x

Sri Sultan

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 7 Desember 2023 06:32 WIB

Asal Mula Yogyakarta Menjadi Daerah Istimewa

Tanpa pemahaman konstitusi dan sejarah yang cukup, Ade Armando mengatakan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah politik dinasti yang sesungguhnya. Ia pun kebanjiran kecaman. Dari manakah asal-muasal keistimewaan Yogyakarta?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berkomentar itu sah-sah saja, tapi harus memahami topik yang akan dikomentari terlebih dahulu. Begitulah pesan yang disampaikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, ketika menanggapi komentar dari politisi dan calon legislatif (Caleg) DPR RI dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando (Warta Kota, 4/12/2023).

Pada kesempatan sebelumnya, Ade menyampaikan kritik kepada para mahasiswa, khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menggelar aksi protes terkait politik dinasti (DetikNews, 3/12/2023). Ade menyebut BEM UI dan BEM UGM sebagai aksi ironi, karena digelar di wilayah DIY yang menurutnya adalah wilayah yang sebetulnya mempraktikkan politik dinasti lantaran gubernurnya tidak dipilih melalui pemilu tapi garis keturunan. Kritik itu disampaikan Ade lewat akun X-nya, @adearmando61 pada Minggu, 3 Desember 2023.

Walhasil, buntut dari kritik Ade menimbulkan gelombang protes di kalangan publik, terutama dari masyarakat DIY. Massa yang mengatasnamakan Paguyuban Masyarakat Ngayogyakarta berunjuk rasa di Kantor DPW PSI Yogyakarta, memprotes pernyataan Ade tersebut sambil membawa spanduk dan selebaran kecaman (Kompas.tv, 4/12/2023). 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, apa latar belakang yang membuat Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa?

Berdasarkan isi dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, terjadi pembagian Kerajaan Mataram Islam menjadi dua (Kompas.com, 31/8/2023). Yaitu setengah menjadi hak Kerajaan Mataram Islam (kelak menjadi Surakarta) dan sebagiannya menjadi hak Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I). Kemudian, pada 13 Maret 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I menetapkan bahwa wilayah yang ia pimpin diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, dan beribu kota di Yogyakarta. Istilah Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki makna harapan bersama untuk menjaga, mengatur, memelihara bumi tanah karunia yang baik, bersih, suci, luhur, tenang dan tenteram (Gudangjogja.id, 13/5/2021).

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI), demi mempertegas status wilayah Yogyakarta atau pun Pakualaman, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII masing-masing mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan wilayah Pakualaman adalah bagian dari RI, pada 5 September 1945 (Kompas.id, 5/9/2020).

Amanat tersebut disempurnakan pada 30 Oktober 1945. Berdasarkan buku Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya (2010) yang ditulis oleh Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, amanat ini berbeda dari sebelumnya karena hanya terdapat satu amanat. Yaitu, selain menegaskan Yogyakarta sebagai suatu kesatuan wilayah yang berada di dalam negara Indonesia, tapi juga menegaskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai pemimpin daerah Yogyakarta. Pada saat itu, wilayah Yogyakarta belum disebut sebagai DIY, melainkan Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia.

Penyebutan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa dimulai dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang diumumkan tanggal 23 November 1945. Dalam bagian pasal penjelasan mengenai Komite Nasional Daerah, terdapat penyebutan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.

Status Yogyakarta sebagai daerah istimewa memperoleh legitimasi melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. Dalam undang-undang ini ditetapkan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Pakualaman sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga wilayah ini setingkat provinsi lain di Indonesia.

Aturan yang digunakan pada 4 Maret 1950 itu juga mengatur perihal keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat DIY, hingga hak pengelolaan perusahaan daerah. Sejak saat itu, Yogyakarta resmi menyandang status daerah istimewa sesuai legitimasi dalam undang-undang.

Apa peran DIY dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia?

Berdasarkan buku Daerah Keistimewaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (1988) yang ditulis oleh Sujatmo, Yogyakarta juga memiliki peran istimewa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selama periode revolusi, perannya dibagi menjadi dua, yakni dari sisi pergerakan rakyat dan pusat kendali pemerintahan.

Dari sisi pergerakan rakyat, amanat 5 September yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII segera direspon oleh gerakan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Perusahaan atau perkantoran di wilayah Yogyakarta yang masih berada di bawah pemerintah kolonial segera diambil alih pada September 1945. 

