Meninjau Ulang Peran Petani di Festival Jogja Coffee Week Tahun 2023

Rabu, 6 September 2023 12:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meski digadang-gadang sebagai kota paling pantas untuk jadi kota kopi di Indonesia, namun sesungguhnya kota Jogja bukanlah produsen penghasil biji kopi, melainkan kota pemasar kopi atau lebih tepatnya kota industri coffeeshop. Sebab, tidak hanya biji kopi Merapi atau dari daerah tetangganya saja yang ditawarkan di Jogja, melainkan yang banyak dicari adalah biji kopi milik petani dari seluruh penjuru Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua.

Momentum Harpelnas (Hari Pelanggan Nasional) tahun 2023 ini disambut baik oleh pelaku usaha di sejumlah daerah di Indonesia, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dilansir dari Harianjogja.com, Kadin (Kamar Dagang Indonesia) DIY mengadakan kembali Festival Jogja Coffee Week (JCW) tahun ke-3 yang diselenggarakan di JEC (Jogja Expo Center) mulai tanggal 1 September dan ditutup kemarin malam (5/09/23).

Festival Jogja Coffee Week 2023

Perayaan Jogja Coffee Week tahun 2023 ini mengusung tema Future Coffee Culture dan Indonesia Coffee Showcase in Yogyakarta yang sejatinya ditujukan untuk mendorong perkembangan usaha kopi dari hulu sampai hilir, mulai dari petani, pelaku usaha mikro, korporasi, hingga konsumen akhir.

Menurut Rahadi Saptata Abra selaku panitia sekaligus ketua Organaizing Committee Jogja, acara tersebut merupakan forum atau “event bisnis sekaligus edukasi baik antar pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dengan konsumen” (Jogjapolitan.harianjogja.com).

Berdasarkan informasi dari petugas ticketing JCW tahun ini, khusus di hari weekend (sabtu-minggu) sekurang-kurangnya ada 1.000 pengunjung yang datang ke acara festival kopi tersebut, sementara untuk weekday kurang lebih ada sekitar 300-an pengunjung per harinya.

Adapun pengunjung yang ingin masuk ke dalam lokasi acara festival tersebut harus merogoh kocek 30.000 rupiah per orang, lalu diberi sebungkus rokok Djarum 76 rasa mangga secara gratis, 1 kupon untuk es-krim gratis, dan 1 kupon diskon untuk jasa videobooth selayaknya tukar-tambah.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa festival kopi tersebut berbasis komersial dan didukung oleh banyak sponsor. Diantaranya Pemda DIY, perusahaan rokok, pengusaha produk dan peralatan kopi, juga industri besar yang agak relevan dengan pengolahan minuman maupun aktivitas penjualan-pembelian kopi seperti kehadiran stan Indomilk, Sari Roti, dan Bank BCA.

Sebagai pengunjung yang cukup sering minum kopi, saya mengetahui adanya JCW melalui penelusuran di internet ketika mencari agenda event di Jogja. Hal tersebut senada dengan penuturan sepasang muda-mudi yang saya interview di lokasi acara, menyatakan bahwa mereka mengunjungi JCW tahun ini setelah mengetahui informasi dari postingan instagram pelaku usaha kopi di Jogja yang diikutinya.

Saya tahunya dari Salsa” kata seorang laki-laki menunjuk teman perempuannya. “Kalo saya tahunya itu dari postingan instagram coffeeshop yang saya ikuti” ujar Salsa (5/9/2023).

Setelah berkeliling dari satu stan ke stan lainnya, saya menemukan bahwa ada banyak manfaat positif yang saya terima di festival JCW tahun ini. Antara lain, saya mendapatkan informasi tentang berbagai peralatan kopi, varietas brand atau merek kopi, juga mencicipi produk tersebut secara gratis bahkan saya diberi dua bungkus kecil sampel produk tertentu untuk dibawa pulang secara cuma-cuma.

Selain itu, saya juga membawa pulang kartu nama beserta nomor telepon yang sewaktu-waktu bisa saya hubungi bila diperlukan. Pasalnya, pelaku usaha yang telibat di JCW tahun ini tidak hanya datang dari Jogja, melainkan ada juga yang dari Sukabumi dan Jakarta.

Meski digadang-gadang sebagai kota paling pantas untuk jadi kota kopi di Indonesia (kumparan.com), namun sesungguhnya kota Jogja bukanlah produsen penghasil biji kopi, melainkan kota pemasar kopi atau lebih tepatnya kota industri coffee shop.

Sebab, tidak hanya biji kopi Merapi atau dari daerah tetangganya saja yang ditawarkan di Jogja, melainkan biji kopi dari seluruh Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua yang notabene disukai oleh masing-masing penikmatnya, mengingat Jogja sebagai kota pelajar juga ditopang oleh berbagai mahasiswa dari seluruh Indonesia.

Dengan kata lain, bila kita telusuri ulang peran Jogja, JCW, pengusaha produk peralatan kopi dan produk kopi kemasan hanyalah sebagai hilirisasi. Sedang hulunya, diperankan oleh para petani di Indonesia yang menjadi faktor kunci signifikan. Sialnya, kepedulian dan perhatian terhadap petani di berbagai daerah, khususnya yang kecil-kecil seringkali diabaikan, bahkan kondisinya tak jarang morat-marit.

Beberapa faktor yang bisa menjadi penyebabnya antara lain a) masih panjangnya rantai distribusi di daerah, b) minimnya pengetahuan, c) kurangnya peralatan pengolah biji kopi yang dimiliki petani, dan d) kondisi dimana para petani kecil menggantungkan mata pencahariannya semata-mata pada hasil panen kebun kopi. Sehingganya bila harga biji kopi tak lagi dipandang dapat mengatasi kebutuhan harian-bulanan para petani, alih fungsi lahan pun tak dapat mereka hindari.

Sekilas tentang perajalanan dari green beans menjadi segelas kopi

Sebagaimana dapat kita jumpai di wilayah-wilayah perdesaan Indonesia seperti di Sumatera misalnya. Jamaknya, perkebunan kecil tanaman kopi dikelola oleh para petani tua yang basic knowledge mereka mengenai tata kelola perkebunan kopi mulai dari pra-panen hingga pasca panen diperoleh secara turun-temurun secara oral. Kecenderungan mereka gagap teknologi yang membuatnya sulit berkembang di tengah era digitalisasi bisnis seperti sekarang ini. 

Kondisi itu diperparah melalui rantai distribusi yang panjang. Dimana bila musim panen tiba, para tengkulak (pamuge) masuk ke desa-desa mereka untuk membeli hasil panen tersebut dengan harga yang lebih murah. Dan tak jarang, demi mendapat untung besar, alat timbangan pun turut dikondisikan para pamuge.

Kemudian para pamuge tersebut akan menjual kembali biji kopi (green beans) ke toke langganan yang memberi mereka modal. Dan selanjutnya, sang toke menjual green beans tersebut ke toke yang lebih besar, begitu seterusnya hingga akhirnya diolah dan distribusikan oleh toke paling besar ke berbagai daerah. Tentu, setiap perpindahannya, masing-masing pengusaha akan mengambil untung.

Selanjutnya, sampailah biji kopi atau green beans di tempat jasa-jasa roastery (pemanggangan) kopi. Sebuah jasa yang mengolah green beans menjadi biji yang telah dimasak menggunakan peralatan canggih, dimana alat mahal tersebut sulit dimiliki oleh petani kecil. Lalu dari usaha roastery kopi, produk kopi yang sudah masak dikemas sedemikian rupa untuk selanjutnya dioper ke berbagai macam coffeeshoop yang membutuhkan. 

Pada ujungnya, sampailah kopi tersebut di coffeeshoop untuk diolah dengan beragam teknik sehingga menjadi minuman kopi yang bermacam-macam namanya. Tentu, untuk mengolah biji tersebut menjadi segelas minuman kopi, para pelaku usaha kopi membutuhkan peralatan-peralatan tertentu, seperti grinder (penggiling biji kopi), mesin espresso, timbangan, dan masih banyak peralatan kecil lainnya.

Sesekali, bila tidak sering, anak petani turut serta membeli kembali kopi yang dipanen dari hasil keringat orang tuanya dan dari tanah mereka sendiri dengan harga yang berkali-kali lipat lebih mahal akibat panjangnya rantai distribusi tersebut. Dengan demikian, cukup jelas bahwa peran petani cukup signifikan dalam menopang industri usaha kopi pendukung lainnya. 

Meski tidak semuanya, namun tak sedikit dari petani yang menggantungkan hidup semata-mata dari hasil perkebunan kecil tersebut. Imbasnya, bila ada tanaman lain yang lebih menjanjikan dan mampu menghasilkan uang yang lebih cepat, maka mereka tak akan berpikir panjang untuk menebang pohon kopinya, lalu menggantinya dengan tanaman lain. Dan tak sedikit pula yang menjual lahannya itu karena himpitan ekonomi.

Penutup

Karena itu, meski acara festival kopi seperti JCW atau yang sejenis lainnya memiliki dampak positif yang dapat dirasakan oleh berbagai pihak, kiranya perlu juga dicarikan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang selama ini dikeluhkan para petani kecil kita di berbagai daerah. Misalnya, dengan cara mendonasikan 1 sampai sekian persen omzet atau keuntungan yang diperoleh dari festival atau penjualan produk maupun peralatan kopi terhadap para petani kecil yang kurang beruntung tersebut.

Sebab, sedikit-banyak mereka juga berkontribusi positif terhadap para pelaku usaha kopi, maupun bagi pendapatan daerah, termasuk sumbangsih mereka atas perekonomian di negeri ini. Jika tak ingin demikian, jangan mengeneralisasi kondisi atau mencatut petani atas nama hulunisasi seolah-olah event organizer atau pihak penyelenggara festival kopi telah berjasa banyak terhadap kaum petani kopi. Lebih-lebih, apabila pihak terkait belum pernah merasakan menjadi anak petani kopi. Anggi Canser

Bagikan Artikel Ini
img-content
Anggi Canser

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler