Menulis baik fiksi maupun non fiksi butuh penguasaan bahasa sebagai alat utama untuk menyampaikan ide. Karya non fiksi mensyaratkan seseorang untuk menguasai bahasa ilmiah dan lebih mengutamakan kata-kata yang denotatif. Berbeda dengan menulis karya fiksi, untuk menulis karya di genre ini (puisi, cerpen, novel) menuntut kemampuan seseorang untuk menguasa gaya bahasa dan penggunaan kata-kata konotatif.
Di sini penulis akan khusus membahas yang berkeanaan dengan menulis fiksi. Dalam menulis fiksi, imajinasi pengarang menjadi modal yang paling besar. Kemampuan mengembangkan imajinasi inilah yang membuat penulis fiksi harus tajam inderanya dalam mengamati lingkungannya. Ketajaman ini bisa diperoleh dengan banyak membaca, berdiskusi dalam komunitas, serta, jika dimungkinkan, mengelana ke berbagai tempat.
Karya sastra mempunyai tujuan untuk dibaca oleh publik yang luas. Pembaca karya sastra juga mempunyai imajinasi sebagaimana penulis buku yang sedang dibacanya. Hubungan timbal balik inilah yang menjadi tantangan bagi penulis fiksi untuk mengikat imajinasi pembaca agar terkait dengan imajinasinya sehingga pembaca terpancing untuk terus membaca karya yang telah dibuatnya.
Fiksi adalah kebohongan alias rekaan namun, kebohongan dalam naskah fiksi (sastra) berbeda dengan kebohongan dalam naskah non fiksi. Karya non fiksi yang mengandung kebohongan berniat membodohi masyarakat, sedangkan kebohongan dalam karya sastra malah melahirkan dunia ideal yang bisa menjadi cermin kehidupan masyarakat.
Sastra dalam dunia yang direka oleh penulisnya memunculkan harapan terpendam pembacanya akan situasi ideal yang mungkin tidak dialaminya dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dunia ideal yang menjadi utopia manusia mungkin hanya bisa ditemui dalam sastra. Inilah keunikan imajinasi, ia menggugah serta mengeksplorasi dunia yang dibayangkan dan berharap apa yang ada dalam bayangannya ini juga menjadi gambaran dalam imajinasi pembacanya. Terjadi aktivitas saling berinteraksi antara penulis dan pembacanya meskipun pembaca menyadari bahwa yang ia baca adalah rekaan.
Latar belakang yang dimiliki pembaca menjadi titik berat penulis sastra untuk memilih kata-katanya agar imajinasinya bisa terjalin dan terjadi dialog dalam ruang pribadi pembaca. Keindahan atau keunikan berbahasa juga menjadi unsur yang tak bisa diabaikan oleh penulis fiksi karena pembaca fiksi juga butuh hiburan saat membacanya. Membaca karya sastra adalah hiburan tersendiri tentunya, namun ada hal lain lagi yang mesti hadir saat pembaca menyelesaikan bacaanya yaitu nilai atau mungkin juga hadirnya pengetahuan baru sebagaimana pengalaman yang pernah dijalaninya.
Penulis sastra bisa memberikan alternatif baru melalui tokoh rekaannya, setting, maupun alur cerita yang dibangunnya. Mereka mengincar ruang kosong dari pengalaman yang telah dijalani seseorang melalui karya yang dibuatnya. Kemampuan penulis fiksi agar imajinasinya mampu membuat imajinasi pembaca terlibat di dalamnya adalah tantangan terbesar dalam menulis fiksi. Jika imajinasi penulis yang tertuang dalam narasi yang telah ia bangun berhasil maka pembaca pun akan akan menyala imajinasinya.
Ikuti tulisan menarik Agus Buchori lainnya di sini.