Selain dari itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga berinisiatif menyumbang sebagian kekayaan yang dimiliki keraton untuk kas negara sebesar 6,5 juta gulden, di saat kas negara RI sedang kosong setelah proklamasi kemerdekaan (Tempo.co, 18/8/2015). Menurut kesaksian Gusti Bendara Pangeran Haryo Prabukusumo, hingga Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat, beliau dan keraton tidak pernah meminta agar sumbangan itu dikembalikan.

Dalam periode Desember 1948 hingga Juni 1949, lebih dari 2.000 orang gugur dan 539 orang hilang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Korban yang berjatuhan tersebar pada sejumlah daerah, seperti Bantul, Sleman, dan di sekitar pusat pemerintahan Yogyakarta.

Dari sisi pemerintahan, Yogyakarta menjadi garda terdepan kendali politik dalam negeri pada era revolusi. Sejak Januari 1946, pusat pemerintahan dikendalikan oleh Presiden Soekarno melalui Yogyakarta. Dari daerah ini pula, Soekarno rutin mengeluarkan amanat revolusi setiap 17 Agustus pada tahun-tahun awal kemerdekaan.

Terlebih lagi, Yogyakarta juga menjadi saksi peristiwa 1 Maret 1949 (Historia.id, 5/3/2019). Saat itu, serangan dilakukan untuk menunjukkan eksistensi Pemerintah Indonesia kepada dunia internasional setelah Belanda menduduki wilayah Yogyakarta.

Apa perbedaan DIY dengan politik dinasti yang terjadi pada saat ini?

Menurut BEM UI Melki Sedek, praktik politik dinasti yang hari ini kita saksikan jelas sangat berbeda dengan yang ada di Yogyakarta (DetikJogja, 4/12/2023). Sebab telah terjadi proses manipulasi hukum di Mahkamah Konstitusi, etika kenegaraan yang tidak dihiraukan, dan pembangkangkan konstitusi yang jelas bukan sesuatu yang legal dan direstui hukum. Sedangkan yang terjadi di DIY jelas sangat berbeda.

Apabila kita melihat lagi dari sisi sejarah, setelah Indonesia melewati gejolak revolusi dan pusat pemerintahan kembali ke Jakarta, Yogyakarta menghadapi beberapa perkembangan, khususnya terkait penetapan kepala daerah (Kompas.id, 5/9/2023). Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 mengatur bahwa kepala daerah istimewa diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa. Syarat yang ditetapkan meliputi adanya kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, mengingat adat istiadat di daerah tersebut.

Aturan ini berubah pada tahun 1957, di mana kepala daerah istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD berdasarkan keturunan keluarga yang berkuasa. Bagi daerah tingkat I, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah istimewa menjadi wewenang dari presiden.

Kini, pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Calon yang dapat diajukan adalah tokoh yang bertakhta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono untuk menduduki kursi gubernur dan Adipati Paku Alam untuk wakil gubernur. Artinya, secara substansial aturan ini tidak mengubah warisan budaya dalam tataran pemerintahan di Yogyakarta.

Namun, dalam aturan tersebut terdapat beberapa berkas yang harus dilengkapi saat Kesultanan dan Kadipaten mengajukan calon gubernur dan calon wakil gubernur kepada DPRD DIY. Daftar riwayat hidup hingga surat keterangan pengadilan negeri (menyatakan calon tidak sedang dicabut hak pilihnya) adalah berkas yang harus disertakan. Walhasil, pengangkatan gubernur untuk DIY sudah sah secara konstitusi dan tidak ada unsur manipulasi undang-undang.

Oleh karena itu, pernyataan Ade mengenai politik dinasti di DIY menggambarkan sempitnya pemahaman akan isu yang sedang terjadi saat ini, dan “kemiskinan literasi” tersebut merupakan bentuk nyata dari sifat ahistoris. Pernyataan Ade tersebut sangatlah berbahaya, sebab dapat menimbulkan hipotesis publik yang salah arah sekaligus memberi edukasi masyarakat yang sesat dan sempit. Dalam kasus ini, tampaknya Ade perlu belajar banyak lagi tentang konstitusi dan sejarah agar ia tidak melontarkan pernyataan yang keliru hingga menyebabkan kemarahan publik.

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu