x

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 24 Juni 2023 15:34 WIB

Novel: Dua Cinta di Puncak Jaya (5)

Ini kisah tentang laki-laki yang tanpa sengaja terlibat dalam gerakan perempuan di Papua, sayap Gerakan Papuan Merdeka. Ia merindukan keluarganya, ingin kembali ke Pulau Jawa menemui istri dan dua anak tercintanya. Namun, perjalanannya malah menjadikannya sebagai buronan pihak keamanan. Selamatkah dirinya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

5

“Marchela, ngobrolnya kita tunda besok sore, ya. Saya baru sampai ini dari Merauke,” kata Rio melalui telepon genggamnya. Seperti yang diharapkan, Marchela menerima alasannya, dan menyepakati kembali waktu pertemuan esok harinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Marchela seorang aktivis gerakan mahasiswa di Papua. Marchela bukan dari suku asli Papua, tetapi sorot matanya begitu gelisah ketika membincangkan masa depan masyarakat Papua. Otokritik terhadap gerakan yang dibangun bersama teman-temannya, memberikan harapan tersendiri untuk masa depan kehidupan politik di Papua.

Namun, mungkin saja tidak menjanjikan dalam pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi suku-suku yang tinggal di daerah pegunungan atau suku lain di Papua pada umumnya. Setidak-tidaknya untuk sementara waktu ini.  

“Beban gerakan politik mahasiswa Papua sangat berat akhir-akhir ini,” kata Marchela saat berbincang santai di kantin kampusnya bersama Rio.

Obrolan itu sering terhenti, karena beberapa teman Marchela menyapa-sapa. Ketenaran seorang aktivis kampus memang begitu adanya. Wajar saja. Selain ia cerdas dan ini yang utama, Marchela juga seorang gadis yang lincah dan cantik. Pakaiannya selalu saja menunjukkan ekspresi kebebasan dirinya. Otonomi tubuhya.

“Saya bisa mengerti. Kebijakan kampus yang begitu ketat membatasi masa perkuliahan merupakan kendala bagi mahasiswa untuk melakukan berbagai gerakan yang berpihak pada rakyat,” kata Rio mencoba bersimpati dengan ketidaktahuannya mengenai peta gerakan mahasiswa di Papua.

Tentu menjadi kekeliruan fatal. Analisanya mengenai persoalan kampus sangat generik, khas keluhan gerakan mahasiswa di tanah Jawa. Lebih parah lagi sama persis dengan analisa masa dirinya masih kuliah. Sungguh masa lampau. Ia sungguh-sungguh sok tahu, ketimbang dikatakan sebagai analisis yang matang. Kesembronoan dalam memandang realitas dan dinamika sosial.

“Di Papua persoalannya tidak sesederhana itu,” kata Marchela dengan nada serius menanggapi pandangan Rio yang menurutnya sangat dangkal, dan mungkin saja tidak berdasar, sebuah asumsi murahan. Sekadar agar dikatakan berwawasan dan mungkin saja sok pintar.

Terbuktilah sudah, kekhawatiran sok tahu mengenai gerakan mahasiswa di Papua. Terlihat kecemasan menumpuk di mata Rio. Ia mencoba membenarkan posisi duduknya, dan beberapa kali membasahi tenggorokannya dengan air mineral. Parau. Ini bukan kesalahan pertama. Sebelumnya juga terjadi saat Rio berbincang dengan Theus di Merauke.

“Maksudnya?” tanya Rio sekenanya. Ia benar-benar menyembunyikan kelancangan bicara dalam melakukan analisis, tanpa cukup informasi sebagai bahan simpulannya.

Marchela bercerita mahasiswa di Papua menghadapi berbagai persoalan secara bersamaan. Semuanya berpangkal dari pandangan yang berbeda mengenai apakah Papua akan tetap bergabung dengan NKRI atau memilih memerdekakan diri. Berakar dari perbedaan perspektif ini, melahirkan secara terus menerus perdebatan dalam merancang agenda bersama gerakan mahasiswa di Papua. Proses yang menjadi tampak gamang dalam membangun gerakan politik untuk menciptakan tata kehidupan yang lebih adil bagi semua.

Konsolidasi gerakan mahasiswa di Papua hampir-hampir tidak pernah terjadi, dan sering kali justru mencoba saling menunggangi. Gerakan masa apapun akan menemui kebuntuan, menghantam dinding yang begitu keras, saat salah satu orator dalam aksi itu, meneriakkan Papua Merdeka.

“Mungkin itu tidak sengaja, melainkan meluncur begitu saja karena ia berada dalam hatinya yang paling dalam,” kata Marchela.

Persoalan yang lebih repot lagi, polarisasi antar aktivis mahasiswa ternyata mengadopsi logika yang berkembang di masyarakat kebanyakan. Jika mahasiswa bukan asli suku Papua, maka masuk dalam kelompok yang tidak setuju dengan Papua Merdeka. Gerakannya selalu ke arah kerja sama dengan berbagai pihak, bagaimana rakyat Papua sejahtera secara ekonomi, pengembangan masyarakat, dan peningkatan keterampilan.

“Para mahasiswa asli Papua, berpendapat semuanya akan bisa terwujud jika Papua sudah merdeka. Bebas membangun tanah sendiri, tidak diatur lagi dari Jakarta. Mereka selalu mengatakan, mana ada rakyat hidup sejahtera jika masih dalam bayang-bayang kolonialisme, penghisapan ekonomi di mana-mana.”

Menurut Marchela, agenda terpenting saat ini tentu saja mengecilkan jarak perbedaan antara mahasiswa asli Papua dan yang bukan asli Papua, seperti Marchela itu sendiri. Kawan-kawan mahasiswa menyadari persoalan mendasar ini. Lahirnya AMP (Aliansi Mahasiswa Papua), pada tahun 1998 yang dideklarasikan di Jakarta, setidaknya menjanjikan semangat Marchela ini. Menggairahkan semangat baru pada pola gerakan yang lebih strategis dan sistematis.

“Ini merupakan salah satu tonggak sejarah terpenting dalam rangkaian gerakan politik mahasiswa Papua yang berkembang, dan dikategorisasikan sebagai angkatan tahun 90-an,” katanya.

Pijakan dasar pendirian AMP, selain memang merupakan sejarah panjang untuk membarengi gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang sudah berlangsung puluhan tahun lamanya, juga memiliki pijakan sejarah dalam sumbu pendeknya, seperti yang disebutkan Marchela. Peristiwa tahun 1996, saat terjadi protes besar-besaran untuk menuntut keadilan atas meninggalnya Dr. Thomas Wanggai yang dianggap tidak wajar.

“Tersiar isu ia diracuni. Tetapi sampai sekarang memang tidak ada informasi mengenai isu ini. Tak ada juga yang terus melanjutkan tuntutan untuk memperjelas fakta-fakta yang ada,” katanya.

Bentrokan terjadi dengan pihak keamanan, saat mahasiswa menyambut jenazah Dr. Thomas Wanggai di kampus Universitas Cenderawasih. Lalu, berujung dengan kekacauan, mahasiswa dikejar-kejar, mahasiswa menjai seperti pelaku kriminal, bahkan lebih buruk perlakuannya ketimbang kepada para koruptor yang menggerogoti kas negara. Pembakaran mobil-mobil, toko-toko dan pasar raya Abepura.

Semuanya tak terkendali lagi. Suasana mencekam tergambar di mana-mana, mahasiswa berlarian menyelamatkan diri, ke dalam kampus, ke rumah penduduk, dan tempat apa saja yang dianggapnya bisa untuk bersembunyi.

Mahasiswa yang hanya bermodal ideologi, dan idealisme harus menghadapi moncong-moncong senjata yang bisa merampas kehidupan mereka kapan saja. Merenggut nyawa tanpa janji, dan aba-aba. Menurut kabar, setidaknya tercatat empat mahasiswa dan seorang anggota tentara asal Papua yang gugur dalam gejolak ini.

Tahun 1997. Situasi memanas kembali. Ketika itu beberapa gereja besar dan berpengaruh di Papua melaporkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan tentara di Mapenduma, Jila, Bela dan Alama.

Gerakan tahun 1997, ini memiliki dampak bangkitnya gelora mahasiswa Papua secara nasional, dan internasional. Tentu saja peristiwanya membarengi menguatnya ketidakpercayaan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Soeharto ketika itu. Tuntutan Soeharto mundur membahana di seluruh Tanah Air, dan mungkin memiliki pengaruh secara psikologis bagi para tentara yang bertugas di Papua.

Rio terlihat tertegun-tegun. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Lalu lalang mahasiswa di kampus perjuangan Uncen, cengkerama mereka, keriangan mereka, tak mampu menggoyahkan pikirannya yang sedang merumit tentang gerakan mahasiswa di Papua.

Banyak peristiwa yang semakin membuat kaum muda Papua ini menjadi semakin militan, dan radikal. Sepertinya, mereka harus segera memastikan garis perjuangannya yang jelas, dan tegas, tetapi siap menghadapi benturan-benturan yang jauh lebih keras lagi.

“Kami dihentakkan kembali oleh pembantaian di Biak,” kata Marchela. Matanya kini tampak memerah, ada kemarahan yang tiba-tiba muncul dalam dadanya. Rasa sakit yang terus menggigitnya tiada henti. Ia mengeluarkan tisu wajah dari tas punggungnya.

Ada keinginan untuk tidak menangisi masyarakat Papua yang begitu berani mengambil sikap. Namun, menangis juga tidak berarti harus menandakan sedih, menunjukkan kelemahan. Menangis juga bisa menjadi wujud kebahagiaan. Menangis memiliki banyak tafsir yang orang lain bisa jadi tak memahami maknanya.

Pembantaian Biak terjadi di bulan Juli 1998. Ketika itu masyarakat Biak melakukan aksi damai, dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di atas Tower air dengan ketinggian 35 meter yang terletak di dekat Pelabuhan Laut Biak. Awalnya hanya sekitar seratusan orang berkumpul di bawah Tower air itu. Bintang Kejora ukuran kecil terikat di tangan-tangan mereka.

Teriakan merdeka membahana. Melambung-lambung, seakan mengajak masyarakat Papua bergabung dalam semangat kemerdekaan ini. Mereka terus berada di bawah Tower untuk mempertahankan berkibarnya bendera Bintang Kejora. Mempertahankan darah juang mereka. Semangat mereka untuk bisa mendapatkan kesempatan mengatur diri mereka sendiri.

Masyarakat bertambah-tambah saja jumlahnya, hingga mencapai limaratusan orang. Tanggal 6 Juli mereka diminta membubarkan diri. Seluruh unsur angkatan bersenjata bergabung. Masyarakat menolak, serangan-serangan pun mulai dilakukan, penangkapan dan penyiksaan di alami masyarakat Papua di Biak.

Teriakan, tangisan, kemarahan, kebencian, geram, berpilin-pilin menjadi satu. Mengoyak kedamaian langit yang tetap angkuh tak peduli. Semua orang tak terkecuali, mengalami penyiksaan. Bahkan pemilik toko yang memberikan air minum untuk para demonstran pun harus mengalami nasib yang sama. Masyarakat Biak sungguh mengalami trauma yang akan terus menghuni ruang batin mereka.

Semua orang diproses dalam pengadilan, tentu saja sebagai pelaku perbuatan separatisme. Namun, jangan berpikir itu pengadilan yang adil, pengadilan yang sesuai dengan proses pengadilan yang seharusnya. Orang-orang yang ditunjuk dan dipanggil menjadi saksi mendapatkan intimidasi, tekanan-tekanan, agar mereka menyangkal. Palu pun diketuk dengan keputusan yang sama sekali tidak benar.

Luka yang memar. Luka yang tak akan pernah sembuh hingga sekarang. Para demonstran yang terlibat dalam kasus Biak Berdarah, hingga kini tetap mendapatkan stigma sebagai separatis. Kasusnya pun tak pernah diurus, berkaitan dengan pembantaian yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM.

Puluhan orang mengalami luka-luka, berat dan ringan. Sebagian yang luka berat harus dirujuk ke rumah sakit di Ujungpandang. Terdapat 3 orang meninggal dalam serangkaian peristiwa itu, tetapi puluhan orang setelahnya ditemukan mati misterius. Mayat-mayat yang tergeletak, orang-orang yang harus membayar mahal kehendak untuk merdeka, meskipun harus menukarkannya dengan nyawa mereka sendiri.

Rio tersungkur dalam kekosongan nuraninya. Apa yang bisa ia rasakan selama menjadi aktivis mahasiswa di Yogyakarta, dan juga aktivis mahasiswa di daerah yang lain, sama sekali tidak seimbang benar dengan kerumitan dan tantangan yang dihadapi para aktivis mahasiswa di Papua. Aktivis mahasiswa Papua, sama halnya dengan mereka yang sedang menuntut kemerdekaan di bumi bagian lainnya. Harus menghadapi penguasa yang tak hendak mau mendengar suara hati rakyatnya sendiri.

Ia terhempas-hempas, terlempar ke atas dan terjatuh kembali. Lidahnya kelu tak lagi bisa digerakkan, kalimat-kalimatnya hilang tertimpa kepedihan yang amat mendalam. Kedukaan yang saat ini sangat kuat terpatri dalam wajah Marchela, yang masih duduk kaku di hadapannya. Tak ada minuman yang berkurang dalam gelas Marchela, tak ada makanan yang tersentuh di hadapannya. Semuanya membisu, daun-daun menunduk layu, dan gerimis mulai menderas di halaman kantin kampus Universitas Cenderawasih.***

Bab 4 bisa dibaca di link berikut:

https://www.indonesiana.id/read/164805/novel-dua-cinta-di-puncak-jaya-4

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler