x

Montmartre in Bondowoso

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 30 September 2023 06:37 WIB

Montmartre in Bondowoso

Kisah eksil yang ingin kembali tinggal dan hidup di Bondowoso di masa tuanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Montmartre in Bondowoso

Penulis: May Swan

Tahun Terbit: 2011

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Ultimus

Tebal: 210

ISBN: 978-602-8331-38-8

 

“But my soul is here. This is home, for all its failings.”

Kerinduan untuk kembali ke tanah kelahiran adalah sebuah keinginan yang sering dialami oleh mereka yang karena suatu hal harus meninggalkan tanah airnya dan tidak bisa kembali. Kisah yang ditulis oleh May Swan dalam buku ini, sedikit banyak menyinggung soal itu. Tidak langsung memang. Tapi sangat berhubungan.

May Swan menggunakan tokoh Surono, seorang pemuda Jawa dan Lee Lin, perempuan Tionghoa sebagai tokoh utama dalam novel pendek ini. Dengan menggunakan latar sejarah 1965 dan pasca reformasi, May Swan menjalin ceritanya. May Swan meramu cerita untuk menunjukkan bagaimana masyarakat dan individu dipengaruhi oleh politik dengan kisah percintaan yang menarik antara Surono, Lee Lin dan Marjora. Sisipan kisah cinta, keluarga dan perselingkuhan ini membuat novel ini enak untuk dinikmati. Seenak tape singkong Bondowoso yang dikudap bersama segelas kopi.

Surono adalah anak seorang anggota Parlemen dari partai nasionalis di jaman Sukarno. Ayah Surono memutuskan Surono untuk bersekolah di sekolah Tionghoa – Pah Chung, sebuah sekolah setingkat SMA. Surono sangat aktif ikut mencari donasi saat gerakan mengumpulkan dana demi revolusi di Cina daratan sedang marak.

Ketika Sukarno tumbang, dan Suharto mengambil alih kekuasaan, sekolah-sekolah Tionghoa ditutup. Demikian pun dengan Pah Chung. Selepas dari SMA di Pah Chung, Surono dan Lee Lin yang menuntut ilmu di Universitas Jinan. Surono memilih untuk kuliah di Jinan adalah supaya ia bisa bersama Lee Lin, gadis yang dicintainya. Tumbangnya Sukarno membuat Surono dan Lee Lin tidak bisa pulang ke Indonesia. Sebab ayah Surono ditangkap karena dianggap pro Sukarno, serta keluarga Lee Lin mengalami nasip yang sama karena ayahnya adalah pejabat senior di BAPERKI.

Revolusi di Tiongkok menyebabkan Surono dan Lee Lin berupaya meninggalkan negeri tersebut. Akhirnya mereka berhasil untuk pindah ke Paris dan tinggal di Montmartre. Mereka hidup sebagai pasangan yang berbahagia, meski tidak dikaruniai anak. Mereka mempunyai teman-teman asal Indonesia yang sering bertemu.

Peristiwa meninggalnya Sumaja, ketua kelab sosial orang-orang eksil menyebabkan Surono mempertanyakan lagi kehidupannya yang mapan di Paris. Tiba-tiba ia berkeinginan untuk menghabiskan waktu tuanya di kota tempat ia dilahirkan. Bondowoso. Ia ingin kembali hidup sesuai dengan akarnya. Apalagi dia tahu bahwa Rejim Orde Baru sudah tumbang dan kehidupan di Indonesia sudah semakin terbuka.

Ide tersebut serta merta disampaikan kepada Lee Lin. Tentu saja Lee Lin tidak siap.

Surono memutuskan untuk pergi ke Bondowoso untuk menyiapkan kepindahannya ke tanah leluhur. Ia menyaksikan bagaimana anak-anak muda sudah lebih berani untuk menyuarakan demokrasi. Tapi ia juga menemukan bahwa masih ada intel yang berkeliaran.

Surono telah menemukan rumah idaman untuk ditinggali di Bondowoso. Di rumah tersebut - yang ada halaman di bagian depan, Surono berniat membangun perpustakaan pribadi yang menyimpan buku-buku berbahasai Perancir, Cina, Inggris dan Indonesia. Ia membayangkan perpustakaan tersebut dipakai untuk mendiskusikan sastra, membaca puisi bersama dengan teman-temannya.

Dalam kunjungannya ke Bondowoso selama 2 bulan, Surono bertemu dengan Majora, seorang gadis muda yang berprofesi sebagai jurnalis mode. Marjora adalah gadis muda yang bebas dan berkomitmen kepada negara serta kerusakan lingkungan alam. Perjumpaannya yang singkat itu membuat Surono tahun kepada perselingkuhan singkat dengan Marjora. Sejak malam ia tidur dengan Marjora, Surono digalaukan dengan pertanyaan tentang pernikahan, cinta dan seks. Apakah ketiganya sebuah kenyataan yang terpisah?

Benar saja, saat ia akhirnya kembali ke Paris ia gagal mengajak Lee Lin untuk pindah ke Bondowoso. Lee Lin merasa bahwa keputusan untuk pindah ke Bondowoso bukanlah keputusan bersama. Tapi keputusan sepihak Surono. Masalah menjadi semakin rumit karena Lee Lin mengetahui affair Surono dengan Marjora.

Novel pendek karya May Swan ini sangat menarik karena menggambarkan bagaimana situasi politik di Indonesia dan di Tiongkok sangat berpengaruh kepada masyarakat dan individu. Keputusan yang diambil oleh seseorang bisa saja tidak lagi tepat karena situasi politik berubah. Demikianlah para pemuda yang saat itu memutuskan untuk pergi belajar ke luar negeri dengan dukungan Pemerintah Sukarno. Saat Sukarno tumbang, serta merta mereka tidak bisa kembali ke Tanah Air. Mereka dianggap menjadi musuh negara.

Namun saat politik kembali berubah, dimana kesempatan untuk kembali ke negeri asal terbuka, ternyata juga tidak mudah untuk mengambil kesempatan tersebut. Banyak halangan budaya dan sosial yang mereka harus hadapi. Termasuk persoalan cinta.

Seperti halnya Lee Lin yang ragu untuk pulang bersama Surono. Lee Lin lahir di Indonesia, ia besar di Indonesia, menikahi orang Jawa. Tapi ia ragu untuk pulang ke Indonesia karena berbagai hal. Siapa tahu negara yang dicintainya akan mengkhianatinya, seperti halnya Surono yang mengkhianati pernikahannya. 783

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu