x

cover buku Lucy Mei Ling

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 11 Agustus 2023 13:07 WIB

Lucy Mei Ling, Novel Seronok yang Penuh Perenungan Tentang Kehidupan

Lucy Mei Ling, novel karya Motinggo Busye yang terbit pada 1977 mengisahkan percintaan pemuda Indonesia dengan mahasiswi Taiwan. Inilah novel yang mendukung propaganda asimilasi etnis Cina di Indonesia melalui jalur pernikahan. Nobel ini ditulis dengan gaya yang berbeda dari karya lain, katakanlah yang berjudul Fatimah Chen-Chen. Motinggo banyak menarasikan adegan seronok, namun sentuhan sastrawinya tetap terasa. Di beberapa bagian muncul kutipan para cendekiawan dari buku-buku bermutu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Lucy Mei Ling

Penulis: Motinggo Busye

Tahun Terbit: 1982

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Loka Jaya

Tebal: 527

ISBN:

 

Lucy Mei Ling adalah novel kedua karya Motinggo Busye (MB) yang saya baca dan membuat resensinya. Karya MB sebelumnya, yang saya baca dan buat resensinya berjudul Fatimah Chen-Chen yang terbit pada 1990. MB banyak berkarya dan tak melulu berupa novel. Ia juga menulis cerpen, naskah drama, esai, puisi bahkan karya dalam bentuk film.

MB adalah pengarang yang dipuji oleh HB. Jassin, A Teeuw dan kritikus lainnya. Karyanya masuk ke berbagai publikasi sastrawi, seperti Horison, Kolom Cerpen Kompas dan sebagainya.

Lucy Mei Ling terbit pertama kali pada 1977, saat Presiden Suharto menggelorakan asimilasi etnis Cina melalui pernikahan. Novel ini menggambarkan bahwa percintaan antara orang Jawa dengan etnis Cina bisa terjadi secara tulus.

Saya cukup kaget melihat betapa berbedanya gaya penulisan MB di dua novel ini. Karena perbedaan gaya yang ekstrim ini saya menjadi bertanya-tanya tentang sejarah kepengarangan MB.

Saya menjadi ingat saat guru bahasa Indonesia di SMA menjelaskan tentang sosok MB sebagai seorang sastrawan berbakat, tetapi sekaligus penulis novel poluler yang sangat laris. Karena penasaran, saya melakukan penggalian sosok pengarang yang bernama asli Bustami Djalit melalui google dan buku-buku yang saya punya. Ternyata memang banyak informasi tengang sastrawan kelahiran Lampung ini dan sejarah kepengarangannya. Salah satu buku yang saya rujuk dalam membahas Lucy Mei Ling adalah Pandangan Dunia Motinggo Busye karya Agus Sri Danardana dan Puji Santoso (2007).

Tetapi, sebelum membahas lebih lanjut tentang mengapa MB bisa menulis dua novel dengan gaya yang sama sekali berbeda, marilah kita lihat dulu isi Lucy Mei Ling.

Novel ini berkisah tentang percintaan antara Sanjaya, seorang pemuda Indonesia dengan Lucy Mei Ling, seorang gadis Taiwan. Sanjaya yang sedang menempuh studi kedokteran mata di Taiwan, jatuh cinta kepada Lucy Mei Ling, seorang gadis anak orang kaya Taiwan. Cintanya tentu tidak mudah. Selain persoalan perbedaan kewarganegaraan, cinta Sanjaya dengan Mei Ling penuh liku karena ada pihak-pihak yang terlibat.

Lucy Mei Ling ternyata sudah dijodohkan oleh orangtuanya dengan pemuda anak saudagar kaya. Di saat yang sama, Sanjaya ternyata juga sudah digadang untuk menjadi suami adik angkatnya. Sanjaya adalah anak yatim piatu yang dipelihara oleh Tuan Hadi Kusumo yang kaya raya. Hadi Kusumo berharap Sanjaya akan mempersunting Jeni anak satu-satunya.

MB menghadirkan dua tokoh antagonis dalam novel ini. Kedua tokoh tersebut adalah Linda Wu dan Lu Chen. Linda Wu sangat mengingini cinta Sanjaya. Sementara Lu Chen sangat ingin menikahi Lucy Mei Ling. MB menggunakan dua tokoh antagonis ini untuk membuat kisah cinta Sanjaya dengan Mei Ling menjadi semakin rumit. Lu Chen membongkar masa silam Mei Ling yang sebenarnya adalah anak pungut. Ibu Mei Ling adalah seorang pelacur. Mei Ling diambli anak oleh pasangan Lu Sheng Lei sejak masih orok.

Setelah mengalami berbagai kerumitan, dan Lucy Mei Ling terlanjur hamil, Sanjaya dan Mei Ling akhirnya menikah. Mereka memutuskan untuk tinggal di Jakarta. Sanjaya tahu bahwa Lucy Mei Ling mengidap kanker jinak di otaknya. Kanker ini secara perlahan-lahan akan membuat Mei Ling buta dan akhirnya meninggal. Namun sebelum Mei Ling meninggal, Sanjaya memutuskan untuk bunuh diri dengan menelan pil tidur oer dosis. Jadilah anak tunggal mereka yang bernama Pauline tinggal bersama orangtua Mei Ling di Taipeh.

Seperti halnya karya-karya MB dari tahun 1962 sampai 1984, novel Lucy Mei Ling yang edisi pertamanya bertahun 1977 juga dipenuhi dengan adegan seronok. Memang pada periode ini MB menulis dengan gaya seronok sampai-sampai ia dihujat oleh banyak kritikus sastra dan sesama sastrawan.

Meski penuh dengan adegan seronok, namun sentuhan sastrawi MB tetap terasa di novel ini. Di beberapa bagian muncul kutipan para cendekiawan dari buku-buku bermutu. MB juga memasukkan berbagai karya lagu/musik yang diapresiasi sebagai musik berkelas, seperti karya Paul Muriat. Dalam novel ini MB menggambarkan pergumulan Sanjaya tentang cinta. Pergumulan tentang nafsu birahi, cinta sejati dan rasa kasihan karena Lucy Mei Ling adalah seorang pengidap kanker menjadikan kita bertanya-tanya tentang hakikat cinta yang sesungguhnya.

Mari kembali membahas mengapa gaya kepenulisan MB begitu berbeda di  dua novel yang sudah saya baca dan membuat resensinya. Fatimah Chen-Chen yang terbit tahun 1990 ditulis dengan sangat santun, religius dan penuh perenungan tentang arti hidup. Sementara Lucy Mei Ling ditulis dengan gaya popular dan seronok.

Dari berbagai informasi yang saya kumpulkan, saya mendapati bahwa sesungguhnya MB mengalami tiga  masa kepengarangan. Masa pertama adalah dari sejak karya pertamanya yang berjudul Malam Putih muncul di majalah Siasat pada tahun 1953 sampai ia menikah dan pindah dari Jogja ke Jakarta tahun 1962. Periode ini dinamai oleh beberapa kritikus sebagai periode idealis.

Periode kedua kepengarangannya disebut sebagai periode gaya populer, dimana dia banyak menulis novel populer yang disisipi adegan-adegang seronok dan pornografi. Gaya kepenulisan yang berubah ini disebabkan karena tuntutan hidup di Jakarta yang memerlukan banyak biaya. Periode kedua ini berlangsung sampai tahun 1984, ketika ia diingatkan oleh anaknya yang bersekolah di Pondok Gontor. Sejak itu gaya kepenulisan MB berubah menjadi serius, religius dan penuh perenungan akan hidup.

Fatimah Chen-Chen adalah karya yang lahir di periode ketiga kepenulisan MB. Sedangkan Lucy Mei Ling lahir di periode kedua kepenulisan MB. Itulah sebabnya gaya kepenulisan dua novel ini sangat berbeda. Meski gaya kepenulisannya berbeda, namun kedua novel ini tetap berisi tentang hidup dan kehidupan yang perlu direnungkan.

Pantaslah kalau novel-novelnya bengal, eksotik dan meninggalkan pertanyaan menganga yang membuat para pembacanya harus berpikir. Misalnya, mengapa MB memutuskan untuk mengakhiri hidup Sanjaya dengan cara bunuh diri. Sebab menurut Taufiq Ismail Motinggo Busye – yang dipilih sebagai nama pena Bustami Djalit, berasal dari bahasa Minang, mantiko bungo. Frasa tersebut mempunyai campuran antara sifat bengal, eksentrik, suka membuat gaduh, kocak, dan juga tak segan malu. 771

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu