x

Etnis Tionghoa Dalam Novel-Novel Indonesia Pasca Tragedi 1998

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 17 Oktober 2023 07:43 WIB

Etnis Tionghoa Dalam Novel-Novel Indonesia Pasca Tragedi 1998

Kerusuhan 1998 yang membawa banyak korban bagi orang Tionghoa membuat mereka mempertanyakan kembali siapa dirinya. Apalagi kerusuhan tersebut diikuti tumbangnya rezim yang sangat represif bagi etnis Tionghoa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Etnis Tionghoa Dalam Novel-Novel Pasca Tragedi 1998

Penulis: Fatchul Mu’in

Tahun Terbit: 2022

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Amerta Media

Tebal: x + 235

ISBN: 978-623-419-109-5

Peristiwa kerusuhan tahun 1998 yang membawa banyak korban bagi orang Tionghoa adalah sebuah peristiwa yang membuat orang Tionghoa mempertanyakan kembali siapa dirinya. Apalagi kerusuhan tersebut diikuti dengan tumbangnya rezim yang sangat represif bagi etnis Tionghoa. Tragedi tersebut bagai peristiwa kelahiran. Kesakitan yang luar biasa yang diikuti oleh lahirnya jaman baru yang membuat etnis Tionghoa harus mendifisisikan ulang pijakan politis, sosial dan budaya.

Salah satu dokumentasi tentang bagaimana orang-orang Tionghoa mempertanyakan siapa dirinya adalah yang tertulis di karya-karya fiksi yang terbit setelah peristiwa kerusuhan tersebut. Ada ratusan novel dan cerpen yang mengabadikan perasaan, pergumulan dan picarian jati diri orang-orang Tionghoa setelah 1998 sampai kini. Novel-novel tersebut ada yang mencatat peristiwa-peristiwa kekerasan, perundungan dan perkosaan orang-orang Tionghoa. Ada yang mempertanyakan kembali akar mereka, mengais-kais budaya leluhur yang sudah luntur karena generasi orangtua mereka takut untuk mewariskannya kepada anak cucunya. Ada juga yang mereposisikan diri secara sosial dan politik hubungannya dengan etnis lain dan dengan negara.

Fatchul Mu’in dalam buku ini meneliti tentang perilaku budaya etnis Tionghoa dalam novel-novel yang terbit pasca tragedi 1998. Fatchul Mu’in menempatkan etnis Tionghoa sebagai etnis yang tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia. Dengan mengkaji 5 judul novel yang berhubungan dengan peristiwa 1998, Fatchul Mu’in menganalisis perilaku budaya, sosial dan religi orang Tionghoa yang digambarkan dalam novel-novel yang terbit pasca tragedi 1998. Kelima novel tersebut adalah: 1. Miss Lu karya Naning Pranoto (2003), 2. Pecinan karya Ratna Indraswari Ibrahim (2011), 3. Putri Cina karangan Sindhunata (2007), 4. Dim Sum Terakhir karya Clara Ng (2012), dan 5. Bonsai karya Pralampita Lembah Mata (2011). Salah satu alasan pemilihan kelima novel tersebut adalah untuk memberi keseimbangan dari sisi penulis. Miss Lu dan Pecinan ditulis oleh pengarang non-Tiongha, sementara tiga novel lainnya ditulis oleh pengarang Tionghoa.

Fatchul Mu’in menemukan beberapa fakta yang menarik dari penelitiannya terhadap 5 novel tersebut. Tentang etos kerja, ia menyimpulkan bahwa orang Tionghoa tetap digambarkan sebagai orang yang bersungguh-sungguh terhadap pekerjaannya, tekun, kerja keras dan pantang menyerah. Dari sisi kebanggaan, kelima novel ini menunjukkan bahwa orang Tionghoa bangga akan marga, etnis, tanah leluhur, budaya leluhur dan nenek moyangnya yang menjadi pahlawan. Dari sisi pengamlilan keputusan orang Tionghoa digambarkan sangat tergantung dari situasi politik. Orang Tionghoa digambarkan sebagai orang yang kreatif dalam berkarya. Sedangkan tentang pembauran, ada dua pandangan; yaitu yang menerima pembauran melalui perkawinan dan ada yang tidak setuju. Orang Tionghoa digambarkan sebagai orang yang merasa lebih unggul dari etnis lain.

Menarik untuk mengetahui bahwa etnis Tionghoa yang digambarkan dalam kelima novel tersebut ternyata beragam dalam hal sosial dan politik. Meski pada umumnya bersikat apolitik, tetapi secara sosial ada yang sudah berbaur dengan budaya lokal, ada yang berpihak kepada yang menguntungkannya. Sedangkan sikapnya kepada negara digambarkan sebagai cinta sekaligus benci. Dalam keterlibatan di politik praktis, ada orang Tionghoa yang digambarkan terlibat langsung, ada juga yang masih alergi terhadap politik praktis.

Facthul Mu’in juga melakukan analisis terhadap hubungan antar orang Tionghoa. Pada umumnya kelima novel masih menggambarkan kecenderungan untuk memilih jodoh diantara sesama mereka. Perempuan masih ditempatkan sebagai subordinasi lelaki. Dalam hal solidaritas antar orang Tionghoa dan dalam berbisnis, digambarkan upaya untuk saling membantu sesama Tionghoa sangat tinggi.

Apa yang disajikan oleh Facthul Mu’in ini murni diambil dari teks yang muncul dalam kelima novel yang dianalisisnya. Ia tidak memisahkan mana-mana yang merupakan representasi perilaku setelah tragedi 1998 dan sebelum tragedi 1998. Sebab tujuan analisis memang bukan untuk mengetahui perubahan perilaku etnis Tionghoa.

Sebenarnya sangat menarik untuk melanjutkan kepada perubahan perilaku etnis Tionghoa pasca tragedi 1998. Sebab cukup tersedia karya sastra/fiksi yang bisa menggambarkan perubahan tersebut. Tentang tokoh Lu tua misalnya, jelas tokoh tersebut mewakili perilaku orang Tionghoa sebelum tragedi 1965 dan masa Orde Baru. Sedangkan tokoh Lu muda mewakili pandangan/perilaku etnis Tionghoa pasca tragedi. Demikian pun dengan data-data yang diambil dari novel Putri Cina. Ada perilaku dan pandangan yang mewakili pra tragedi dan pasca tragedi.Sebab Novel Putri Cina menggambarkan orang Tiongha sejak jaman Majapahit sampai dengan masa Reformasi.

Pemisahan perilaku sebelum dan sesudah tragedi 1998 akan memberi gambaran sejauhmana perubahan orang Tionghoa mendefinisikan dirinya setelah tragedi besar yang menghantam mereka dan langit cerah Reformasi yang memberi ruang dan peluang bagi mereka untuk menjadi Indonesia. Pemilihan/penambahan jumlah novel yang dianalisis akan bisa memberikan informasi yang cukup untuk memisahkan pandangan yang mungkin tetap, berevolusi atau bahkan berubah sama sekali.

Namun bagaimanapun analisis tentang perilaku orang Tionghoa pasca tragedi 1998 ini sangat penting sebagai bahan untuk bercermin, baik bagi orang Tionghoa maumun non-Tionghoa. Pemahaman akan perilaku ini bisa membantu semua pihak untuk memecahkan masalah Tionghoa. Era Reformasi telah membuka peluang yang besar bagi bangsa ini untuk menerima sepenuhnya etnis Tionghoa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia. 789

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler