x

Merah Putih Golek Kencana

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 17 Januari 2024 12:48 WIB

Merah Putih Golek Kencana - Peran Orang Tionghoa di Masa Perjuangan Kemerdekaan

Merah Putih Golek Kencana adalah sebuah novel yang menggambarkan peran orang Tionghoa di Semarang di masa Perjuangan Kemerdekaan. Novel ini terbit di masa Orde Baru yang berupaya menyembunyikan peran orang Tionghoa dalam proses lahirnya NKRI.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Merah Putih Golek Kencana

Penulis: Pandir Kelana

Tahun Terbit: 1992

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 252

ISBN: 979-511-494-8

 

 

Menjelang dan di awal Kemerdekaan, posisi orang Tionghoa terpecah setidaknya menjadi 3. Pertama adalah kelompok yang mendukung Belanda kembali ke Indonesia. Kelompok kedua adalah kelompok yang setia kepada Partai Nasionalis Kuo Min Tang yang dpimpin oleh DR Sun Yat Sen, dan kelompok ketiga adalah mereka yang menyebut dirinya Republiken. Mereka ini adalah kelompok Tionghoa yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Selain mereka yang secara tegas dan terbuka menyatakan ke arah mana dukungan politiknya, kebanyakan dari orang-orang Tionghoa yang semenjana lebih memilih untuk mengikuti angin. Falsafah “pohon cemara” dipakai supaya selamat dari huru-hara politik. Falsafah pohon cemara adalah falsafah yang dipegang oleh para imigran dari Tiongkok di negara lain, termasuk Indonesia. Falsafah ini mengajarkan hidup seperti pohon cemara yang tidak melawan angin, sehingga bisa selamat, meski badai menerjang.

Novel “Merah Putih Golek Kencana – Katharina Khoo Giok Nio Menggugat” mengisahkan bagaimana seorang perempuan Tionghoa Republiken berjuang mempertahankan bisnisnya dan menggunakan bisnis tersebut untuk mendukung perjuangan Kemerdekaan. Mewarisi bisnis konglomerasi dari sang ayah, Giok Nio mengelola bisnis ini dengan sukses sekaligus menggunakannya untuk mendukung Republik yang masih sangat muda. Gik Nio berhasil membangun jaringan perdagangan dan penyelundupan gula ke luar negeri bersama dengan para niagawan asal Bugis. Novel yang mengambil latar belakang Kota Semarang ini dibumbui dengan kisah cinta antara Giok Nio dengan seorang pejuang bernama Jarot Suwandono.

Novel ini terbit pertama kali di tahun 1992 saat Orde Baru berkuasa. Kita semua tahu bahwa Orde Baru sangat tidak menyukai penulisan peran Tionghoa dalam perjuangan Kemerdekaan. Apalagi isi ceritanya cukup kuat menonjolkan peran Tionghoa dalam perjuangan. Dalam novel ini sangat eksplisit diuraikan tokoh pemuda Tiongoa dari keluarga kaya bernama Roberto Khoo King Kie memilih jalur gerilya dalam ikut serta mempertahankan Kemedrekaan. Sedangkan Katharina Khoo Giok Nio digambarkan sebagai pemudi cantic berwajah sangat Cina tapi berjuang di jalur Republik. Bahkan Giok Nio digambarkan berpacaran dengan pemuda Jawa yang mejadi pejuang Kemerdekaan.

Pandir Kelana mampu mengemas isu sensitif ini menjadi cerita roman yang menghibur. Mungkinkah kemasan cerita roman yang menghibur ini yang membuat naskah Merah Putih Goleh Kencana lolos dan bisa terbit? Pandir Kelana bernama asli RM. Slamet Danusudirjo adalah seorang tentara. Pangkat terakhirnya adalah Mayor Jenderal. Mustahil dia tidak paham kebijakan Suharto tentang isu ini.

Pertemuan Katharina Khoo Giok Nio dengan Jarot Suwandono terjadi tanpa sengaja. Jarot yang dikejar tentara Jepang, memanjat tembok rumah keluarga Giok Nio. Pemuda yang kakinya kram dan tertembak tersebut ditolong oleh Giok Nio. Pertemuan singkat dan dalam kondisi yang tidak baik itu malah membuat keduanya jatuh cinta. Sayang sekali setelah pertemuan itu, mereka berdua tak pernah bertemu lagi. Pertemuan baru terjadi saat Negara sudah lebih damai dari perang dengan Jepang dan Belanda yang kembali ingin menguasai Indonesia.

Novel ini menyinggung tentang budaya Cina yang kurang menghargai peran perempuan. Meski Khoo King Guan, jebolan sebuah universitas di Leiden namun dalam menentukan pewaris usahanya, King Guan tetap megupayakan anak lelakinya yang mmenerima warisan. King Guan tidak yakin bahwa Khoo Giok Nio akan mampu mengelola bisnis yang menjangkau antarnegara. King Guan juga begitu risau saat Roberto lebih tertarik untuk menjadi pejuang melalui jalur gerilya daripada membantu Republik dengan keahlian bisnisnya.

Tapi Pandir Kelana mau menunjukkan bahwa budaya yang mengesampingkan perempuan adalah tidak sesuai lagi dengan jaman. Pandir Kelana membangun tokoh yang bernama Khoo Giok Nio sebagai perempuan yang cerdas, luwes dan mampu menjalankan bisnis dengan sukses.

Jadi, selain membahas peran Tionghoa di masa awal Kemerdekaan, novel ini juga menyentil budaya Tionghoa yang masih kaut dipegang, bahkan oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan sekalipun. 811

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu