x

cover buku Gema Sebuah Hati

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 31 Juli 2023 07:51 WIB

Gema Sebuah Hati, Gugatan Berani Marga T Kepada Rezim Orde Baru

Marga T sungguh amat berani menulis novel ini. Novel ini ditulis saat Orde Baru sedang jaya-jayanya. Marga T menggugat kebrutalan Orba yang melakukan balas dendam kepada anggota PKI dan mereka yang dituduh sebagai PKI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Gema Sebuah Hati

Tahun Terbit: 1992 (cetakan ketujuh)

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tebal: 396

ISBN:

 

 

Saya terkejut dan tidak percaya bahwa buku ini ditulis oleh Marga T di tahun 1976. Saya kaget karena Marga T ternyata pernah menulis fiksi yang sarat dengan gugatan politik. Buku-buku Marga T biasanya berisi hiburan dengan kisah cinta yang cukup rumit. Mungkin ini adalah satu-satunya karya Marga T yang bersinggungan erat dengan politik.

Saya semakin kaget karena buku ini pertama kali terbit tahun 1976. Bukankah tahun 1976 itu kekuasaan Orde Baru sedang dalam masa jayanya? Kok Marga T berani menulis novel dengan gugatan yang setajam ini?

Herannya lagi novel berjudul “Gema Sebuah Hati” ini diterbitkan oleh Gramedia lagi!

Kita mengenal Marga T sebagai seorang penulis fiksi dengan gaya metropop. Dalam banyak novelnya ia membangun kisah cinta yang cukup rumit tetapi mengasyikkan. Kerumitan kisah cinta yang sangat menarik itu membuat Marga T menjadi seorang pesohor di genre metropop di Indonesia. Ia diganjar penghargaan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era Anis Baswedan sebagai seorang Pencipta, Pelopor dan Pembaru karya fiksi Indonesia.

Memang Marga T pernah menulis sebuah fiksi berdasarkan kisah kerusuhan Mei 1998. Novel karyanya tersebut berjudul Sekuntum Nozomi III. Meski berlatar belakang kerusuhan Mei 1998, novel ini tidak menggugat situasi politik. Marga T lebih fokus pada korban-korban perkosaan akibat kerusuhan politik. Penulis perempuan yang lahir tahun 1947 ini secara detail menggambarkan siksaan yang diterima oleh para perempuan Tionghoa, khususnya di Jakarta.

Gema Sebuah Hati sangat berbeda dengan novel-novel karya Marga T lainnya. Pun berbeda dari Sekuntum Nozomi III. Gema Sebuah Hati secara terang-terangan menggugat peristiwa-peristiwa politik yang berkembang membabi-buta setelah peristiwa G30S. Salah satu kelompok korban dari kerusuhan politik yang menjadi liar tersebut adalah orang-orang tionghoa.

Mengambil latar Kampus Universitas Res Publica di Jakarta, Marga T membangun kisahnya. Universitas yang didirikan oleh Baperki itu memang awalnya bertujuan untuk menampung anak-anak tionghoa yang kesulitan melanjutkan belajar di perguruan tinggi. Universitas Res Publica adalah salah satu korban kerusuhan 1965. Universitas ini dibakar karena dianggap menjadi sarang dari CGMI, sebuah kelompok mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI.

Saat membaca bagian awal novel, saya menyangka bahwa novel ini akan sama dengan novel-novel Marga T yang berisi percintaan rumit yang mengasyikkan. Sebab bagian awal memang diisi dengan tokoh-tokoh mahasiswa kedokteran Res Publica yang sibuk dengan kuliahnya sekaligus dibumbui cinta masa remaja.

Namun di bab-bab selanjutnya, Marga T menulis tentang suasana persaingan antara mahasiswa kelompok kiri (merah) dengan para mahasiswa yang dituduh borjuis. Mereka saling mengambil pengaruh melalui senat mahasiswa. Tentu saja persaingan politik para mahasiswa ini tetap dibumbui dengan cerita cinta.

Di bagian ini Marga T sudah menunjukkan bahwa orang-orang tionghoa telah menjadi korban. Salah satunya adalah Martin, seorang mahasiswa kedokteran dari keluarga tionghoa yang kaya. Ayah Martin yang merasa bahwa hidup di Indonesia akan tidak nyaman karena dianggap musuh negara, berencana untuk memindahkan Martin ke Eropa. Korban lainnya adalah Markus yang kena skors oleh senat mahasiswa yang dikuasai oleh kelompok merah. Markus harus berhenti kuliah dan terpaksa pulang ke Jawa Tengah. Serta Jery yang terpaksa pindah ke Amerika setelah kena skors.

Setelah kudeta 30 September gagal, angin berbalik. Kelompok-kelompok yang dulu tertekan, kini berada di atas angin. Namun demikian, orang-orang tionghoa tetap saja dijadikan kambing hitam. Jika dulu dimusuhi karena dianggap borjuis, kini mereka dimusuhi karena dianggap pro PKI.

Marga T amat lugas dalam membeberkan apa yang terjadi saat itu. Balas dendam yang ngawur ditulis di buku ini. Beberapa kutipan di bawah ini menunjukkan betapa beraninya Marga T menggugat Orde Baru.

Markus mengirim surat dari Jawa Tengah. Aku tidak berani ke Jakarta dulu. Aku belum berani kemana-mana. Bahkan keluar rumah, juga tidak. Kalau mereka tahu aku sekolah di Baperki, rasanya surat permandianku tak akan ada gunanya… Sepatah saja dikatakan orang bahwa engkau antek-antek pe-ka-i, habislah nyawamu (hal. 168).

Berikut adalah surat dari Jery dari Los Angeles: “Apa khabar di sana (Jakarta)? Tidak ada yang kena bayonet atau hilang kepala aku harap?...Koran-koran (di Los Angeles) bilang ada Dewan Jenderal dari golongan kanan yang dicoup oleh Dewan Revolusi dari pki. Lalu Jenderal-jenderal dibunuh. Dewan Revolusi berhasil digulingkan kembali dan mereka membalas dendam dengan menyapu bersih semua anggota pki dan orang-orang yang dicurigai…kata koran-koran di sini, terjadi pembantaian hantam kromo” (hal. 288).

Dua kutipan di atas harus dikategorikan sangat berani untuk tahun 1976. Sebab pada tahun 1976 sejarah versi Orde Baru sudah terbentuk. Mencurigai pembantaian dengan alasan balas dendam tentu suatu dosa besar di saat itu.

Meski sangat keras menggugat Orde Baru, novel ini laris manis. Bahkan di tahun 1976, novel ini cetak ulang sampai 2 kali. Sedangkan versi yang saya baca ini adalah cetakan ketujuh (1992). Novel yang keras menggugat Orde Baru ini mengalami tujuh kali cetak ulang di masa saja Orde Baru. Sungguh luar biasa.

Novel ini diterbitkan oleh Gramedia. Tentu saja Gramedia sangat berhati-hati dalam menerbitkan karya ini. Itulah sebabnya di bagian sampul belakang, Gramedia mengemas novel ini sebagai sebuah roman yang asyik. “Dalam gejolak masa tersebut, Monik masih harus menghadapi gejolak dirinya sendiri. Dia harus menetapkan siapa yang akan dipilihnya. Martin atau Steve … Monik kehilangan jiwa buat selamanya. Hatinya seakan-akan bergema sepanjang masa. Dimanakah Martin? Dimanakah kini jiwanya berada? …Tidakkah kaudengar gema keputusasaan hatiku?! Tidakkan kau sudi kembali?! Namun Martin tidak bisa lagi mendengar gema hatinya. Dia tak mungkin kembali….” 769

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu