Judul: Djogdja Gerbang Neraka
Penulis: N. B. Susilo (Wang Xiang Jun)
Tahun Terbit: 2007
Penerbit: Solomon Publisher
Tebal: 157
ISBN: 978-602-8048-06-2
Novel Djogdja Gerbang Neraka karya Wang Xiang Jun alias N. B. Susilo ini unik. Unik karena kisahnya meramu berbagai kepercayaan dari berbagai belahan dunia menjadi satu cerita. Wang Xiang Jun yang lebih akrab dipanggil Cun-Cun ini membuat kisah berbasis kepercayaan Sunda, Yahudi, Kristen, Islam, China dan Jawa. Ceritanya sendiri berpusat di Gunung Merapi dan Jogja.
Uniknya, jalur kisah penggabungan berbagai kepercayaan ini adalah jalur peranakan Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa. Apakah pemilihan jalur Tionghoa ini merupakan kebetulan karena Cun-Cun adalah seorang Tionghoa? Atau pemilihan jalur Tionghoa ini disengaja oleh penulisnya karena ia tahu bahwa ada kecenderungan orang Tionghoa untuk meramu kepercayaan?
Diawali dengan kisah Kerajaan Sunda yang bernama Pakuan Purba, kisahnya berakhir dalam keluarga Tionghoa di Jogja yang terpaksa mengungsi karena Gunung Merapi meletus. Unik? Ya! Kisahnya liar? Ya. Tapi sayang kisahnya kurang masuk akal. Bumbu ilmiahnya kurang menggigit.
Alkisah, Prabu Mundingsari mempunyai anak perempuan cantik jelita bernama Dewi Kandita. Sayangnya, meski cantik jelita, Dewi Kandita tak ingin menikah. Ia hanya peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan olah batin. Ia sama sekali tidak tertarik dengan masalah duniawi. Melalui sebuah intrik salah satu selir Prabu Mundingwangi, Dewi Kandita dan ibunya – Sang Permaesuri terusir dari Kerajaan. Dewi Kandita pun menjelma menjadi Nyai Roro Kidul yang dalam legenda Tiongkok disebut sebagai Dewi Kwan Im.
Selain menjadi Nyai Roro Kidul, Dewi Kandita juga bisa menjelma menjadi Ratna Suwidi yang tinggal di Gunung Kombang di tanah Pasundan. Ratna Suwidi berjanji dengan Putra Raja Pajajaran yang bernama Raden Sesuruh bahwa Ratna Suwidi yang tinggal di Laut Selatan akan membantu Raden Sesuruh jika mengalami kesulitan dalam memerintah Tanah Jawa. Di bagian ini Wang Xiang Jun merangkai dua mitos Jawa Barat menjadi sebuah kisah yang bersambung.
Kisah kemudian berpindah ke Lereng Merapi. Banthe Wittiri yang berasal dari Tiongkok berhasil mengamankan mata tombak yang ternyata adalah tombak milik Mikhael sang malaikat yang menaklukkan Lucifer. Lucifer, atau dalam Islam disebut Dajjal berhasil dikalahkan oleh Mikhael. Namun sayang, saat Lucifer jatuh ke bumi, mata tombak Mikhael masih tertancap di tubuh Lucifer dan ikut terbawa ke bumi. Mata tombak itulah yang ditemukan oleh Banthe Wittiri dan kemudian disimpan di Klenteng Sam Po Kong di Semarang.
Seorang lelaki Tionghoa asal Jogja yang ingin mempunyai anak datang ke Klenteng Sam Po Kong. Lelaki tersebut bernama Tjong Biao. Sebenarnya ia tidak percaya dengan klenik. Tapi apa salahnya mencoba sesuatu karena semua upaya telah dicoba dan belum memberi hasil. Sesampai di Sam Po Kong, ia mendapatkan mata tombak dari pendeta yang ada di sana. Sang Pendeta berpesan supaya mata tombak tersebut disimpan dengan rapi. Tjong Biao adalah orang terpilih untuk merawat mata tombak tersebut. Tjong Biao akan dianugerahi anak lelaki.
Kisah selanjutnya adalah tentang Wang Xiang Jun alias Cun-Cun. Cun-Cun adalah seorang pemuda yang suka menulis. Ia seorang jurnalis. Cun-Cun sedang mengumpulkan bahan-bahan tentang Gunung Merapi. Sebab ada tanda-tanda Merapi akan meletus. Cun-Cun adalah cucu dari Tjong Biao yang menjadi yang terpilih untuk menerima dan merawat tombah Michael.
Cun-Cun secara tidak sengaja menemukan mata tombak yang disimpan oleh kakeknya di gudang bawah tanah. Melalui mata tombak ini Cun-Cun mendapat pengalaman mengunjungi neraka. Ia ditolong oleh Mikhael sehingga bisa selamat keluar dari neraka. Bersamaan dengan keluarnya Cun-Cun dari neraka ia berhasil memeringatkan keluarganya untuk mengungsi karena Meraka akan segera meletus.
Cun-Cun menuliskan panjang lebar pengalamannya mengunjungi neraka. Kisah-kisah sadis penyiksaan di neraka ditulis sangat detail; bahkan dilengkapi dengan gambar-gambar.
Cerita yang ditulis oleh Wang Xiang Jun ini unik, meski sangat sulit diterima akal. Menghubungkan kisah-kisah purba menjadi sebuah kisah yang salih berhubungan memang sangat menarik. Sayangnya Cun-Cun kurang berhasil membumbui ceritanya dengan dalil-dalil ilmiah sehingga ceritanya sulit diterima akal. Padahal banyak cerita-cerita yang ditulis berdasarkan mitos berhasil menjadi sebuah cerita fiksi ilmiah yang memukau. Sebagai seorang berpendidikan teknis, teologi dan hukum mestinya Cun-Cun punya modal pengetahuan yang bisa dipakai untuk memperkuat cerita khayalnya menjadi lebih masuk akal. Sayang hal itu tidak dilakukannya. 780
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.