x

Potret senja dan hujan

Iklan

Putri Esa Septia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juni 2023

Senin, 19 Juni 2023 13:02 WIB

Langit Putih Jingga

Seperti namanya, waktu adalah waktu. Ia tak pernah memintamu untuk terburu-buru. Terlebih jika seseorang itu adalah rumah tempatmu pulang. Percaya pada waktu, ia akan membuat rindumu pulih tanpa menghapuskannya dalam hatimu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Senja di Ciremai seindah itu, ya?"

Suara itu berhasil mengalihkan pandanganku yang semula menatap langit menjadi sepenuhnya mendongak ke atas, menatapmu.

"Indah banget. Tapi masih jauh lebih indah kalau sama kamu," kataku sambil terus menatapmu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kamu hanya diam, sebelum akhirnya mengubah posisimu menjadi duduk dengan kaki ditekukkan ke depan, tepat di sebelahku. Kemudian berkata, "Aku selalu sama kamu kok, Sa."

"Tapi aku ngerasa kita jauh, jauuh banget. Sampai kita duduk sedekat ini masih terasa dingin buatku."

 

Kamu menatapku, kubalas tatapan serupa hingga mata kami saling beradu. Kemudian bibirmu membentuk lengkungan bulan sabit. "Ehmm. Bilang aja mau dirangkul, pake kode-kodean segala," katamu sembari mengalungkan tangan ke bahuku.

Aku ingat, tepat setahun yang lalu kamu melamarku di Puncak Gunung Ciremai. Ketika senja mulai muncul ke permukaan, dengan setangkai bunga mawar merah yang sudah layu. Kamu berlutut, kemudian menyihirku dengan puisi romansa yang sebenarnya kutahu liriknya kamu ambil dari internet. Tapi tak apa, rasa haru tetap kurasakan ketika kamu berkata, "Will you marry me? yang langsung kujawab "Yes, i will." Hingga tepatlah hari ini satu tahun pernikahan kita.

 

"Kamu ingat nggak, Ram, waktu kamu lamar aku pakai bunga mawar layu?" tanyaku. 

Kamu berusaha mengingat-ngingat, "Ingat dong, Sa. Niatnya sih mau bikinin kejutan buat kamu ala-ala film romantis. Taunya pas bunganya aku keluarin dari tas udah layu gitu."

Aku tertawa kemudian berkata, "Ya wajar aja dong jadi layu begitu, bunganya sesak nafas tuh seharian dalem tas."

"Aku deg-degan banget tau, Sa," katamu, "Takut kalau kamu nolak lamaranku gara-gara itu."

Aku mengangguk setuju, "Aku juga sebenernya ragu sih waktu mau nerima kamu. Tapi ngeliat muka kamu yang pucet ngenes gitu jadi nggak tega hati nolaknya," kataku, bercanda.

"Jangan gitu dong, beb," kamu merajuk, menyenderkan kepalamu di leherku. "Jadi ingat deh masa SMA dulu, waktu kamu daftar eskul pecinta alam. Aku pikir cewek mungil modelan gini pasti bakal jadi beban doang kalau ngedaki."

Aku hanya diam, mendengarkan.

"Segala cara aku lakuin supaya kamu nyerah sama eskul ini. Mulai dari nyuruh kamu lari ngelilingin lapangan 10 puteran, yang aku kira kamu bakal langsung nyerah waktu itu."

"Tapi nyatanya aku bisa kan?" tanyaku, percaya diri.

"Kamu bener-bener bikin aku kagum, Sa. Semakin kuat aku bikin kamu nyerah, semakin kuat pula kamu tunjukkin ke aku bahwa perspektif yang selama ini aku bangun ke kamu itu salah. Dan gilanya lagi, aku malah jatuh cinta sama kamu."

"Semesta punya cara unik untuk menyatukan kita, Ram."

 

Langit mulai gelap, senja hampir hilang dari permukaan. Tanganmu perlahan bergerak menyusuri jari jemariku, keduanya saling bertautan.

"Salsa," panggilmu lembut, "Aku minta maaf ya, dulu aku menyakitimu. Kalau aja aku bisa mutar waktu pasti---"

Aku memelukmu.

"Jangan mutar waktu ya, Ram. Biarkan aja semuanya tetap begitu. Aku justru lebih takut kalau takdir nggak membawa kamu padaku."

"Rama, boleh aku minta sesuatu?" pintaku.

"Selalu iya untuk istriku."

Aku menenggak ludah, menarik nafas dalam. Dadaku bergemuruh kencang. "Ram, tolong kasih tau aku. Kamu ada dimana sekarang?" air mata ini jatuh, tak mampu untuk kubendung.

Kamu hanya diam.

Perlahan senja yang indah itu menghilang sepenuhnya. Melepaskan pelukmu dariku. Membawa kamu pergi, meninggalkan aku sendiri.

 

Ikuti tulisan menarik Putri Esa Septia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler