x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Selasa, 10 Oktober 2023 07:08 WIB

Meski Mendorong Partisipasi, Politik Uang Tetaplah Kejahatan

Lebih dari sekedar tindak pidana yang lebih bersifat prosedural normatif, praktik politik uang sejatinya juga merupakan kejahatan jika dilihat dari sisi hakikat perilaku dan dampak yang ditimbulkannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tinggal dalam hitungan bulan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) serentak digelar. Sejumlah pengamat dan pegiat kepemiluan mulai gencar menyuarakan early warning perihal salah satu ancaman serius elektoral yang diduga bakal kembali marak, yakni praktik money politic.

 

Money Politik mendorong Partisipasi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peringatan dini ini penting menjadi perhatian semua pihak, khususnya para penegak hukum kepemiluan dan civil society yang aktif mengadvokasi perhelatan elektoral terutama karena ada satu fakta anomali yang memprihatinkan. Bahwa masyarakat cenderung permisif terhadap politik uang.

Simpulan itu antara lain dibuktikan dengan indikator dari temuan sejumlah riset yang menerangkan bahwa money politik telah mendorong peningkatan partisipasi pemilih.

Hasil riset pasca Pemilu 2019 lalu mislanya, Lembaga Survei Indonesia (LS) merilis data sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa. Sementara itu hasil riset kuantitatif yang dilakukan Martinus Laia dkk di FISIP Universitas Sumatera Utara (Jurnal Perspektif, 2021) menyimpukan bahwa pengaruh politik uang terhadap tingkat partisipasi pemilih adalah nyata dan signifikan.

Simpulan riset yang sama juga ditemukan dalam sejumlah Pilkada. Misalnya dalam Pilkada Kabupaten Wajo 2018. Hardianto Hawing dkk (Journal of Social Politics and Governance, 2020) menyimpulkan bahwa variabel politik uang berpengaruh sebesar 53% terhadap tingkat partisiapsi politik.

Lantas, apakah dengan demikian politik uang bisa ditoleransi karena ia dapat mendorong para pemilih untuk datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya ?

 
Meluruskan pemahaman

Dalam salah satu bukunya, Mada Sukmajati dan Edward Aspinall (2015) mendefinisikan politik uang sebagai pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti proyek atau penyediaan pekerjaan) yang didistribusikan oleh politisi termasuk di dalamnya keuntungan yang ditujukan untuk individu (misalnya amplop berisi uang tunai) dan kepada kelompok masyarakat (misalnya lapangan sepak bola untuk pemuda). 

Tujuan pemberian uang dan/atau berbagai materi itu adalah untuk memengaruhi pilihan sikap para pihak penerima agar sesuai dengan kepentingannya, dan tentu saja menguntungkan si pemberi secara elektoral.

Definisi yang digunakan dan tujuan politik uang yang dikemukakan di atas sengaja dinarasikan lebih umum agar frasa money politic ini difahami lebih utuh dan menyeluruh sesuai fakta-fakta fenomenologis yang terjadi.

Dalam kerangka normatif, pengaturan dan larangan politik uang secara utuh di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tertuang pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 tentang Pemilihan Umum.

Sebagaimana kita tahu, sejauh ini pemahaman publik mengenai politik uang cenderung hanya fokus pada transaksi-transaksi yang terbatas.

Dari sisi materi misalnya, politik uang kerap dipersepsi hanya merujuk secara terbatas pada materi berupa uang. Padahal dalam norma perundangan terkait politik uang di dalam UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, frasa lengkapnya ditulis “…menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya…”. Norma ini tertuang antara lain dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j, Pasal 284 dan beberapa pasal terkait politik uang dalam Buku Kelima Tindak Pidana Pemilu.

Kemudian dari sisi waktu peristiwa, transaksi politik uang kerap difahami hanya yang terjadi pada saat menjelang pemungutan suara. Dari sini kemudian muncul istilah populer “serangan fajar”. Padahal dalam UU 7 Tahun 2017 transaksi politik uang dengan pengertian sebagaimana diulas diatas juga bisa terjadi pada momen lain, mislanya saat proses pra-kandidasi (Pasal 519 terkait pra-pencalonan DPD) dan masa kampanye (Pasal 523 ayat 1, 2, dan ayat 3).

Sementara itu berkenaan dengan pihak penerima dalam konteks politik uang ini, publik cenderung hanya mengarahkan persepsi pada pemilih. Padahal transaksi-transaksi money politic juga bisa melibatkan penyelenggara (KPU dan Bawaslu serta jajarannya hingga ke badan adhoc di Kecamatan dan Desa/Kelurahan) sebagai pihak penerima. Target pemberi adalah memengaruhi penyelenggara agar membuat keputusan atau mengambil kebijakan yang menguntungkan si pemberi secara elektoral.

 

Hakikat dan Dampak 

Beralas ulasan diatas jelas, bahwa money politic termasuk dalam kategori tindak pidana Pemilu yang diatur di dalam UU 7 Tahun 2017. Maka sanksi terhadap para pelaku politik uang, selain sanksi administratif pembatalan pencalonan juga sanksi pidana. Pemberi dan penerima diancam dengan kurungan pidana dan/atau denda.

Pasal 286 ayat (4) UU 7 Tahun 2017 tegas menyatakan, bahwa sanksi administratif (berupa pembatalan pencalonan) terhadap tindakan politik uang yang dilakukan oleh Paslon Capres-Cawapres, Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD tidak menggugurkan sanksi pidana.

Lebih dari sekedar tindak pidana yang lebih bersifat prosedural normatif, praktik politik uang sejatinya juga merupakan kejahatan jika dilihat dari sisi hakikat perilaku dan dampak yang ditimbulkannya.

Politik uang pada hakikatnya adalah tindakan penyuapan, jual-beli suara untuk memenangi kontestasi memperebutkan kekuasaan. Dalam kaidah Islam misalnya, semua tindakan suap-menyuap tidak dapat dibenarkan, haram hukumnya. Saya yakin, dalam ajaran agama manapun, praktik suap-menyuap adalah perilaku jahat yang tidak dapat dibenarkan.

Sebuah hadits diriwayatkan Imam Thabrani mengingatkan bahwa “Penyuap dan orang yang disuap tempatnya di dalam neraka.” Dalam hadits lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Tsauban dinyatakan, bahwa “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap, dan juga orang yang menjadi perantara di antara keduanya.”

Dalam spririt yang setara, demokrasi yang menjadi dasar pijak di atas mana Pemilu diselenggarakan juga memiliki nilai-niali luhur yang wajib dijunjung tinggi. Kesetaraan perlakuan, kejujuran bersikap, keadilan dan tunduk patuh pada aturan hukum mislanya, jelas merupakan nilai-nilai luhur demokrasi yang ditabrak oleh para pelaku money politic.

Terakhir, selain secara hakikiyah merupakan kejahatan, money politic juga potensial melahirkan berbagai dampak buruk di kemudian hari. Korupsi dan bentuk-bentuk abuse of power lainnya oleh para pemimpin atau pejabat terpilih pelaku money politic pasca mereka dilantik karena didesak oleh kebutuhan mengembalikan modal segera adalah salah satu contoh masif yang sudah sering kita saksikan.   

Jadi, meski berpengaruh “positif” terhadap peningkatan partisipasi pemilih dalam Pemilu, money politic tetap saja merupakan kejahatan !

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler