x

Iklan

CISDI ID

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 September 2020

Senin, 31 Juli 2023 18:21 WIB

Lirih Asa Petani Tembakau, Kenaikan Cukai adalah Ancaman?

Kementerian Keuangan Republik Indonesia sedang giat menaikkan tarif cukai hasil tembakau hampir tiap tahun. Cukai memiliki fungsi sebagai pengendalian konsumsi terhadap produk yang berpotensi membawa dampak negatif. Langkah pemerintah meningkatkan tarif cukai merupakan gestur bijak dalam rangka melindungi ratusan jiwa rakyat Indonesia dari jerat adiksi nikotin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lagu  sumbang  mengiringi  kenaikan  cukai tahun 2023

Beberapa tahun kebelakang, Kementerian Keuangan Republik Indonesia giat menaikkan tarif cukai hasil tembakau hampir tiap tahunnya. Untuk tahun 2023 ini misalnya, Ibu Sri Mulyani telah mengetok palu kenaikan cukai rata-rata sebesar 10% untuk tahun 2023 dan 2024. Seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2007, cukai memiliki fungsi pengendalian konsumsi terhadap produk yang berpotensi membawa dampak negatif ketika dikonsumsi berlebihan. Penulis merasa langkah pemerintah untuk meningkatkan tarif cukai merupakan gestur yang bijak dalam rangka melindungi ratusan jiwa rakyat Indonesia dari jerat adiksi nikotin.

Di sisi lain, beberapa pihak berteriak lantang hingga menyebarkan ujaran kebencian di sosial media menentang langkah pemerintah tersebut. Narasi oposisi dimulai dengan menjadikan petani tembakau dan buruh pabrik sebagai tameng. Dikatakan, kenaikan cukai akan berdampak negatif pada kesejahteraan petani dan pekerja sektor terkait. Melihat diskursus di sosial media yang semakin melancip, penulis dan tim tergelitik untuk melihat realita yang sebenarnya terjadi di lapangan. Apakah benar kenaikan cukai adalah satu-satunya faktor yang mendorong petani tembakau berada di tepi jurang kesejahteraan?

Dari tembakau menjadi kopi hingga sayur mayur

Hembusan udara dingin khas dataran tinggi menyapa kami ketika tiba di wilayah tempat tinggal Pak I, seorang petani yang setuju untuk menjadi narasumber kami kali ini. Beliau merupakan petani multikultur yang menanam berbagai macam sayuran, ubi jalar, dan juga memiliki bisnis kopi yang dikembangkan bersama komunitas lokal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Dulu hampir semua lahan di daerah ini ditanami tembakau”, ujarnya membuka percakapan saat kami bersama-sama menelusuri lahan-lahan pertanian di lereng Gunung Sumbing yang terletak di provinsi Jawa Tengah pada awal bulan Juni tahun 2022 lalu.

Beliau melanjutkan, dulu ia mengolah lahan tembakau milik turun temurun hingga di tahun 2013 musim hujan yang tidak berkesudahan membuat tanaman tembakau miliknya hampir busuk dan tentu saja tidak laku untuk dijual. Tidak seperti komoditas lain yang dapat diolah menjadi produk alternatif seperti keripik atau manisan, tembakau yang tak laku di pasaran tidak bisa diapa-apakan, hanya menggunung di ruang penyimpanan atau teronggok di kebun. Musim yang tak menentu –musim kemarau basah misalnya– memang merupakan musuh besar tanaman semusim ini karena dapat menyebabkan pertumbuhannya tidak maksimal hingga gagal panen.

Suasana lahan pertanian di lereng Gunung Sumbing, Provinsi Jawa Tengah (Sumber gambar : Dok. Tim Tobacco Control-CISDI)

Demi dapur yang harus tetap mengepul, Pak I banting setir ke komoditas ubi jalar. Kebun ubi jalar miliknya memiliki hasil panen yang baik dan dapat langsung dijual dengan harga yang ia tentukan sendiri. Pak I menyebut proses ini sebagai ‘kedaulatan petani’. Proses yang ringkas dan merdeka dalam penentuan harga ini tak ia rasakan dulu saat masih bergulat dengan komoditas tembakau.

Daun tembakau yang sudah dipetik biasanya perlu melalui proses pemotongan dan penjemuran untuk kemudian dibawa ke tempat pengepul atau dimasukkan ke gudang. Daun tembakau yang sudah di gudang pun masih harus kembali dicek dan masuk gudang besar untuk kemudian dijual. Pada fase inilah petani baru dibayar. Dalam proses yang panjang ini, kualitas tembakau akan dinilai –entah oleh pedagang atau pihak gudang– untuk menentukan harga beli tembakau. Proses ini dikenal pula dengan istilah grading.

Pak S, narasumber lain yang juga berprofesi sebagai petani di daerah pegunungan yang berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, menyatakan hal yang sama dengan Pak I. Beliau bertanya-tanya terkait indikator apa yang digunakan untuk menilai daun tembakau dan di saat harga rokok terus melambung, kenapa daun tembakau miliknya seringkali diberi harga tak masuk akal? Petani dalam proses ini hanya bisa pasrah menerima hasil jerih payahnya kadang dihargai tak sesuai dengan modal dan waktu yang sudah dikeluarkan.

Dengan tabungan yang dimilikinya, Pak S akhirnya memutuskan untuk berkeliling Indonesia. Misinya adalah mencari bibit kopi terbaik. Beliau merasa tak bisa lagi bergantung pada tembakau mengingat luas lahan tembakau milik turun temurun yang terbatas dan ketika ditanami tembakau, lahan tersebut tak bisa berbagi ruang untuk tanaman lain. Belum lagi risiko tinggi dari gagal panen hingga carut marut grading yang suram.

Risiko gagal panen tembakau yang tinggi membuat petani tembakau beralih menanam kopi (Sumber gambar : Dok. Tim Tobacco Control-CISDI)

“Kalau kopi ini ‘kan bisa panen sepanjang tahun dan dia [tanaman kopi] bisa berbagi lahan dengan tanaman lain, cabe misalnya. Pasarnya juga ada jadi mudah menjualnya”, ujarnya.

“Paling ya dulu itu saya mikirnya kalau tetap jadi petani tanaman satu itu saja [tembakau], saya tidak akan bisa menyekolahkan anak saya, hanya cukup untuk makan saja. Jadi tidak menjamin”, pungkas Pak S sambil menghidangkan beberapa gelas kopi hangat. Segelas kopi yang terhidang merupakan buah jerih payah yang ia olah sendiri dari mulai bibit hingga siap diteguk. Biji kopi yang dipanen memang dapat dengan mudah disimpan untuk jangka waktu yang cukup lama.

Berbeda dengan dua petani sebelumnya, dua petani asal Jawa Timur yang kami wawancarai mengakui bahwa hingga kini mereka masih fokus di perkebunan tembakau. Walau mengalami tantangan yang sama dengan petani-petani di Jawa Tengah, dua petani dari Jawa Timur ini mengaku bahwa hal tersebut sebanding dengan hasil yang mereka dapat. Di musim penghujan, keduanya beralih menanam komoditas lain, seperti cabe atau buah melon. Yang menarik, mereka menyatakan bahwa jenis tembakau yang ditanam di dataran Jawa Timur adalah jenis khusus yang digunakan untuk cerutu dan dijual di pasar ekspor ke negara-negara lain. Selain menjadi petani, keduanya juga aktif sebagai pedagang yang mengumpulkan hasil panen petani setempat untuk dijual ke gudang.

Dari hasil wawancara ini, semua petani menyatakan bahwa kenaikan cukai maupun harga rokok tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap dinamika jual-beli tembakau. Sebaliknya, terdapat beberapa masalah mendasar yang dialami para petani, baik di daerah Jawa Tengah maupun Jawa Timur, yaitu faktor cuaca yang tidak bisa diprediksi; karakteristik khusus pada tanaman tembakau dan hasil panen; serta tata niaga tembakau yang tidak berpihak pada petani.

Jalan setapak menuju kesejahteraan bagi petani tembakau

Melihat dinamika yang dihadapi petani tembakau, penulis merasa perlu adanya langkah mitigasi untuk mengupayakan kesejahteraan petani tembakau. Dari hasil wawancara dan temuan riset terdahulu, kemampuan untuk melakukan transisi dari produk tembakau ke produk lainnya atau diversifikasi menjadi hal yang vital bagi para petani tembakau. Untuk melakukan penganekaragaman pertanian maupun alih tanam ke komoditas lain, petani memerlukan beberapa hal seperti kesiapan infrastruktur, kesiapan pasar, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), dan alternatif komoditas tembakau yang berbasis riset.

Kesiapan infrastruktur dapat dibantu oleh pemerintah setempat dengan menyediakan sistem pengairan yang memadai maupun sarana transportasi untuk memudahkan akses dari dan ke pasar. Kesiapan pasar sendiri merupakan hal utama yang dapat menjadi daya tarik bagi petani untuk menanam komoditas lain. Selama ini, petani yang melakukan diversifikasi maupun alih tanam mengalami hambatan di mana komoditas alternatif yang diupayakan ternyata tidak terserap di pasaran. Terkadang harganya pun masih kalah saing dengan harga jual tembakau. Untuk itu, skema kemitraan disarankan sebagai solusi untuk mencegah terjadinya kelebihan produksi dan harga komoditas yang anjlok.

Selain faktor eksternal yang telah disebutkan di atas, peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan maupun pendampingan secara intensif dari penyuluh pertanian lapangan (PPL). Sejalan dengan kapasitas SDM yang meningkat diharapkan kualitas komoditas alternatif juga turut membaik sehingga tidak kalah saing di pasaran. Terakhir, pemerintah maupun pemangku kepentingan seharusnya berinisiatif untuk mendorong riset yang dapat merekomendasikan komoditas alternatif yang sesuai untuk ditanam di daerah setempat dan bersifat menguntungkan dari segi ekonomi (1).

Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) secara maksimal untuk mendukung proses diversifikasi maupun alih tanam ini sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK 07/2020 terkait. Pada pasal 5 ayat (4) disebutkan bahwa DBHCHT dapat dimanfaatkan untuk program pembinaan lingkungan sosial petani salah satunya untuk peningkatan keterampilan kerja dalam bentuk bantuan bibit/benih/pupuk dan/atau sarana dan prasarana produksi kepada petani tembakau dalam rangka diversifikasi tanaman (2).

Referensi:

  1. Jacinda Strategi Peningkatan Kesejahteraan Petani Tembakau, Petani Cengkeh Dan Pekerja Rokok Di Indonesia [Internet]. Universitas. 2021. Available from: https://www.researchgate.net/profile/Ardhini-Jacinda/amp
  2. Permenkeu 206/PMK.07/2020. Tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBH Cukai Hasil Tembakau. 2020;(24):25.

 

Tentang Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah lembaga non-profit yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.

 

Penulis

Gea Melinda, Senior Research Officer for Tobacco Control CISDI

Syifa Rizki Amelia, Research Officer for Tobacco Control CISDI

Ikuti tulisan menarik CISDI ID lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu