x

Aktivitas tambang di Papua tidak hanya menimbulkan masalah kerusakan lingkungan tetapi juga konflik yang berkepanjangan

Iklan

Fauzan Dewanda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:20 WIB

Dari Eksploitasi Alam Hingga Konflik Bersenjata, Jejak Berdarah Tambang di Papua

Keberadaan tambang di Papua telah menjadi polemik bagi Orang Papua selama bertahun-tahun. Tidak hanya menimbulkan pencemaran lingkungan, tambang telah melahirkan konflik bersenjata yang mengakibatkan Orang Papua menjadi korban. Tambangnisasi yang nyatanya hanyalah menguntungkan para investor alih-alih menyejahterakan Orang papua.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang terkenal dengan kekayaan alamnya. Kandungan emas, minyak bumi, dan batu bara telah menjadi daya tarik bagi para investor asing untuk membuka lahan tambangnya di Papua. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah mulai membuka keran bagi para investor asing untuk melakukan eksplorasi alam di Papua. Misalnya PT.Freeport yang mulai beroperasi di Papua pada tahun 1973. Pemerintah Orde Baru menganggap pembukaan lahan tambang dapat menjawab permasalahan kemiskinan yang selama ini dihadapi Orang Papua. Data terakhir di tahun 2018 mencatat terdapat 42 perusahaan tambang di Papua. Perkembangan aktivitas pertambangan di Papua telah memberikan dampak terhadap dinamika kehidupan penduduk lokal selama bertahun-tahun. 

Mendiang CEO PT. Freeport, James R. Moffett, mengklaim perusahaannya mampu membantu orang Papua keluar dari zaman batu menuju zaman baja. Faktanya, kehadiran perusahaan tambang telah menimbulkan berbagai masalah multidimensional bagi Orang Papua. Keberadaan perusahaan tambang di Papua telah memunculkan masalah lingkungan yang kemudian berujung pada timbulnya konflik. Penduduk lokal kemudian menjadi kelompok yang paling dirugikan sedangkan perusahaan tambang semakin diuntungkan akibat pelonggaran regulasi ekstraksi alam oleh pemerintah pusat. 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengrusakan Alam Sebagai Bentuk Penistaan 

Pemberlakuan UU Cipta Kerja yang melonggarkan mekanisme Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) telah memberikan celah bagi para korporasi untuk melakukan eksploitasi alam lebih masif. Hal ini juga turut membuat korporasi seringkali tidak bertanggung jawab atas konsekuensi yang mereka lakukan dari mengekstraksi alam. Misalnya praktik pertambangan yang dilakukan PT.Freeport seringkali mencemari sungai-sungai di Papua barat seperti sungai Ajkwa di Kabupaten Mimika. Pembuangan limbah telah menimbulkan deposisi yang kemudian menimbulkan banjir di sungai Ajkwa. Selain itu, pencemaran limbah tambang seperti timbal, arsenic, dan merkuri juga mengakibatkan matinya biota air seperti ikan di sungai. Hal ini kemudian merugikan  masyarakat adat di Papua seperti Orang Sempan yang tinggal di sepanjang aliran sungai dan pesisir pantai. Matinya ikan-ikan akibat limbah beracun membuat Orang Sempan kekurangan bahan makanan.  

Sebagai komunitas yang hidup berdampingan dan bergantung dengan alam, kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan orang Papua dihadapkan pada masalah kelaparan. Selain sungai, masyarakat adat Papua sangat mengandalkan hutan sebagai sumber pangan mereka seperti berburu rusa dan meramu sagu yang menjadi makanan tradisional mereka. Selama ini masyarakat adat menuntut agar mereka diberikan hak untuk mengelola hutan mereka sendiri. Akan tetapi, pemerintah terus mempermudah perluasan lahan tambang yang kemudian diikuti dengan pembabatan hutan. Berdasarkan catatan akhir tahun 2022 dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Papua telah kehilangan 19,426 hektar akibat ekspansi industri ekstraktif.  

Hal yang kemudian memperburuk situasi adalah, ekspansi aktivitas pertambangan seringkali melibatkan tentara. Dalam jurnal yang ditulis oleh Anderson dengan judul Colonialism and cold genocide: The case of West Papua, para tentara seringkali ditugaskan untuk mengusir secara paksa penduduk asli Papua dari tempat tinggal mereka. Selain dijadikan sebagai lahan tambang, pemukiman penduduk lokal digusur untuk dibangun perumahan atau tempat tinggal bagi para transmigran dari luar pulau Papua. Para transmigran tersebut sebagian besar merupakan pekerja tambang. 

Pengambilalihan lahan tersebut seringkali tidak melalui diskusi dengan masyarakat adat. Misalnya suku Amungme dan Kamoro selaku pemilik tanah ulayat yang saat ini digunakan untuk lahan tambang PT.Freeport tidak pernah diajak diskusi oleh pihak korporasi. Meskipun telah mengambil alih lahan, PT.Freeport juga tidak pernah memberikan dana kompensasi kepada masyarakat adat yang telah terusir. Padahal jauh sebelum datangnya para investor tambang dan didirikannya Republik Indonesia, kedua masyarakat adat tersebut sudah bermukim di tanahnya sendiri. 

 Aktivitas pertambangan di Papua yang juga turut menyerobot hutan adat menunjukan bagaimana korporasi dan pemerintah tidak menghargai budaya masyarakat adat. Masyarakat adat Papua menganggap hutan yang ada di Papua memiliki nilai kesakralan. Hutan dianggap sebagai seorang ibu yang merawat penghuninya yaitu masyarakat Papua itu sendiri dengan menyediakan bahan makananan di dalamnya. Misalnya Suku Amungme menggambarkan gunung tempat tambang Freeport berada saat ini sebagai kepala seorang Ibu yang suci. 

Agar dapat mematikan kesadaran masyarakat adat Papua atas ancaman rusaknya budaya lokal akibat keberadaan perusahaan tambang, pemerintah kemudian melakukan program Jawanisasi. Di masa orde baru hingga saat ini, pemerintah berusaha melakukan “pembangunan” di Papua dengan menggunakan kacamata Jawa. Mulai dari pelarangan penggunaan pakaian adat Koteka hingga pembabatan hutan adat untuk dijadikan pembangunan infrastruktur jalan tol dengan dalih “memodernisasi” masyarakat Papua. Selama ini pemerintah seringkali menganggap peradaban masyarakat adat Papua terbelakang. Hal ini membuat seolah dibutuhkan sebuah intervensi agar Orang Papua menjadi lebih beradab seperti Orang Jawa. Nyatanya apa yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk kolonialisme gaya baru yang ditujukan untuk menghapus identitas budaya asli Orang Papua.

 

Konflik yang Disembunyikan 

Pengrusakan alam dan berbagai bentuk kekerasan lain yang dilakukan pemerintah pusat selama bertahun-tahun kemudian memunculkan kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM sendiri memiliki tujuan untuk memerdekakan Papua dari Indonesia. Anggota OPM sendiri diisi oleh masyarakat Papua yang menganggap pemerintahan Indonesia di Papua sebagai bentuk penjajahan. OPM menganggap pemerintahan Indonesia di Papua berdasarkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera) tahun 1962 tidak sah. Selama masa Pepera, militer kerap melakukan intimidasi disertai kekerasan untuk memaksa Orang papua memilih bergabung bersama Indonesia. Dalam laporan Anggota Parlemen Internasional untuk Papua Barat, sekitar 500.000 masyarakat sipil Papua tewas sejak Indonesia mengambil alih kedaulatan.

Melihat sejarah kekerasan yang dilakukan militer Indonesia sejak 60 tahun lalu, OPM kemudian berkomitmen untuk memerdekakan Papua dengan melakukan konflik bersenjata. OPM seringkali menyerang tempat-tempat vital seperti perusahaan tambang atau lokasi proyek pembangunan infrastruktur pemerintah. Misalnya pada tahun 2018 lalu, OPM menyerang para pekerja proyek jalan Trans Papua yang mengakibatkan 31 orang meninggal dunia.  

Melihat ancaman serangan dari OPM, perusahaan tambang di Papua seringkali menyewa jasa tentara untuk melakukan pengamanan. Akan tetapi, dalam melakukan penjagaan seringkali tentara melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil tak bersenjata yang melakukan demonstrasi. Misalnya demonstrasi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua saat peringatan 56 tahun PT.Freeport mendapat serangan dari ormas tidak dikenal.

Kekerasan yang terjadi di Papua semakin diperparah dengan diubahnya status Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari kelompok separatis bersenjata ke teroris. Setelah tewasnya Kepada BIN Daerah Papua, Brigjen TNI Putu Dani, Menteri Koordinator politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, menetapkan OPM sebagai organisasi teroris. Dicetuskannya peraturan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kepentingan pemerintah untuk menjaga perusahaan-perusahaan tambang di Papua yang rentan mendapat serangan dari kelompok OPM. Menurut Mahfud MD, OPM sudah memenuhi kriteria sebagai organisasi teroris apabila mengacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme. 

Disatu sisi Undang-Undang No 5 Tahun 2018 Tentang Terorisme dianggap bermasalah karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Menurut Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak kekerasan (Kontras), definisi terkait terorisme dan ekstrimisme yang ada di dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018 terlalu luas. Kontras menilai peraturan ini berpotensi membungkam hak kebebasan berekspresi dan kriminalisasi secara berlebih. Melalui peraturan ini tentara Indonesia diberikan legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap aktivis HAM dan orang Papua yang memprotes penyerobotan lahan oleh perusahaan tambang. Hal ini dikarenakan peraturan ini dapat mencap aktivis HAM dan Orang Papua sebagai teroris dan bagian dari OPM karena dianggap menentang kepentingan pemerintah. 

Tentuya kebijakan ditetapkannya OPM sebagai teroris tidak membawa Papua dalam situasi damai. Masyarakat Papua justru semakin terjebak di dalam lingkaran kekerasan. Merespon ditetapkannya sebagai organisasi teroris juru bicara OPM, Sebby Sambom, bersumpah akan melakukan perlawanan lebih keras terhadap aparat keamanan Indonesia. Ia bahkan mengajak agar semua orang keturunan Papua dan Melanesia bergabung menjadi simpatisan OPM. Ia juga mengancam akan membunuh para transmigran dan pekerja tambang yang masih berada di Papua. Misalnya yang terbaru adalah tindakan OPM yang menyandera pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philips Mark Mehrtens. 

Aksi kekerasan berupa penembakan dan penculikan yang dilakukan oleh OPM kemudian membuat tenta semakin memasifkan operasi militer di Papua. Kontak senjata antara OPM dengan tentara pun terjadi di desa-desa. Seringkali masyarakat sipil Papua justru menjadi korban kontak tembak akibat konflik bersenjata yang terjadi. Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya ada 11 kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan selama tahun 2021 dengan total 15 korban. 

Konflik yang terjadi antara tentara dengan OPM membuat masyarakat lokal Papua harus mengungsi. Di area pengungsian masyarakat kekurangan akses terhadap bantuan kemanusiaan seperti makanan dan pakaian. Ditambah lagi para tempat penampungan bagi para pengungsi tidak memiliki sanitasi yang baik Para pengungsi akhirnya kemudian juga dihadapkan dengan mengalami masalah kesehatan. Dalam hal ini, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan. Kurangnya makanan bernutrisi bagi para pengungsi di Papua mengakibatkan anak yang sedang berada di dalam kandungan terancam terkena gizi buruk dan stunting. 

Disatu sisi, upaya pemberian bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi baik yang dilakukan oleh NGO maupun lembaga independen seringkali terkena hambatan. Hal ini disebabkan pemerintah Indonesia sendiri menutup akses masuk bagi organisasi kemanusiaan dan wartawan asing ke Papua. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro mengakui bahwa terdapat kesulitan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai jumlah, pergerakan, dan situasi yang dialami oleh pengungsi di Papua saat ini. 

Selain membatasi akses bantuan kemanusiaan, pemerintah Indonesia juga menutup akses bagi jurnalis asing untuk meliput situasi terkini di Papua. Hal ini mengakibatkan masyarakat dunia internasional hanya mengetahui situasi di Papua melalui kacamata Pemerintah Indonesia. Papua sendiri seringkali digambarkan di media mainstream sebagai daerah yang sedang mengalami progres pembangunan dengan ditampilkannya infrastruktur jalan tol baru dan aktivitas pertambangan. Disatu sisi, masalah seperti kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan pelanggaran HAM oleh negara ditutupi oleh media mainstream. Hal ini kemudian semakin menutupi kejahatan yang telah telah dilakukan oleh perusahaan tambang dan negara terhadap Orang Papua. 

Melihat kompleksnya masalah yang dialami Orang Papua, tambangnisasi alih-alih meningkatkan kesejahteraan justru berkonsekuensi sebaliknya. Wacana pembangunan berbasis teknologi bersih dengan mengandalkan bahan bakar listrik dari hasil tambang Papua tidak lain hanyalah bentuk kampanye greenwashing. Perizinan pembukaan tambang di Papua oleh pemerintah nyatanya hanya demi kepentingan para investor asing. Kebermanfaat dari hasil tambang Papua ironisnya hanya dinikmati oleh orang luar Papua dan masyarakat kelas atas. 

 

 

Sumber Referensi

Jurnal

Anderson, K. (2015). Colonialism and cold genocide: The case of West Papua. Genocide Studies and Prevention: An International Journal, 9(2), 5.

Astuti, A. D., & Putranti, I. R. (2018). Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus Pencemaran Lingkungan oleh PT. Freeport terhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua. Journal of International Relations, 4(3), 547-555.

Eichhorn, S. J. (2022). Resource extraction as a tool of racism in West Papua. The International Journal of Human Rights, 1-23.

Elmslie, J., & Webb-Gannon, C. (2014). A slow-motion genocide: Indonesian rule in West Papua. Griffith Journal of Law & Human Dignity, 1(2).

Tapsell, Ross. (2015). The Media and Subnational Authoritarianism in Papua. South East Asia Research, 23(3), 319-334.

 

Berita

Amnesty.Id. (2022). Catatan Akhir 2021: Tahun Bahaya Bagi Pembela HAM. https://www.amnesty.id/catatan-akhir-2021-tahun-bahaya-bagi-pembela-ham/. Akses tanggal 27 Februari 2022, pukul 18.05 WIB. Akses tanggal 24 Mei pukul 11.27 WIB.

Ardiansyah, Novian. (2021). Kepala BIN Papua Tewas Ditembak, DPR: KKB Itu Teroris Harus Ditumpas. https://www.suara.com/news/2021/04/26/091731/kepala-bin-papua-tewas-ditembak-dpr-kkb-itu-teroris-harus-ditumpas. Akses tanggal 24 Mei 2023 pukul 00.43.WIB.

Baru. (2023). 19,426 Hektar Hutan Papua Hilang. https://suarapapua.com/2023/03/21/19-426-hektar-hutan-papua-hilang-untuk-kebun-sawit/. Akses tanggal 23 Mei 2023 pukul 11.50 WIB.

BBC. (2022). Kekerasan di Papua: Pegiat HAM Benarkan Akses Bantuan “Dibatasi” Aparat Penyangkalan Indonesia Harus Dibuktikan Lewat Penyelidikan Independen.  https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-60602826. Akses tanggal 24 Mei pukul 11.06 WIB.

Greenpeace.org. (2020). RUU Cipta Kerja Melemahkan Aturan Perlindungan Lingkungan Hidup. https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/5592/ruu-cipta-kerja-melemahkan-aturan-perlindungan-lingkungan-hidup/. Akses tanggal 22 Mei 2023 pukul 11.42 WIB.

Kontras. (2021). Catatan Kritis Menyoal Redefinsi Kelompok Kriminal Bersenjata Sebagai Organisasi Teroris. https://kontras.org/2021/05/01/catatan-kritis-menyoal-redefinisi-kelompok-kriminal-bersenjata-sebagai-organisasi-teroris/. Akses tanggal 24 Mei 2023 pukul 10.52 WIB

Republika.co.id. (2012). Warga di Sekitar Tambang Freeport Krisis Air Bersih. https://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/04/12/m2cn9c-warga-di-sekitar-tambang-freeport-krisis-air-bersih. Akses tanggal 23 Mei 2023 pukul 20.12 WIB.

Utama, Abraham. (2021). Konflik Bersenjata Papua Kisah Bocah yang Jadi Korban Tembak, Bom Mortir, dan Pihak Ketiga. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59456672.amp. Akses tanggal 28 September 2022, pukul 21.16 WIB.

Ikuti tulisan menarik Fauzan Dewanda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler