x

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Minggu, 15 Oktober 2023 08:36 WIB

Mahkamah Konstitusi Terancam Kehilangan Marwah Pelindung Konstitusi

Mahkamah Konstitusi segera membacakan putusan atas permohonan mengenai batas minimal umur capres dan cawapres. Banyak orang berharap putusan MK mencerminkan posisi kelembagaannya sebagai the guardian of constitution, penjaga dan pelindung konstitusi, bukan yang lain. Tapi banyak yang pesimis!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah publik menunggu agak lama, Senin 16 Oktober mendatang kabarnya Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan atas permohonan sejumlah pihak mengenai batas minimal umur capres dan cawapres.

Pertaruhan wibawa Mahkamah

Terlepas dari perkara materi permohonannya, banyak orang berharap putusan Mahkamah mencerminkan posisi kelembagaannya sebagai the guardian of constitution, penjaga dan pelindung konstitusi, bukan yang lain. Selain itu, putusan juga diharapkan bisa memberi insentif terhadap penguatan demokrasi sekaligus penguatan prinsip-prinsip etik dalam praktik kepolitikan nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi sebagaimana yang dapat dibaca dari banyak isyarat dan fakta-fakta sosiopolitik yang berkembang di seputar munculnya permohonan judicial review ini, perkara batas minimal usia capres-cawapres ini diduga kuat berkenaan dengan kepentingan kandidasi sosok anak muda. Ia baru 36 tahun, belum tuntas menjalankan tugasnya sebagai walikota, tetapi ia anak presiden.

Publik khawatir putusan mahkamah nanti lebih menunjukkan pembelaannya pada kepentingan politik sesaat. Juga membela kepentingan aktor-aktor politik yang sedang memainkan jurus-jurus akrobatik melanggengkan kekuasaan melaui jalur cepat politik dinasti dan/atau memuluskan jalan menuju istana di 2024.

Jika putusan serupa itu yang diambil, MK nampaknya bakal kehilangan marwah dan wibawa. MK bukan lagi penjaga dan pelindung konstitusi. Ia hanya merupakan penjaga dan pelindung kepentingan dan ambisi pribadi-pribadi.  

Siapa berkepentingan, siapa ambisius ?

Lantas, siapa yang berkepentingan membuka jalan bagi anak muda tadi untuk bisa menjadi Cawapres? Ohya lupa belum disebut. Anak muda itu adalah Gibran Rakabuming. Figur yang kabarnya amat santun, dan sebelumnya tidak menunjukan tanda-tanda sebagai seorang yang ambisius secara politik.

Berdasarkan tanda-tanda yang bisa dibaca dan indikasi-indikasi yang dapat dicermati, yang paling berkepentingan adalah Prabowo, diikuti oleh orang-orang di sekitarnya yang sedang berebut potensi-potensi cipratan kekuasaan. Publik yang literate secara politik tahu belaka soal ini.

Prabowo berkepentingan dengan sosok Gibran. Dari pergerakan dan pernyataan-pernyataannya sejauh ini ia menginginkan Gibran menjadi pendampingnya pada kontestasi Pilpres 2024 karena satu alasan yang masuk rasional. Bahwa Gibran adalah simpul dimana suara-suara pendukung fanatik Jokowi diperkirakan bakal terkonsolidasi dan dengan demikian mudah dimobilisasi.

Dengan memilih Gibran sebagai pendampingnya, Prabowo nampaknya yakin bakal meraih insentif besar elektoral. Itu sebabnya mengapa hingga hari ini Prabowo-KIM belum memutuskan siapa bakal Cawapres dari poros koalisinya. Meski stok yang tersedia untuk menjadi bakal Cawapres di koalisinya lebih dari cukup.

Kepastian siapa yang bakal menjadi pendampingnya clear sudah: menunggu putusan MK yang diduga bakal mengabulkan gugatan judicial review para pemohon yang, sebagian di antaranya adalah juga kader-kader Gerindra.

Kemudian siapa pula yang ambisius melanggengkan kekuasaan di satu sisi untuk diri dan keluarganya, sekaligus memuluskan jalan menuju istana di sisi lain untuk orang lain dan gerbongnya?

Meski saya sendiri berusaha keras untuk tidak percaya, dugaan spekulatif ini jelas mengarah pada Jokowi berdasarkan serangkaian indikasi yang dapat dicermati sepanjang tahun politik dan menjelang perhelatan Pemilu yang makin dekat.

Mulai dari wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden-Wapres di fase-fase awal tahapan Pemilu akan dimulai dulu. Kemudian isu cawe-cawe yang diakuinya sendiri meski diklaim punya alasan untuk kebaikan keberlanjutan program pemerintah. Hingga ke sulitnya Prabowo dan poros koalisinya menentukan bakal Cawapres, dan terakhir lompatan kilat Kaesang menjadi Ketua Umum PSI. 

 

“Kerjasama Politik” Jokowi-Prabowo

Analisis dan simpulan-simpulan spekulatif bahwa Jokowi sedang berusaha melanggengkan kekuasaan, atau setidaknya pengaruh determinan atas kekuasaan pasca dirinya pensiun nanti, tidak hanya menjadi perbincangan para pengamat dan analis lokal. Tetapi juga menjadi perhatian banyak media asing.

Sekedar menyebut beberapa contoh. Dalam artikel berjudul “Son of Indonesian President Takes Helm of Youth-Oriented Political Party” misalnya. Situs berita The Diplomat menulis kemunculan Kaesang sebagai Ketua PSI mencerminkan pola dinasti politik yang sudah lama menggejala dalam kepolitikan Indonesia mutakhir.

Kemudian Reuters, media top berbasis di Inggris, menulis di bawah judul artikel “Indonesian president's son named youth party chair”, bahwa pengangkatan Kaesang menjadi Ketua PSI merupakan bentuk manuver politik Jokowi untuk memastikan kekuasaannya dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Secara politik fakta ini telah menimbulkan keheranan di negara yang baru 25 tahun lalu melepaskan diri dari pemerintahan otoriter.

Sementara Time, majalah mingguan berbasis di Amerika Serikat melihat fenomena naiknya Kaesang menjadi Ketum PSI dan manuver-manuver Jokowi sejauh ini mencerminkan tren penurunan demokrasi yang lebih luas di Indonesia, it reflects an exacerbation of a broader trend of democratic decline in Indonesia.

Beberapa pandangan dan analis tersebut mungkin saja subyektif, overthinking, terlampau paranoid, dan tidak sepenuhnya menggambarkan fakta-fakta yang sebenarnya. Tetapi isyarat dan indikasi-indikasi yang dapat dibaca dan dicermati sukar dipungkiri. Bahwa Jokowi nampaknya memang sedang berusaha melanggengkan pengaruh politiknya. Dan upaya ini dilakukan dengan cara membangun “kerjasama politik” yang saling menguntungkan bersama Prabowo.

Prabowo sedang berupaya memuluskan jalan menuju istana di 2024 melalui Gibran. Sedangkan Jokowi berusaha melanggengkan pengaruh kekuasaan yang sekaligus potensial akan menjadi fondasi awal bangunan dinasti politik dari strategi Prabowo.

Dan kunci terakhir (sebelum pendaftaran Capres-Cawapres dimjulai 19 Oktober nanti) yang bakal sangat menentukan sukses-tidaknya “kerjasama politik” itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi Senin mendatang.

Jika dugaan sejumlah pengamat, bahwa putusan Mahkamah itu bakal mengabulkan permohonan para pemohon sahih dan terkonfirmasi Senin mendatang,  demokrasi Indonesia nampaknya memang sedang tidak baik-baik saja, dan bakal mengalami penurunan kualitas di kemudian hari.

Semoga saja terawangan para pengamat itu keliru !

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini