x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 8 September 2023 08:23 WIB

Fait Accompli di Balik Keputusan Anies Memilih Cak Imin

Setidaknya ada tiga alasan yang dapat dibaca di balik keoutusan Anies Baswedan memiliih Cak Imin. Salah satunya adalah situasi fait accompli yang tidak bisa dihindari Anies. Lho, kok begitu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Langkah Anies Baswedan memilih Cak Imin sebagai bakal calon Wakil Presiden telah memicu kontroversi sekaligus berbagai spekulasi di ruang publik. Reaksi bukan saja datang dari Partai Demokrat, pihak yang paling berkepentingan dalam konteks koalisi dan pra-kandidasi. Tetapi juga dari para simpatisan dan pendukung Anies-KPP yang menganggap pilihan ini potensial menjadi blunder dan bisa merugikan Anies sendiri, meski banyak juga yang mengambil sikap “siapapun wakilnya tidak masalah, yang penting Anies presidennya”. Respon bahkan juga diberikan para pengamat dari ragam spektrum kecenderungan posisi elektoral : simpati, netral dan antipati.

Ada pengamat yang serta merta menilai Anies nir-adab karena secara sepihak menentukan pilihannya sendiri, penilaian ini sama persis dengan sikap Demokrat. Ada yang membacanya dengan pendekatan “politik konspiratif”, bahwa Anies masuk ke dalam jebakan pihak eksternal yang dikendalikan “the mastermind” di panggung belakang elektoral yang sejak awal menghendakinya gagal maju ke arena kontestasi 2024 nanti. Dan ada pula yang melihat pilihan ini sebagai “perjudian elektoral”, langkah spekulatif yang bisa saja menguntungkan dengan sejumlah catatan atau sebaliknya berpotensi merugikan dengan sejumlah catatan.

Tulisan ini mencoba membaca dan memahami mengapa Anies akhirnya memilih Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB sebagai bakal calon pendampingnya, dan Sabtu 2 September lalu sudah dideklarasikan  meriah di Hotel Yamato Surabaya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi fait accompli

Poin pertama yang harus segera dikemukakan adalah bahwa Anies bukan kader partai politik manapun dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Ia hanya seorang warga negara biasa yang memiliki kelebihan komparatif, bernilai secara elektoral, serta dianggap pantas dan layak diberi kesempatan untuk maju ke arena kontestasi elektoral sebagai calon pemimpin bangsa ini.

Dalam posisi bukan sebagai kader, fungsionaris apalagi pimpinan partai politik, maka praktis Anies sejatinya tidak memiliki otoritas kelembagaan untuk mengendalikan sepenuhnya koalisi dimana ia berada. Kesepakatan pimpinan partai anggota koalisi yang secara formal memberikan kewenangan kepada Anies untuk memilih bakal calon Wapres dalam praktiknya tidak bisa dibaca dan dimaknai secara textbook. Karena di belakang Anies ada sosok paling berpengaruh dan memiliki determinasi politik yang tidak mungkin disepelekan Anies. Sosok itu adalah Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, orang pertama yang meminta dan mempromosikan Anies sebagai bakal calon presiden.

Penetapan Cak Imin sebagai bakal pendamping Anies, sebagaimana terkonfirmasi melalui cerita Cak Imin sendiri dalam pidato politiknya pada deklarasi pencalonannya, jelas merupakan inisiasi Surya Paloh. Dalam posisi ini Anies menghadapi situasi fait accompli, kedaan dimana ia harus menerima opsi yang dipilihkan Surya Paloh.

Kalkulasi elektoral

Namun demikian,  dari pidato politik Anies pada saat deklarasi di Hotel Yamato Surabaya dan pernyataan-pernyataannya di media, saya membaca situasi fait accompli itu tampaknya hanya soal teknis yang memang diperlukan bagaimana akhirnya Anies harus menemukan bakal calon pendampingnya. Karena terhadap Cak Imin sebagai figur yang dipilihkan Surya Paloh, Anies sendiri tampaknya merasa ada kecocokan dengan berbagai pertimbangan elektoral yang harus ia kalkulasi betul.

Pertimbangan itu misalnya bahwa Anies tidak populer di kalangan Nahdliyin. Dengan mengambil Cak Imin sebagai pendampingnya tentu dikalkulasi bakal memberikan insentif elektoral. Demikian juga terkait fakta lain bahwa, sebagaimana diungkapkan lembaga-lemabag survei, potensi dukungan suara Anies (juga Nasdem dan PKS) lemah di Jawa Timur dan Jateng, dua provinsi dengan jumlah pemilih paling besar selain Jawa Barat. Lagi-lagi, figur Cak Imin dan PKB dikalkukasi dapat menambal lubang kelemahan elektoral Anies di titik ini.

Pertimbangan elektoral ini juga diungkapkan secara terbuka oleh Surya Paloh. Kepada media ia menjelaskan bahwa dirinya ingin hasil yang optimal dari segala bentuk proses pencalonan, buka cuma mencalonkan, tetapi juga akhir pencalonan. Ringkasnya, Anies harus memenangi kontestasi Pilpres, dan upaya ini tidak mungkin dilakukan dengan hanya mengandalkan figur Anies sendiri. Ia perlu pendamping yang tepat untuk menjemput keberhasilan itu, dan berdasarkan insting politiknya, Surya Paloh melihat pendamping yang tepat itu adalah Muhaimin Iskandar.

Strategi pemenangan

Pasca ditetapkannya Cak Imin sebabai bakal Cawapres Anies, ada satu implikasi elektoral yang tidak dapat dianggap sepele oleh dua kompetitor Anies, meskipun di media misalnya Prabowo-KIM merespon isu ini dengan senyuman, dan Megawati bahkan mengucapkan “selamat” kepada pasangan Anies-Cak Imin. Implikasi itu adalah potensi berkurangnya dukungan dari basis pemilih Nahdliyin, baik kepada Prabowo-KIM maupun kepada Ganjar-PDIP dan kolega-kolega koalisinya.

Saya membaca dan memahami pilihan Anies mengajak Cak Imin keluar dari barisan koalisi pendukung Prabowo dan bertandem dengan dirinya adalah bagian dari strategi pemenangan yang cerdas dan kalkualtif. Karena meskipun figur Cak Imin belum pernah unggul berdasarkan hasil survei, temuan ini tidak bisa menegasikan fakta bahwa Cak Imin adalah salah kader terbaik NU saat ini, dan PKB (terlepas dari garis kebijakan PBNU yang sekarang) sejak kelahirannya dipersiapkan sebagai alat perjuangan politik bagi warga Nahdliyin.

Memilih Cak Imin adalah ikhtiar kongkrit Anies mengajak warga Nahdliyin untuk memenangi kontestasi Pilpres 2024 bersama dirinya dan Cak Imin. Dan implikasi elektoralnya, bukan hanya akan berimbas langsung ke Prabowo dan koalisinya yang ditinggalkan, tetapi juga bisa berimbas ke PDIP yang selama ini menjadi partai dengan raihan suara terbesar dari kalangan Nahdliyin.   

Penulis Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT)

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu