x

K\x27tut Tantri, saat bertemu Ir. Soekarno. (bonsernews.com)

Iklan

sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Jumat, 4 Agustus 2023 08:30 WIB

Muriel Stuart Walker, Berjuang untuk Indonesia dari Bawah Tanah hingga Udara

Ia lebih dikenal sebagai Ktut Tantri. Ia sang pejuang-pengembara universalis dari tanah seberang jauh dari bumi pertiwi Indonesia. Bagaimana perempuan Skotlandia ini sampai pada pilihan hidup seperti itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Kemerdekaan, adalah laksana pelita yang menyinari dunia dari kegelapan," begitulah kata sang pejuang-pengembara universalis pada suatu ketika. Setelah melewati masa silamnya, selepas dari lorong pahit getir lantaran keterlibatan dirinya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan suatu bangsa yang bukan bagian dari kebangsaannya. Apalagi, dirinya adalah seorang perempuan yang acapkali dilabeli sebagai kaum lemah.

Perempuan itu bernama Muriel Stuart Walker, lahir di Glasgow, Britania Raya dan bersama ibunya ke Kalifornia usai Perang Dunia pertama. Dia yang bekerja sebagai penulis naskah di Hollywood antara 1930 dan 1932, menikah dengan seorang Amerika bernama Karl Jeaning Pearson yang wafat pada 1957. Pada 1932, ia tinggalkan Amerika Serikat yang berjuluk Negeri Paman Sam guna memulai hidup baru di sebuah pulau di Indonesia bernama pulau Bali-pulau Dewata yang dijalaninya 15 tahun berikutnya.

Berawal dari saat dilanda gundah dengan dirinya sendiri, lalu berjalanlah dia menyusuri Hollywood Boulevard. Begitu persis di depan bioskop, sang perempuan ini berkeputusan membeli tiket dan menyaksikan sebuah tayangan film berjudul Bali: The Last Paradise.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Usai menyaksikan tayangan film tersebut, sekeluarnya dari bioskop, dirinya seperti menemukan hidup. Hanya selang beberapa menit film itu kelar disaksikan, diapun berkeputusan bulat: pergi dan menetap di Bali!

Dengan mengendarai mobil yang dibelinya di Batavia, dia tiba di "sorga terakhir" yang diidamkannya. Bersumpahlah dia bahwa baru akan turun dari mobil apabila mobilnya kehabisan bensin. Tak ayal, mobilnya berhenti di depan sebuah istana raja yang dikira sebuah pura.

Dengan penuh kehati-hatian sang perempuan itu memasuki istana raja. Dia akhirnya disambut oleh sang raja, laksana dalam sebuah dongeng, dan diangkat menjadi anaknya yang keempat. Ia lalu diberilah nama K'tut Tantri.

Surabaya Sue, begitulah pers di Singapura, Australia dan belahan bumi lain mengenalnya. Tersampir julukan itu di pundaknya akibat pilihan sadarnya untuk memilih berjuang membantu rakyat Indonesia yang menginginkan kemerdekaan total.

Di Surabaya, dia dikenal sebagai penyiar radio yang dioperasikan para pejuang arek-arek Suroboyo pimpinan Bung Tomo. Saat di Surabaya pecah pertempuran November yang gila-gilaan dan tak seimbang itu, dia berada di tengah para pejuang Indonesia yang sedang kerasukan semangat kemerdekaan.

Perkenalannya dengan dunia politik dimulai dari diskusi-diskusi yang intens dengan Anak Agung Nura, putra raja yang mengangkatnya sebagai anak, yang pernah mengenyam pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg, Jerman.

Di saat Jepang mendarat di Bali, dia berhasil meloloskan diri ke Surabaya. Dari sinilah, dia mulai menjalin kontak dengan sejumlah orang yang bersimpati pada gerakan anti Jepang. Ketika pada akhirnya ia tertangkap, diinterogasi selama berbula-bulan harus dihadapi. Ditanya soal aktivitas bawah tanahnya dan bertubi-tubi disiksa, bahkan nyaris dieksekusi, hingga suatu ketika sempat terkapar dan nyaris mati. Namun, dia tetap bungkam. Karena kesehatannya yang anjlok pada titik ternadir, dia  pun dikirim ke rumah sakit. Di sanalah dia mendengar kabar diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

Aktivitas bawah tanah dan keteguhan sikap untuk tidak menganga selama interogasi membuat tentara Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo membebaskannya. Dia ditawari dua opsi, kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan pejuang Indonesia.

K'tut Tantri memilih opsi yang kedua. Ia dipercaya untuk mengelola siaran radio perjuangan. Suaranya mengudara tiap malam. Ketenarannya dalam bersiaran menjadikan faksi tentara Indonesia menculiknya dan memintanya untuk siaran di radio gelap yang mereka kelola sebelum kemudian anak buah Bung Tomo berhasil membebaskannya.

Pada saat pemerintahan Indonesia bergeser ke Yogya, K'tut Tantri pun turut serta ke Yogya. Di sana dia bekerja di kantor Menteri Pertahanan yang saat itu dijabat oleh Amir Syarifuddin. Dia pernah menuliskan pidato Bung Karno. Suatu ketika ia mendapat tugas sebagai seorang spionase, dan berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.

K'tut Tantri satu-satunya perempuan yang berkeliaran di jantung Yogya yang pekat oleh bau mesiu saat itu. Ketenaran dan pengorbanannya pun menjadi rebutan faksi-faksi politik. Dia sempat dibawa diam-diam oleh salah satu kelompok politik yang hendak melaksanakan rapat di Solo. Bahkan K'tut Tantri  tak menyadari bila dalam perjalanannya menuju Solo berada dalam satu mobil dengan scarlet pimpernal-nya Indonesia yang legenderis, yakni Tan Malaka.

Dalam konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden pelbagai kantor berita dan media massa luar negeri, dia dipilih oleh pemerintah untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung kemerdekaan dan mematahkan propaganda dusta (hoax) Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta tidak didukung oleh rakyatnya. Dari sanalah julukan Surabaya Sue (penggugat dari Surabaya) disematkan pada diri seorang K'tut Tantri.

Loyalitas cinta tak berkarat pada diri sang K'tut Tantri menjadikan dia dipilih pergi ke Singapura dan Australia guna melakukan kampanye menggalang solidaritas Internasional. Tanpa visa dan paspor hanya dengan kapal tua yang dinahkodai seorang Inggris yang frustrasi, K'tut Tantri berhasil lolos dari blokade kapal Belanda. Dari Singapura dia melanjutkan perjalanannya ke Australia untuk menggalang dana, melakukan propaganda agar rakyat Australia memboikot Belanda di Australia. Selama di sana dia berhasil menggalang demonstrasi mahasiswa di perwakilan pemerintahan Belanda di Australia.

Sosok K'tut Tantri, sang pejuang-pengembara universalis dari tanah seberang jauh dari bumi pertiwi Indonesia, setidak-tidaknya menjadi inspirasi bagi kita anak bangsa. Betapa tidak, totalitas sisa hidupnya rela ditumpahkan dalam pertaruhan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang bukan bagian dari tanah tumpah darahnya.

Visi tentang hidup dalam kehidupan manusia seumumnya memancarkan pandangan dan sikap hidup universal, melintas dan menembus batas sekat suku,  agama,ras, dan antar golongan di kala berhadapan dengan kenyataan terjadinya penindasan, penghisapan antar sesama manusia yang harus diluluhlanttakkan dari muka bumi. Sebab, nyata bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan, betapa kemerdekaan adalah hak segala bangsa seiring dengan bahwa setiap manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dalam kondisi yang sama. Sama-sama sebagai hamba Tuhan dengan segala hak dan kewajibannya dalam menjalani hidup di muka bumi.

Akankah kita sebagai anak bangsa berbumi pertiwi Indonesia_Nusantara ini, justru menyia-nyiakan sebuah kemerdekan yang telah tergenggam sebagai hasil perjuangan dan pengorbanan para pendahulu kita yang dirahmati dan diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa, berpelataran Bhinneka Tunggal Ika? Kita tinggal menjaga dan memelihara bagaimanakah cara dalam mempertahankan arti kemerdekaan yang memancarkan hidup berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia_Nusantara. Itu saja, sederhana saja ...

Oleh karenanya, sisihkan perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan. Jadikanlah semua itu sebagai ragam khasanah menuju persatuan Indonesaia_Nusantara bernilaikan kebersamaan dalam perbedaan, bukan memperuncing perselisihan yang rentan pada keretakan dan perpecahan.

Seorang perempuan yang pada akhirnya ditahbiskan bernama K'tut Tantri, datang jauh dari negeri seberang merelakan segenap jiwa raganya, bertaruh dan terlibat dalam pertarungan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dimana Indonesia_Nusantara yang bukan sebagai tanah tumpah darahnya, lantas bagaimanakah seharusnya kita yang terlahir, hidup dan dibesarkan dari bumi pertiwi Indonesia_Nusantara ini? Lebih-lebih saat kita sedang memasuki "Tahun Politik".

Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh sang Proklamator RI, Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

Mari direnungkan makna pesan visioner ke depan beliau untuk saat ini dan nanti, ketika tahun politik dan krisis global yang menggejala, mulai terasa nuansa dan aromanya. Sanggupkah kita?

Sekian dan terima kasih. Salam Seimbang Universal Indonesia_Nusantara, Merdeka ..!

***** 

Kota Malang, Agustus di hari ketiga, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.        

 

 

Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler