x

Demokrasi dan Elite

Iklan

Rizaldy Rahadian

Mahasiswa Akhir
Bergabung Sejak: 5 Juli 2023

Rabu, 13 September 2023 15:08 WIB

Demokrasi dan Rulling Elite Indonesia

Bangsa Indonesia akan bersiap-siap untuk menghadapi euphoria dalam bernegara, apalagi kalau bukan pesta demokrasi. Pesta di mana kekuasaan secara sah dan bahkan dilindungi undang-undang harus digantikan. Elite-elite yang sekarang kita sering lihat di layar kaca atau media massa, mau tidak mau harus bersedia untuk diambil alih kekuasaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bangsa Indonesia akan bersiap-siap untuk menghadapi euphoria dalam bernegara, apalagi kalau bukan pesta demokrasi. Pesta di mana kekuasaan secara sah dan bahkan dilindungi undang-undang harus digantikan. Elite-elite yang sekarang kita sering lihat di layar kaca atau media massa, mau tidak mau harus bersedia untuk diambil alih kekuasaannya.

Secara ideal dan teorinya memang harus seperti itu. Etika demokrasinya memang harus membatasi kekuasaan seseorang atau golongan tertentu karena kekuasaan tertinggi mutlak di tangan rakyat. Sistem yang hanya dikhususkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Vox populi, vox dei.

Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar adanya seperti itu? Menurut Mahfud MD yang dilansir dari web resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (mkri.id), pada suatu acara peluncuran buku pada tahun 2012 yang lalu, bahwasannya jika dihitung waktu keterlibatan rakyat dalam berdemokrasi, sesungguhnya rakyat hanya memiliki waktu keterlibatan kurang lebih lima menit saja. Lima menit ini waktu yang digunakan rakyat untuk mencoblos di bilik suara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sedangkan orang-orang yang kita pilih itulah nanti yang menikmati kekuasaan selama 5 tahun setelahnya atau kata Mahfud MD sebanyak 41.839 jam plus 55 menit (5 Tahun). Begitu dalam jurang yang memisahkan antara kekuasaan rakyat dengan kekuasaan elite. Kita sebagai rakyat biasa hanya berpesta dengan sisa-sisa remah kue yang sudah habis dibagikan elite kepada kroni-kroninya.

Teori Rulling Elite Anies Baswedan

Sebelum menjadi seorang calon presiden dan mantan gubernur Jakarta seperti sekarang ini, Anies Baswedan dulu dikenal sebagai seorang elit intelektual dengan menjadi rektor termuda di Indonesia dengan usia 38 tahun. Anis baswedan menjadi rector universitas paramadina periode 2007-2015. Hal yang lumrah mengingat ayah Anies Baswedan juga merupakan wakil rektor Universitas Islam Indonesia (UII) sedangkan ibunya, Aliyah, juga merupakan guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Anies Baswedan pernah menuliskan teorinya dalam sebuah surat kabar nasional dengan judul Siapakah Ruling Elite Indonesia? Menurut teori Anies Baswedan tersebut, di antara kaum elite ada golongan yang lebih elite lagi dalam mengontrol elite-elite yang lain. Maka disebutlah ruling elite. Mereka inilah yang menentukan arah kebijakan bangsa dan negara ini. Ruling elite ini ditentukan oleh dua hal pertama bagaiamana recruitment anak-anak muda dan kedua oleh tren utama bangsa.

Dalam teorinya tersebut, Anies Baswedan menjabarkan ada tiga kelompok ruling elite yang pernah menentukan gerak sejarah bangsa ini. Pertama adalah elite intelektual yang mendominasi lingkaran kekuasaan dari  tahun 1945-1960. Mereka ini adalah anak-anak muda yang dapat menyenyam pendidikan di awal periode politik etis Belanda. Tentunya mereka ini bukanlah rakyat biasa karena politik etis dalam bidang edukasi ini, tidak bisa dirasakan oleh segenap elemen masyarakat. Hanya anak-anak yang mempunyai latar belakang keluarga terpandang dari kalangan pribumi.

Mereka ini menjadi aktor penting di awal-awal masa memperjuangkan kemerdekaan dan juga mempertahankan kemerdekaan. Anak-anak muda ini menjadi bagian dari Gerakan melawan kolonialisme di awal abad ke-20. Tidak mengherankan apabila pesona mereka sebagai para founding fathers republik sangat populer karena tidak hanya seorang negarawan tapi juga tokoh intelektual yang mempunyai karya-karya hasil pemikiran mereka sebut saja Soekarno, Sultan Syahrir, M. Hatta, Tan Malaka dan lain sebagainya.

Lalu ruling elit kedua adalah elite militer.  Mereka ini adalah generasi yang tumbuh sebagai akibat dari penjajahan Jepang yang walaupun sangat singkat, tapi oleh Benedict Anderson dalam bukunya Revoloesi Pemoeda disebutkan bahwasannya pada periode inilah karakter nasionalisme kuat dalam bentuk banyaknya laskar-laskar perjuangan. Mereka ini adalah aktor penting dalam mempertahankan kemerdekaan melalui jalur militer khususnya angkatan darat.

Setelah kejatuhan elite intelektual dengan proses Panjang benturan ideologi, elite militer ini menjadi ruling elite yang baru. Berkuasa dari tahun 1960-an sampai dengan 1990-an dengan credo nama yang biasa kita kenal dengan sebutan orde baru. Arah bangsa dan negara ini dibawa dengan gaya yang militeristik sehingga periode ini pada umumnya kita ketahui dalam sejarah menggunakan pendekatan otoritarianisme.

Seperti yang seharusnya, bahwa tidak ada kekuasaan yang mutlak dan abadi dalam suatu negara demokrasi, kekuasaan ruling elite ini pun akhirnya harus menyerah dengan gerak sejarah. Adalah elite aktivis yang menjadi ruling elite ketiga dalam sejarah bangsa ini. Mereka adalah aktivis anak muda yang aktif dalam organisasi internal atau eksternal kampus di decade 1960-an hingga 1990-an. Para pemuda generasi ini sebenarnya punya andil dalam transisi ruling elite kaum intelektual ke kaum militer.

Pada masa ruling elite kaum militer, organisasi pemuda menjadi lahan dalam proses kaderisasi dan rekruitmen calon pemimpin muda. Aktivis-aktivis organisasi ini segera melebarkan pengaruhnya melalui beberapa partai politik, dunia akademis, LSM, pers dan organisasi masyarakat. Para aktivis inilah yang akhirnya menjadi mesin utama gerak arah bangsa setelah dengan heroik menjatuhkan dominasi orde baru dengan turunnya Soeharto dari kursi presiden. Mereka menjadi ruling elite baru pasca reformasi.

Menurut Anies Baswedan, ruling elite dari kalangan aktivis ini hanya sampai 2010-an dan diramalkan yang akan menjadi ruling elite selanjutnya adalah dari kalangan pengusaha atau elite enterprenuer. Hal ini sebenarnya menjadi hal yang tidak terlalu mengejutkan mengingat para pengusaha ini memang sudah menjadi elite semenjak benteng Bastille berhasil direbut oleh rakyat atau kita kenal dengan revolusi Perancis yang mana aktor behind the scene adalah para kaum borjuis (baca: elite pebisnis) pada abad ke-18.

Ramalan dari elite bisnis atau professional bisnis tersebut tidaklah keliru. Penelitian yang dilakukan oleh Fachri Aidulsyah, Defbry Margiansyah, Fuat Edi Kurniawan dan kawan-kawan dengan judul Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia menunjukkan bahwa dari 575 anggota legislative yang berkuasa pada periode 2019-2024, 318 di antaranya merupakan seorang pebisnis atau 5 hingga 6 orang dari 10 orang anggota DPR adalah seorang pebisnis.

Hal tersebut tidak mengherankan apabila beberapa kebijakan atau paket hukum yang dihasilkan oleh DPR memang cenderung pro-pengusaha sebutlah UU Ciptaker yang sangat erat kaitannya dengan pebisnis. Pun juga dengan kecenderungan bahwasannya presiden yang terpilih nanti, “Bijaknya” untuk melanjutkan program pemerintah yang sekarang.

Maka seyogyanya kita mengevaluasi kalimat dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang menjadi semboyan demokrasi, karena kekuasaan rakyat yang hanya 5 menit saja sedangkan yang dipilih berkuasa selama 5 tahun setelahnya. Mungkin kalimat yang tepat adalah dari rakyat, oleh elite, dan untuk ruling elite adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan realita sebenarnya.

Ikuti tulisan menarik Rizaldy Rahadian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB