x

Bakal Capres tahun 2024

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 15 Desember 2023 06:50 WIB

Janji Anies di Debat Capres: Wakanda No More, Indonesia Forever

Dalam negara berwatak otoritarian, ruang kebebasan berbicara menyempit seperti yang saat ini terasa dalam kepolitikan kita. Dalam situasi seperti inilah kemudian lahir metafor-metafor satir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagaimana harapan publik, debat sesi pertama kemarin diwarnai kontestasi gagasan yang lumayan seru dan memikat dari para capres. Pada sesi sanggah-menyanggah sejumlah isu sensitif bahkan mengemuka. Mulai dari isu pelanggaran berat etik dalam proses kandidasi yang sempat mencoreng marwah Mahkamah Konstitusi (MK), penyelesaian kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), hingga isu menurunnya indeks demokrasi dan ancaman kebebasan berbicara.

Gimik, sisi yang sempat dikhawatirkan publik bakal menjadi strategi para capres memikat pemilih dalam debat semalam tidak banyak muncul. Kecuali beberapa kali diperagakan Prabowo melalui gemoy khasnya. Tetapi ini pun nampaknya bersifat spontan atau lebih sebagai ekspresi dalam upaya menetralisir situasi dari serangan lawan-lawan debatnya. Atau, boleh jadi juga kebiasaan yang kadung tumbuh pada sosok mantan Danjen Kopasus itu.

Di luar soal gimik, dalam debat pertama ini Prabowo memang mendapatkan serangan lumayan telak, baik dari Anies maupun Ganjar. Serangan itu masuk melalui isu pelanggaran etik Ketua MK, Anwar Usman dan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, serta sejumlah kasus pelanggaran HAM yang diduga pernah melibatkan dirinya di era Orde Baru silam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Posisi Politik Elektoral

Meski tidak cukup komprehensif menguraikan muatan visi-misi masing-masing sesuai tema-tema besar tadi malam. Ketiga capres saya kira sudah berhasil menunjukkan bagimana posisinya saat ini, bagaimana mereka melihat dan memetakan keberadaan isu-isu strategis yang dihadapi saat ini, serta bagaimana dan dengan strategi apa mereka akan menyelesaikan ragam problematika negara dan bangsa tersebut.

Dan dari dinamika debat itu publik dapat membaca dan memastikan salah satu aspek penting dari perhelatan Pemilu 2024 ini, yakni posisi politik elektoral ketiga capres. Posisi politik elektoral yang dimaksud adalah pilihan sikap terhadap excisting dan performa pemerintahan saat ini yang bakal mereka gantikan melalui Pemilu. Terutama berkenanaan dengan model penyelenggaraan kekuasaan dan garis-garis kebijakan politik kemarin, saat ini dan proyeksi ke depan.

Prabowo, Jokowian Fanatik

Sebagaimana sudah sering diucapkan dan diperagakan sejak awal, sejak tahapan Pemilu belum dimulai bahkan. Posisi politik elektoral Prabowo fix bakal melanjutkan semua garis kebijakan pemerintahan Jokowi. Implikasi dari pilihan sikap ini, saya tidak melihat gagasan-gagasan yang otentik dari Prabowo, kecuali program bagi-bagi susu dan makan siang gratis yang belakangan menuai banyak kritik dari masyarakat.

Demikian kentalnya pilihan sikap ini, dalam debat kemarin Prabowo sampai berkali-kali menyebut nama Jokowi (tentu dalam konteks positif dan prestatif) dalam upaya meyakinkan publik tentang tawaran-tawaran programnya yang tadi itu jadinya : cenderung serba duplikatif. Prabowo benar-benar Jokowian fanatik.

Implikasi lain dari pilihan sikap itu adalah terselubunginya berbagai praktik buruk penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di era Jokowi dari pandangan jernih dan obyektif Prabowo.

Mulai isu dominasi oligarkh dalam bidang ekonomi, menyempitnya ruang kebebasan berbicara, konsolidasi demokrasi yang tersendat, penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, praktik-praktik ordal (orang dalam) dalam banyak lini profesi yang sekaligus menjadi isyarat bangkitnya kembali praktik Nepotisme, Kolusi dan Korupsi (NKK) orde baru, dan lagi-lagi penyelesaian tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM.

Dalam debat kemarin keterselubungan persoalan-persoalan strategis yang membutuhkan penyikapan tegas, lugas dn tuntas itu beberapa diantaranya terkonfirmasi dari cara Prabowo merespon Anies maupun Ganjar, atau kala ia balik bertanya dan menyanggah lawan debatnya. Alih-alih merespon dengan jawaban yang jelas dan dan tuntas, Prabowo justru nampak reaksioner, bahkan sesekali emosinya bangkit.

Fakta semalam itu misalnya muncul ketika Ganjar menanyakan penyelesaian isu pelanggaran HAM dan kasus putusan MK yang kontroversial. Performa reaktif dan emosional juga nampak ketika Anies menyoal isu putusan MK dengan sudut pandang yang berbeda, yakni sisi pelanggaran berat etik yang menyertainya. Dan ketika Anies mengkritik soal demokrasi, kebebasan berbicara dan hakikat terhormat kedudukan kelompok oposisi dalam demokrasi, dimana Prabowo justru pernah menyerah dan berbalik menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.

 

Posisi Tengah Ganjar

Berbeda jauh dengan Prabowo, meski keduanya masih berada dalam poros yang sama sebagai bagian dari pemerintahan saat ini, Ganjar tampil dengan jarak afiliasi yang makin tegas dari Jokowi.

Tentu saja tidak se-assertif dan se-frontal Anies yang sejak awal sudah mengambil posisi antitesa Jokowi. Ganjar kelihatan berusaha obyektif namun sekaligus masih menyisakan nuansa kompromistik dengan eksisting pemerintahan Jokowi. Ia tidak tabu menyoal sisi lemah pemerintahan Jokowi, tetapi juga tidak merasa perlu  menyembunyikan kebijakan-kebijakan Jokowi yang menurut pandangannya bagus.

Maka soal penegakan hukum misalnya, terutama terhadap kasus-kasus korupsi oleh para penyelenggara negara dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas dikritiknya dengan lugas. Tetapi soal IKN, meski tidak secara eksplisit, Ganjar mengendors kebijakan Jokowi. Ia bahkan sempat mempertanyakan dan berdebat secara cerdas dengan Anies yang dalam beberapa kesempatan sebelum debat kerap mengkritik tajam program pembangunan IKN.

 

Janji-janji Perubahan Anies

Dari ketiga capres Anies tentu saja paling kontras, bukan hanya soal performa komunikasi yang matang dan retorika yang piawai hingga mendapatkan pujian banyak pihak. Tetapi lebih penting dari itu adalah soal posisi politik elektoralnya yang kian terang benderang. Bersama tagline populernya, "Perubahan", Anies benar-benar tampil dalam posisi antitesa sejati pemerintahan Jokowi.

Fakta itu ditunjukan Anies dengan lugas sejak awal tampil menyampaikan visi-misinya sesuai tema debat sesi pertama. Dalam durasi pendek empat menit Anies mengucapkan lima atau enam kali kata “perubahan atau harus diubah”.

Pertama saat ia membuka orasinya dengan mengungkap fakta bahwa saat ini ada gejala kekuasaan mengendalikan hukum. Padahal sebagai negara hukum, mestinya hukumlah yang mengatur dan mengendalikan kekuasaan. Ini tidak boleh diteruskan, ini harus diubah.

Kedua ketika Anies, dalam paparan selanjutnya mengungkapkan bahwa saat ini hukum yang mestinya tegak lurus justru menjadi bengkok (sambil menekuk kelima jarinya sehingga membentuk formasi lima ujung jari lancipnya mengarah ke bawah). Saat ini hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Kondis ini tidak boleh didiamkan, dia harus berubah.

Ketiga saat Anies menjelaskan bahwa saat ini ada seorang milenial menjadi Cawapres, tetapi saat yang sama ribuan milenial yang  peduli pada anak-anak bangsa ketika mereka mengkiritk pemerintah sering dihadapi dengan kekerasan. Kondisi tidak boleh dibiarkan, kita harus lakukan perubahan.

Keempat kala Anies menceritakan peristiwa kekerasan rumah tangga yang dialami ibu Mega Suryani Dewi, lapor pada negara tidak diperhatikan, dan dia meninggal sebagai korban kekerasan. Ini tidak bisa dibiarkan, ini harus dirubah.

Kelima saat Anies menceritakan peristiwa Harun Al Rasyid, pendukung Prabowo pada Pemilu 2019 yang protes hasil Pemilu, menuntut keadilan. Harun tewas sampai hari ini tidak ada kejelasan. Ini tidak bisa dibiarkan, ini harus diubah.

Dalam debat sesi pertama ini, sesuai tema, Anies memang banyak menyoroti berbagai isu kemerosotan di bidang hukum, operasi kekuasaan dan demokrasi. Ia melihat di tangan rezim ini, kekuasaan hadir menjadi pengendali hukum, bukan sebaliknya. Kemudian sebagai alat penertiban kehidupan masyarakat, hukum di tangan rezim ini tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah.

Terkait isu demokrasi Anies banyak memberikan catatan kritis seputar penyelenggaraan kekuasaan yang dinilainya makin melenceng dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Belakangan kekuasaan itu bahkan cenderung mengendalikan hukum, dan bukan sebaliknya dimana seharunsya hukum yang menjadi pengendali atas operasi kekuasaan.

Implikasi dari model kekuasaan yang demikian itu memang berdampak buruk pada kehidupan demokrasi, yang salah satunya adalah menyempitnya ruang kebebasan berbicara dan berekspresi. Dalam konteks inilah, seperti kerap diungkapkan Anies dalam beberapa kesempatan sebelum debat, kemudian lahir metafor-metafor satir “Negeri Wakanda dan Konoha”.

Orang ingin mengkritik, publik ingin menyoal kebijakan yang tak memihak rakyat, tetapi takut terdampak represi negara. Maka solusinya adalah menciptakan negeri fiksi, republik imajiner bernama Wakanda dan Konoha, semata-mata agar terhindar dari represi negara. Terhadap situasi inilah, di akhir debat kemarin Anies menjanjikan satu tagline kunci perubahan yang sekarang jadi populer : Wakanda No More, Indonesia Forever !

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu