x

Potret malam dan hujan

Iklan

Muftiya Ridha Izzati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Oktober 2023

Rabu, 18 Oktober 2023 08:30 WIB

Tengah Malam

Aku  bisa menyimpan rahasia ini selamanya, tapi suatu hari pasti kebenaran akan runtuh seperti gelombang pasang, menenggelamkan kami berdua dalam gelombang yang mengerikan. Namun untuk saat ini, aku harus tetap mengemudi, terus bergerak maju, menjauhi masa lalu yang menghantui kami.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hujan yang sekarang turun deras seperti badai mungkin bisa menghapus dosa-dosamu jika membiarkan tubuhmu diam dibawahnya, saat ini aku duduk di belakang kemudi mobil tua yang suara mesinnya menggeram seperti hewan buas terkurung, hujan mengguyur atap mobil menimbulkan irama mantap menyamai debaran di dadaku. Sedangkan putriku, Anne duduk di kursi penumpang dengan hidungnya tengah tenggelam di dalam buku yang sedang dibacanya, belum menyadari kegelapan yang menyelimuti perjalanan kami.

Aku sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk merencanakan perjalan ini, menunggu saat yang tepat, dan kesempatan yang tepat. Saat dimana dia tidak akan dirindukan, saat ketidakhadirannya bisa dijelaskan. Dan malam ini, di bawah naungan hujan deras kesempatan itu datang.

Anne mendongak dari bukunya, matanya melebar dan penasaran. “Bu, kenapa kita bepergian ketika cuaca seperti ini? Di luar sana menakutkan.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku melontarkan senyuman kepadanya, senyuman lemah yang hampir tidak mencapai sudut bibirku. "Jangan khawatir, hujannya tidak berbahaya dan kita akan baik-baik saja."

Rasa bersalah menggerogotiku seperti tikus kelaparan, aku tidak bisa membiarkan dia ketakutan. Dia tidak boleh mengetahui kebenaran tentang ayahnya, tentang ayahnya yang menjadi monster. Dia tidak boleh tahu semua tentang kejadian di setiap larut malam, kemarahan yang mengamuk, memar yang tersembunyi di balik kemeja lengan panjang dan riasan. Dia tidak boleh tahu tentang konfrontasi kami terakhir, yang membuat ayahnya tergeletak tak bernyawa di lantai ruang tamu kami.

Aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya padanya. Sebaliknya, aku mengarang cerita tentang perjalanan wisata serta kesempatan bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama lebih banyak dan hanya berdua, kebohongan ini kemudian mengakar dalam pikiran polosnya.

Saat kami berkendara semakin larut malam, hujan tampak semakin deras seolah-olah langit sendiri sedang berusaha menghapus kegelapan yang menyelimuti perjalanan kami. Jalan terbentang di depan berkelok-kelok dan berbahaya, Hal ini membuatku harus berhati-hati mengemudi mobil ini. Sekilas aku melirik ke kaca spion, di mana bagasi mobil terlihat dalam kegelapan tersembunyi dari pandangan, dan tersimpan rahasia yang tidak akan pernah bisa kubagikan kepada putriku.

Aku  bisa menyimpan rahasia ini selamanya, tapi suatu hari pasti kebenaran akan runtuh seperti gelombang pasang, menenggelamkan kami berdua dalam gelombang yang mengerikan. Namun untuk saat ini, aku harus tetap mengemudi, terus bergerak maju, menjauhi masa lalu yang menghantui kami.

Suara Anne menerobos lamunanku yang memperhatikan seberkas cahaya terlihat samar di kegelapan. "Bu, bisakah kita berhenti untuk membeli makanan?"

Aku tersenyum,. "Tentu saja."

Aku bersyukur karena cahaya yang terlihat adalah restoran kecil di pinggir jalan, segera aku mengalihkan kemudi menuju parkiran restoran.

Saat Anne masuk ke restoran, tawanya memenuhi udara, aku tahu bahwa aku hanya punya waktu ini untuk segera bertindak. Hujan menutupi gerakanku saat keluar dari mobil dan berjalan menuju bagasi. 

Dengan tangan gemetar aku memutar kunci bagasi dan membukanya. Bau kematian menusuk perutku seperti pukulan ke perut, tapi aku tidak bisa menjadi lemah sekarang.

Mayatnya tergeletak di sana terbungkus terpal, aku menarik napas dalam-dalam menguatkan diri untuk apa yang harus kulakukan. Dengan sekuat tenaga yang bisa dikumpulkan, aku mulai menyeretnya keluar dari bagasi, hujan membuat terpal licin dan berat.

Dia berat, jauh lebih berat dari yang kukira. Seolah-olah beban dosanya telah menjadi beban fisik yang harus ditanggung. Dengan setiap langkah, aku bisa merasakan otot-ototku menegang, jantungku berdebar kencang.

Aku melihat sekeliling,  menatap dengan gugup ke segala arah. Jendela restoran itu berkabut karena hujan, dan beberapa orang di dalamnya terlalu sibuk dengan kehidupan mereka sendiri sehingga tidak akan menyadari seorang wanita putus asa sedang menyeret sesosok tubuh melewati hujan lebat.

Begitu sampai di tempat sampah di pinggir tempat parkir, tempat itu kosong dan menunggu seperti perut lapar untuk menelan rahasiaku yang mengerikan. Dengan hentakan terakhir yang putus asa aku mendorong tubuh itu ke dalam kegelapan, terpal terjatuh dan menghilang dari pandangan.

Sejenak aku berdiri di sana terengah-engah, hujan mengguyurku seakan berusaha menyucikanku dari dosa-dosa. Namun tidak ada penebusan atas apa yang telah kulakukan, yang ada hanyalah pelukan badai yang dingin dan tidak berperasaan.

Aku membanting tempat sampah hingga tertutup dan menguncinya, seolah itu akan menutup kegelapan selamanya. Tapi aku tahu itu tidak akan terjadi. Masa lalu akan selalu ada, mengintai dalam bayang-bayang, siap muncul kembali di saat yang tidak kita duga.

Menyeka air hujan dari wajahku dan memaksakan senyum, aku berjalan kembali ke restoran untuk bergabung dengan Anne. Hujan yang terus turun mengingatkanku akan dunia yang baru saja ditinggalkan, tapi untuk saat ini putriku selamat dan itu yang terpenting.

Pelayannya, seorang wanita paruh baya dengan mata lelah dan label nama bertuliskan "Berta" berjalan ke mejaku. Alisnya yang setipis pensil terangkat saat dia melihat penampilanku yang acak-acakan. Aku tahu aku terlihat berantakan, tapi itu hanya kekhawatiranku yang paling kecil malam ini.

"Bisa disebutkan pesananmu?" dia bertanya, suaranya sama lelahnya dengan matanya.

Aku berusaha menjaga suaraku tetap stabil, meskipun sarafku melemah seperti tali yang terkoyak. "Dua creamy tortellini soup, dan dua coklat hangat."

Berta menuliskan pesanan itu di buku catatannya dan mengangguk. "Segera datang."

Saat dia berjalan pergi, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk di kepalaku. Anne duduk di hadapanku, matanya yang lebar menatap ke luar jendela yang diguyur hujan, tidak menyadari kekacauan yang telah membawa kami ke sini.

Jari-jariku mengetuk-ngetuk meja dengan gugup. Ingatan beberapa menit yang lalu masih terpatri di benakku seperti bekas luka yang tak kunjung sembuh. Aku tidak bisa memikirkan apa yang perlu dilakukan selanjutnya.

Berta kembali membawa makanan kami, meletakkan creamy tortellini soup dan coklat hangat di hadapan kami. Uap yang mengepul dari soup hangat bercampur dengan aroma manis coklat, menciptakan aroma lezat  yang melayang di udara.

Aku memperhatikan Anne saat dia mengambil sendok dan menyuapkan soup dengan hati-hati ke dalam mulutnya. Matanya berbinar, dan senyuman kecil terlihat di wajahnya. Itu adalah tindakan yang sederhana, tetapi pada saat itu  adalah segalanya yang menghangatkan hatiku.

Aku memaksakan diri untuk makan juga, meski perutku terasa seperti rasa bersalah dan takut.

Hujan terus mengguyur di luar, hiruk-pikuk yang tak henti-hentinya terdengar di jendela. Anne berceloteh tentang sekolah, teman-temannya, dan semua hal yang memenuhi pikiran seorang anak lugu. Aku mendengarkan, hatiku terasa berat karena beban atas apa yang baru saja kulakukan.

Mau tak mau aku melirik ke luar jendela dari waktu ke waktu, mataku tertuju ke sampah tempat aku membuang mayatnya. Truk sampah telah tiba, lampu merahnya menyala di malam yang suram. Orang-orang yang mengenakan rompi neon dan sarung tangan tebal bergerak dengan sangat efisien, mendorong tempat sampah menuju mobil penghancur yang sudah menunggu.

Jantungku berdebar kencang saat aku memperhatikan mereka, nafas tercekat di tenggorokan. Mereka sepertinya tidak menyadari rahasia yang tersembunyi di dalam kungkungan logam tempat sampah itu. Bagi mereka, itu hanyalah malam kerja seperti biasanya.

Mesin penghancur itu menjadi hidup dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga, menelan isi tempat sampah dengan rasa lapar mekanis. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku saat membayangkan tubuh yang terbungkus terpal itu hancur dan terkoyak, menjadi bagian sampah yang tidak bisa dibedakan.

Tawa Anne memenuhi udara sekali lagi, menerobos kegelapan pikiranku. Dia begitu polos, begitu tidak sadar akan kengerian dunia. Aku memaksakan senyum, mencoba menghilangkan gambaran itu dari pikiranku.

Saat Anne dan aku selesai makan, hujan masih terus menyerang dunia luar tanpa henti, momen keakraban yang tak terduga menembus ketegangan di udara. Mata Anne membelalak saat dia melihat seseorang di restoran. Dia menjatuhkan serbetnya ke atas meja dan berseru, "Bu, lihat! Itu Sarah!"

Jantungku berdetak kencang saat aku menoleh untuk melihat Sarah, salah satu teman sekelas Anne, duduk di meja terdekat bersama keluarganya. Sarah adalah gadis manis dengan rambut yang selalu dikuncir dan selalu tersenyum cerah, seseorang yang sering dibicarakan Anne sepulang sekolah.

Tanpa menunggu jawabanku, Anne melompat dari kursinya, tubuhnya yang kecil melesat melintasi restoran. Aku melihatnya pergi, rasa takut  bercampur aduk dalam diriku.

Orang tua Sarah tampak terkejut namun ramah saat Anne mendekati meja mereka, Anne bertukar beberapa kata dengan mereka. Rasa takut semakin menggerogoti dan membuatku bertanya-tanya apakah dia akan menyebutkan perjalanan kami atau bercerita tentang ayahnya.

Namun kemudian orang tua Sarah tersenyum hangat dan mengangguk saat Sarah tampak bersemangat untuk memperkenalkan temannya kepada orang tuanya.

"Bu, Ayah, ini Anne!" seru Sarah. “Dia teman sekolahku, dan asyiknya lagi kami satu kelas!”

Jantungku masih berdebar kencang, semakin ku pertajam telingaku agar tetap mendengarkan percakapan mereka. "Halo Anne, Senang bertemu denganmu," sapa ibu Sarah sambil berjabat tangan hangat.

Anne berseri-seri, dan sesaat kegelapan yang menyelimutiku seakan menghilang. Saat kedua gadis itu mengobrol dan tertawa bersama, mau tak mau aku merasakan secercah harapan. Berharap agar kami bisa meninggalkan mimpi buruk ini dan memulai sesuatu yang baru. Namun untuk saat ini, aku harus menikmati momen kecil dalam keadaan normal, memberi jeda singkat dari bayang-bayang yang melekat dalam hidup kami.

***

Ikuti tulisan menarik Muftiya Ridha Izzati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler