-umat dan dialektika antar-umat mesti dirawat sebagai keniscayaan hidup beragama di tengah zaman yang terus bergerak.

 

Judul                : Pesantren

Genre              : Dokumenter

Sutradara        : Shalahudin Siregar

Durasi              : 102 menit

Rilis                  : 17 November 2022

Medium           : Bioskop Cinepolis

 

Wahyu Kris, pendidik yang senang dan sedang belajar menulis, tinggal di Malang.

Ikuti tulisan menarik Wahyu Kris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler