x

Ilustrasi Petani. Foto: Arif Firmansyah/Antara

Iklan

Zenwen Pador

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Juni 2023

Kamis, 15 Juni 2023 07:31 WIB

Ilusi Negara Melindungi Petani

Isu Perlindungan dan pemberdayaan petani telah mengemuka jauh sejak Orde Baru berkuasa. Namun sampai saat ini semua itu hanya berhenti sebatas perbincangan saja. Pada akhir Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, memang keluar Undang-undang Nomor 19/2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Faktanya, sampai hari ini semua hanya ilusi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keluarnya UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pastinya dilatarbelakangi oleh nilai dan tujuan ideal. Dalam bagian konsiderans mengingat disebutkan antara lain bahwa Pancasila dan UUD  1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selanjutnya disebutkan bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga negara, negara menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya petani secara terencana, terarah, dan berkelanjutan. Juga  kecenderungan meningkatnya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani, sehingga petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan.

Pada tingkat global, Deklarasi tentang Hak Asasi Petani Dan Orang-Orang Yang Bekerja Di Pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants/UNDROP) sudah ada sejak Desember 2018 (Mongabay, 17/5/2021).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun mirisnya jangankan untuk segera mengambil langkah hukum meratifikasi Deklarasi Hak-hak Petani di atas dari sisi regulasi Pemerintah justru membuka lebar-lebar kran impor melalui UU Cipta Kerja yang setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konsitusi diganti Pemerintah dengan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Substansi Perppu ini sepertinya hanya copy paste dari UU Cipta Kerja yang kemudian telah disetujui DPR menjadi UU dan disahkan sebagai UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Kebijakan Impor Produk Pertanian

Salah satu yang kembali diatur oleh UU Nomor 6  Tahun 2023 adalah perubahan mengenai pengaturan impor produk-produk pertanian. Pasal 32 mengubah pasal 15 dan pasal 30 serta menghapus pasal 101 UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Pasal 15 diubah bunyinya  menjadi:  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib meningkatkan produksi Pertanian (ayat 1). Selanjutnya ayat (2) berbunyi Kewajiban peningkatan produksi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui strategi Perlindungan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

Sebelumnya pasal 15 UU Nomor 19 tahun 2013 menegaskan Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional (ayat 1). Kewajiban tersebut dilakukan melalui pengaturan impor Komoditas Pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri (ayat 2). Selanjutnya ayat 3 mewajibkan menteri terkait harus melakukan koordinasi dengan Menteri Pertanian terkait impor produk pertanian.

Bila dibandingkan bunyi pasal 15 UU No.19 tahun 2013 sebelum dengan sesudah perubahan jelas berbeda. Pasal 15 awal semangatnya pembatasan dan pengaturan impor produk-produk pertanian untuk mengutamakan produksi pertanian dalam negeri.

Semangat pembatasan dengan pengaturan impor produk pertanian tersebut jelas-jelas tidak ada lagi dalam UU Nomor 19 tahun 2013. Pasal 15 perubahan hanya mewajibkan Pemerintah dan Pemda meningkatkan produksi pertanian melalui strategi Perlindungan Petani sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2).

Perubahan berikutnya adalah pasal 30 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dalam UU Cipta Kerja. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi menjadi kecukupan kebutuhan konsumsi dan/ atau cadangan pangan Pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor Komoditas Pertanian dengan tetap melindungi kepentingan Petani (ayat 1). Impor Komoditas Pertanian dilakukan sesuai dengan instrurnen perdagangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat 2). Selanjutnya ayat (3) mengatur kecukupan kebutuhan konsumsi dan/ atau cadangan pangan Pemerintah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Sebelumnya pasal ini berbunyi  tegas melarang setiap orang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pPertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.

Dengan berubahnya pasal 15 dan pasal 30 tersebut tersebut pastinya berkonsekuensi pada pasal 101 yang awalnya mengatur Setiap Orang yang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan Komoditas Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 101 ini kemudian memang dihapus oleh UU Nomor 6 Tahun 2023. Dengan demikian kran impor produk-produk pertanian sama sekali tidak lagi dibatasi, terbuka dengan lebar.

Lalu bagaimana Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dilakukan?

Menurut Pasal 7 UU No.19 tahun 2013 Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani  ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pada kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (ayat 1).

Kemudian dalam ayat 2 dijelaskan Strategi Perlindungan Petani dilakukan melalui  prasarana dan sarana produksi Pertanian, kepastian usaha, harga Komoditas Pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa,sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan Asuransi Pertanian.

Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian, penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi,  dan penguatan Kelembagaan Petani.

Pertanyaannya kemudian sudah tersediakah Rencana Strategis Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tersebut baik pada tingkat Nasional dan daerah?

Saya mencoba menelusuri ketersediaan dokumen tersebut pada situs Kementerian Pertanian dan beberapa daerah, sayangnya sama sekali belum ditemukan dokumen khusus terkait Renstra Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dimaksud. Memang pada tingkat nasional berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 259/Kpts/RC.020/M/05/2020 Kementerian Pertanian telah menyusun Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2020-2024, namun sepertinya secara spesipik tidak mengatur Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagaimana dimaksud pasal 7 UU Nomor 19 tahun 2013.

Jadi jelas sekali baik pemerintah dan pemerintah daerah sama sekali belum punya rencana dan arah yang jelas dalam melindungi dan memberdayakan petani. Inilah ilusi perlindungan dan pemberdayaan petani tersebut.

Ikuti tulisan menarik Zenwen Pador lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu