x

Ilustrasi pertambangan. Sumber foto: okezone.com

Iklan

Punta Yoga Astoni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Mei 2023

Selasa, 23 Mei 2023 18:03 WIB

Lokalisme Komunitas Kendeng Sebagai Benteng Kolonialisme Industri Semen

Pola pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini setidaknya memberikan gambaran bahwa urusan industri ekstratif adalah urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja. Entitas lokal (masyarakat desa) tidak diberikan porsi yang cukup untuk menentukan kebijakan tersebut. Masyarakat desa di sini seharusnya dilihat sebagai pihak yang paling dominan menentukan arah pembangunannya dikarenakan berkaitan pengelolaan sumber daya alam. Konflik Kendeng dapat diambil sebagai salah satu contoh kegagalan negara dalam melakukan perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dengan mengedepankan hak lokalisme masyarakat desa di Pegunungan Kendeng.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita secara umum tentu mengetahui bahwa potensi pegunungan karst sebagai bahan baku utama industri semen menjadi daya tarik investor, namun lebih dari itu kita juga memahami bahwa pada sisi ekologi sangat penting. Pengakuan pentingnya wilayah karst ini dapat dilihat pada Tahun 1997 oleh World Commision Protected Area (WCPA). WCPA merupakan komisi yang bernaung di bawah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Lembaga ini mendorong perlindungan ekosistem karst di seluruh dunia dengan acuan:  Wilayah Karst sebagai ekosistem suatu kawasan memiliki peran sebagai tangki raksasa penyimpan air bawah tanah. Wilayah Karst juga tempat tinggalnya berbagai jenis flora dan fauna langka. Kawasan mineral tak terbarukan dan wilayah inti untuk mengetahui sistem hidrologi kawasan.

Konflik pembangunan pabrik semen di Pegunugan Kendeng, Pati, Jawa tengah merupakan salah satu contoh kasus kegagalan pemerintah dalam menangani konflik ekologi sosial dan penerapan pembangunan yang berkelanjutan. Konflik yang telah terjadi sudah melebihi 7 tahun ini menjadi contoh nyata bagaimana para pejabat Negara mengorbankan keselamatan dan ruang hidup rakyatnya dan memperlihatkan perencanaan industrialisasi pertambangan Sumber Daya Alam berupa Karst di Indonesia tidak pernah mengambil pertimbangan kelestarian lingkungan.

Bentang alam pegunungan kendang memiliki pengaruh besar atas pertanian warga ditopang dari air yang mengalir dari kawasan ini. Ekosistem rongga/goa karst Kendeng menyimpan air dan mendistribusikan air ke masyarakat. Hal ini merupakan demi masuknya investasi pertambangan di suatu wilayah. Salah mengurus karst dapat juga berdampak pada meningkatnya resiko bencana dan krisis pangan yang dihadapi masyarakat

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adanya 180 hektar lahan untuk kawasan pabrik semen merupakan lahan produtif di Desa Larangan, Mojomulyo, Karangawen dan Tambakromo. Padahal petani-petani di desa-desa tersebu setiap musim panennya mendapatkan hasil bumi yang dikategorikan sebagai panen raya. Panen raya ini membuktikan bahwa anggapan kawasan karst itu kering, tidak subur, dan petani selalu dianggap miskin adalah kesesatan informasi yang mengancam penghidupan masyarakat kendang pada umumnya.

Lokalisme Desa dan Komunitas Masyarakat Kendeng

Pemanfaatan sumber daya alam pada lingkungan pedesaan seharusnya tetap memperhatikan kepentingan komunitas mayarakat di desa tersebut. Undang-Undang Desa memiliki pandangan politik sebuag Desa sebagai entitas sosial yang memiliki hak yang patut untuk dihormati. Adanya pengakuan entitas desa yang diciptakan oleh negara seyogyanya tidak diperbolehkan menjadi simbol norma dalam ketentuan perundang-undangan namun penghormatan tersebut diletakan dengan cara menghidupkan nilai kearifan lokal dan pendekatan pembangunan pada desa harus melihat hak-hak dari desa tersebut.

Tjokrowinoto menjelaskan bahwa  pembangunan masyarakat desa dapat  dilakukan berdasarkan 3 asas dasaar, yaitu asas pembangunan integral, asas kekuatan sendiri, dan asas permufakatan Bersama. Pertama, sebuah desa harus memegang teguh. asas pembangunan integral, hal ini dapat diartikan sebagai kebijakan pembangunan yang seimbang dari semua ruang hidup masyarakat desa (pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan dan sebagainya), sehingga terjaminnya suatu perkembangan yang harmoni dan yang tidak berat sebelah. Kita juga harus memahami bahwa untuk masa awal pembangunan memiliki titik berat terutama harus diletakkan dalam pembangunan ekonomi. Kedua, Desa dalam melaksanakan pembangunan juga didasari asas kekuatan sendiri, asas ini melihat bahwa tiap-tiap usaha pertama-tama harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan desa sendiri secara aktif, dan tidak menunggu-nunggu pemberian dari pemerintah. Ketiga, asas permufakatan bersama dalam pembangunan desa diartikan bahwa pembangunan harus dilaksanakan dalam lapangan-lapangan yang benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh anggota komunitas desa yang bersangkutan,  penentuan pelaksanaan pembangunan tidak dibenarkan hanya  berdasarkan kepentingan penguasa semata.

Perizinan sosial sebagai kunci penguatan lokalisme komunitas masyarakat

Munispalitas libertarian lahir dari dinamika sebuah komunitas masyarakat yang hidup dalam satu wilayah dan kondisi lingkungan yang sama dan dinamika yang dimaksud adalah menghidup ruang publik sebagai wadah mewujudkan politik demokratis secara merdeka (swa-kelola) tanpa harus dicampuri oleh kekuasaan eksternal komunitas tersebut. Munispalitas juga berdekatan dengan sebuah konsep desentralisasi kewenangan sehingga komunitas ini dapat menentukan nasibnya sendiri jika berkaitan dengan kepentingan mendasar yang disepakati oleh komunitas tersebut.

Pada bentuk nyatanya munispalitas juga menghidupkan kekuatan lokalisme sosial. Lokalisme dalam ranah ekologi dapat diartikan menghidupkan kemerdekaan masyarakat desa untuk menentukan nasibnya sendiri dalam hal pengelolaan sumber daya alam untuk penghidupannya. Terciptanya lokalisme dan desentralisasi adalah jawaban alternatif untuk menahan egoism pemerintah pusat yang tidak pernah melihat dan menghormati komunitas pedesaan dengan kearifan lokalnya. Undang-undang desa tidak boleh diartikan hanya distribusi kekuatan ekonomi berupa pengelolaan anggaran semata namun sebagai norma hukum undang-undang desa harus dibaca lebih luas yaitu memberikan hak kepada setiap desa mendiagnosa permasalahan di wilayahnya dan menyelesaiakan permasalahan dengan nilai-nilai demokrasi di wilayah desanya. Hanya pada entitas masyarakat inilah demokrasi bisa hidup secara deliberative pada ruang publik  dan tidak hanya demokrasi semu yang memusatkan kekuasaan rakyat pada pemerintah saja. Kemampuan menentukan sikap pada konteks lokalisme masyarakat desa bisa ditumbuhkan pada wadah kewargaan yang tentunya penyebutan namanya bisa berbeda-beda setiap desa, missal rembug desa, yasinaa, sedekah bumi atau istilah lainnya.

Eksistensi lokalisme dan desentralisasi akan menumbuhkan keaneragaman hayati setiap kelompok masyarakat walaupun dalam suatu wilayah geografis yang sama itu pegunungan karst. Air dan karst merupakan benang merah yang penting untuk dilindungi setiap desa namun hasil pertanian dan sumber daya alam yang diciptakan setiap desa tersebut dapat memiliki potensi yang berbeda dan dapat menciptakan rantai Ekoregion yang saling terhubung dan mempengaruhi. Pada kondisi inilah pemerintah pusat yang bertugas untuk menjahitnya agar adanya keselesarasan kesejahteraan sosial setiap desanya. Hal lain yang dapa menjadi jembatan adanya kepentingan masyarakat desa dengan pemerintah adalah memperkuat mekanisme perizinan sosial.

Perizinan sosial adalah bentuk evolusi dari konsep konsesus sosial yang lahir dengan mendasarkan kebutuhan dari kelompok kepentingan. Perizinan sosial memiliki daya ikat melalui pendekatan resiko yang dapat diukur dari kegiatan manusia pada wilayah mereka dan memiliki pengaruh ke lingkungan hidup dan ekosistemnya. Adapun latar belakang keadaan yang membuat konsep ini berkembang ialah dari konsep kebijakan pengaturan yang dibuat oleh pemerintah untuk menekan sebuah industri tradisional/kegiatan pembangunan secara tradisional menjadi industri yang hijau. Salah satu tanda penguatan perizinan sosial adalah adanya dorongan dari perkembangan advokasi lingkungan hidup oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada suatu negara, Perubahan paradigma ini dipengaruhi pada penguatan pemahaman masyarakat berkaitan arti pentingnya hak atas lingkungan hidup dan adanya standar lingkungan hidup yang jelas dari sebuah masyarakat lokal.

Konsep perizinan sosial pada dasarnya menggunakan pendekatan yang memperhatikan sebuah kegiatan  industri  itu memiliki daya pengaruh terhadap lingkungan hidup  dan penguatan reputasi industri dapat dilihat dari kemampuan reputasi suatu industri untuk memberikan rasa percaya dan jaminan atas tercapainya suatu standart lingkungan hidup di suatu masyarakat. Reputasi dibangun dari sebuah jembatan komunikasi yang terbuka hubungan antara sebuah industri dengan LSM, masyarakat, dan pemangku kepentigan yang lain

Permasalahan pertambangan karst di Pegunungan Kendeng dalam perkembangannya sampai hari ini tidak dapat menjawab permasalahan sosial masyarakat Kendeng, misalnya adalah keuntungan di masa yang akan datang atas kegiatan tersebut, konsep pembangunan kegiatan tersebut, lokasi dan wilayah,  Kajian Lingkungan Hidup Strategis dari pemerintah, perizinan pemerintah, peran dan masukan dari masyarakat lokal, kajian resiko atas dampak lingkungan, dan masukan dari organisasi masyarakat. Penguatan adanya perizinan sosial dapat dijadikan salah satu syarat bahwa suatu kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup harus memiliki unsur hubungan baik dengan masyarakat lokal yang dibuktikan dengan mendapatkan suatu izin berkegiatan.

Eksistensi dari perizinan sosial tidak hanya digunakan sebagai sarana pembelajaran masyarakat namun dapat dampak kegiatan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat secara langsung, transparan dan mereka mendapatkan respon atas kepentingan mereka secara langsung.  Pada dasarnya, adanya perizinan sosial yang dihasilkan oleh lokalisme masyarakat desa dengan pihak swasta dan negara dapat memberikan dua dampk yang penting pada suatu kegiatan. Pertama, memberikan kekuatan lebih pada penegakan hukum pada sektor lingkungan hidup, dengan menekan pada sisi pengaturan agar pelaku kegiatan mematuhi semua aturan yang ada. Kedua, menjadikan perizinan sosial sebagai nilai lebih pada pelaku kegiatan yang memenuhi kewajiban sesuai aturan yang berlaku dan dapat dijadikan sebagai reputasi kegiatan pembangunan tersebut sudah sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Ikuti tulisan menarik Punta Yoga Astoni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler