x

Iklan

Geza Bayu Santoso

Philosophy Student, Faculty of Ushuluddin and Islamic Thought, State Islamic University Sunan Kalijaga Yogyakarta
Bergabung Sejak: 26 April 2023

Senin, 18 September 2023 13:12 WIB

Slow Living Menyimak Akrobat Politik Para Elite

Anak muda hanyalah gulali bagi partai politik, untuk pemanis saja. Jangan hiraukan insinuass bahwa anak muda harus melek politik. Jadi sikapi pemilu dan segala akrobat politik para politisi dengan santai saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mesin politik bergemuruh, suaranya menyala dari pos ronda desa hingga gedung pencakar langit di Ibu Kota. Capres dideklarasikan, politik gimik dipertontonkan, koalisi bermanuver, dan simpati rakyat diperebutkan. Benar-benar kerja politik yang bising dan sangat ramai. Sulit rasanya untuk bisa berpikir jernih, kondisinya memaksa kita untuk masuk ke dalam jurang ambiguitas, berat untuk membedakan mana yang benar dan mana yang kelihatan benar. 

Pemilu 2024 adalah pesta demokrasi yang dipenuhi oleh pemilih muda atau mereka yang usianya dibawah 40 tahun. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipublikasikan KPU mencatat, setidaknya ada 204,8 juta konstituen yang akan berpesta ria, 56% dari jumlah pemilih adalah konstituen golongan muda: generasi z dan generasi millenial. Kondisi ini menjadikan Pemilu 2024 sangat ditentukan oleh suara muda, suara yang selama ini hanya jadi gulali politik dan komoditas pemilu yang seksi.

Lewat media sosial, kita disuguhi akrobat politik para elit, otak-atik koalisi, dan manuver para petinggi. Pasca deklarasi pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar di Surabaya, hiruk-pikuk politik nasional musti akan semakin riuh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lewat tulisan semenjana ini, saya ingin mengajak kawan-kawan pembaca untuk leyeh-leyeh, slow living saja dengan suguhan drama pencalonan, bersikap semenjana, biasa-biasa saja sebagai konstituen.

Tak Harus Melek Politik

Anda tak perlu tahu siapa tokoh di balik tersingkirnya Agus Harimurti Yudhoyono, tak perlu tahu alasan kenapa Surya Paloh memilih Muhaimin Iskandar sebagai cawapres  Anies Baswedan. Sama halnya dengan anda tak perlu tahu diksi adiluhung yang muncul saat musim pemilihan umum, tidak ada urgensi anda untuk memahami diksi-diksi seperti: elektabilitas, koalisi, presidential threshold, meritokrasi, intrik, deadlock, mastermind, stagnasi, dan pilihan kata lainnya.

Karena saya pernah menyesal mendengar himbauan anak muda harus melek politik. Akui saja, anak muda dalam partai politik hanyalah gulali untuk manis-manisan parpol, akal-akalan partai agar konstituen muda memilih benderanya. Anak muda yang ada dalam partai politik tak lebih dari abang-abangan kiri kampus yang paripurna soal ide, tapi mentah perihal daya tawar. Anda tak harus paham paragraf ini, karena tak begitu penting.

Ada banyak hal yang menjadikan kenapa anak muda hanyalah pasar politik. Salah duanya karena anak muda tak pernah solid dan dunia politik yang kelewat kotor. Anak muda yang saat ini masuk dalam parlemen, masih nampak terseok-seok menghadapi hegemoni senior, tertatih-tatih dengan kemelut kepentingan partai. Masih belum nampak cerita anak muda yang solid saat bernegosiasi di meja parlemen. Sekali lagi, anda tak perlu paham paragraf ini.

Politik memang rumit dan kalian tak harus memahaminya, bukan hal wajib yang harus kalian tunaikan sebagai anak muda. Politik itu jahat, kawan bisa jadi musuh, musuh bisa jadi kawan, pengkhianatan ada di segala penjuru. Tak ada yang bisa kalian dapatkan dari praktik politik yang transaksional ini, berharap gagasan dan program dapat terealisasi dengan sempurna? sekali lagi, jangan berharap, tak ada yang bisa kalian harapkan dari praktik demokrasi  yang serba uang.

Kelak jika kalian dapat amplop dari salah satu calon, terdampak serangan fajar dari petahana yang modal politiknya kuat, orang di belakangnya adalah pebisnis batu bara yang kaya, pemilik lahan sawit yang merusak ruang hidup. Alangkah lebih baiknya diterima saja, memang begitulah praktik politik di negara ini. Tidak ada yang bisa diharapkan. Segenap upaya kalian untuk melek politik, akan berujung pada sikap semenjana dalam berdemokrasi.

Semenjana Melihat Politik

Situasi pemilihan akan membawa kita pada jurang ambiguitas, serba abu-abu dan tak seindah baju khusus Ganjar Pranowo yang vertikal hitam putih itu. Atribut yang merepresentasikan sikap berani dalam memilih, tidak abu-abu saat bersikap, berani mengatakan iya atau tidak. Ketegasan memang perlu dalam politik tapi keseimbangan jauh lebih penting dalam praktik demokrasi. Tak bosan saya ingatkan, anda tak perlu paham paragraf ini.

“Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian,” ucap Gus Dur. Guru bangsa satu ini memang agak berbeda, keberpihakan politik dan langkah demokratisnya memang sulit dipahami. Karena jika mudah dipahami, Gus Dur tak akan seperti yang kita kenal modern ini. Dari pernyataan di atas, saya menangkap satu nilai bahwa Gus Dur meilhat politik elektoral dengan biasa-biasa saja, tak perlu ada pertumpahan darah untuk mencapainya.

Gus Dur memang seorang politisi, ia terlibat dalam kerja politik praktis. Namun, saya mengenal beliau sebagai politisi yang negarawan dan negarawan yang politis. Dalam ranah demokrasi, Gus Dur punya satu harapan bernama demokrasi substansial, praktik demokrasi yang berfokus pada kemaslahatan dan keseimbangan, bukan hanya  praktik demokrasi prosedural semata. Sayangnya, praktik demokrasi Indonesia dewasa ini, hanya berfokus pada aspek prosedural dan menegasikan hal substansial. 

Gus Dur memang tak lama menjabat sebagai pemimpin negara, tapi ia punya mata elang untuk melihat demokrasi Indonesia, manuver politiknya memang membingungkan bagi siapapun, bahkan sulit dipahami oleh orang terdekatnya, jadi wajar kalau beliau digadang-gadang sebagai wali ke-10. Perjalanan panjang Gus Dur dalam berpolitik, mewariskan satu sikap yang paling saya kenang, sikap itu adalah sakmadya dalam melihat politik.

Politik boleh bising, tapi kita punya kehendak untuk tidak merisaukannya, mari bersikap secukupnya dalam melihat praktik politik. Saat melihat teman dekat maju pencalegan, pandanglah mereka dengan biasa saja, tak perlu berspekulasi ia akan mengubah Indonesia jauh lebih baik. Mari kita lihat percaturan politik dengan cara Gus Dur, sederhana dan tak berlebihan. Siapapun yang akan memimpin negara ini, tak akan mengubah keadaan bahwa dunia sedang berjalan menuju kehancuran.










Ikuti tulisan menarik Geza Bayu Santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu