x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Minggu, 18 Februari 2024 14:42 WIB

Menyesatkan, Mengorkestrasi Narasi Pilpres Satu Putaran

Mengorkestrasi Pilpres Satu Putaran sesunggunya merupakan narasi menyesatkan, pemaksaan pembodohan terhadap publik. Ini sekaligus menjerumuskan rakyat yang secara politik illiterate kedalam jurang kepandiran politik sebagai warga negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengorkestrasi kemenangan Prabowo-Gibran versi quick count dan pilpres otomatis berlangsung 1 putaran itu adalah perbuatan sesat dan menyesatkan secara hukum. Perbuatan ini mendahului tahapan pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU. Perbuatan itu juga memaksakan pembodohan terhadap publik sekaligus menjerumuskan rakyat yang secara politik illiterate kedalam jurang kepandiran abadi sebagai warga negara. 

Prabowo-Gibran itu menang versi lembaga survei yang bukan pemegang otoritas untuk menetapkan hasil Pilpres. quick count, metode ilmiah yang digunakannya juga bukan instrumen yang menjadi dasar legal penetapan hasil Pilpres. 

Selain itu, quick countjuga bukan sang maha benar yang hasil kalkulasi statistiknya bersih dari salah. Metode ilmiah, secanggih apapun selalu menyimpan potensi keliru dan salah. Bisa karena human error, distorsi sistem, atau faktor-faktor lainnya yang bersifat subyektif termasuk potensi kejahatan terselubung di dalamnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat ini, terasa betul adanya kecenderungan kuat hasilquick count lembaga-lembaga survei itu seperti hendak mengontrol pergerakan suara rakyat. Lembaga survei sudah bertingkah serupa rezim totaliter. Sungguh menjijikan. Satu hal yang amat memilukan, orkestrasi itu melibatkan sejumlah tokoh yang selama ini dikenal lurus, berintegritas. 


Jalan Masih Panjang
Sesuai Konstitusi dan UU Pemilu, hasil Pemilu termasuk Pilpres ditetapkan secara resmi oleh KPU. Pasal 413 ayat (1) UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu dengan tegas mengatur, bahwa KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara Pasangan Calon, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah hari pemungutan suara. 

Berdasarkan norma tersebut, para pihak terutama kubu Paslon 02 yang telah “disahkan” sebagai pemenang Pilpres oleh lembaga survei itu mestinya mengedukasi publik dengan benar dan taat hukum, setidaknya mengenai dua hal berikut ini.

Pertama, sekali lagi, hasil resmi Pilpres ditetapkan oleh KPU. Hasil kalkulasi quick count hanyalah prakiraan yang tidak memiliki kekuatan otoritatif apapun untuk menyimpukan siapa pemenang kontestasi. Bukan malah menyiapkan pesta kemenangan tak berdasar hukum elektoral yang justru malah memicu kecurigaan, seolah mengonfirmasi bahwa Pemilu ini memang sudah disiapkan demikian rupa, dari awal hingga akhir.

Kedua, untuk sampai pada penetapan akhir secara resmi hasil Pilpres, dibutuhkan waktu lebih dari sebulan. Dalam rentang waktu jeda antara penghitungan suara di TPS dengan pleno rekapitulasi suara secara nasional oleh KPU itu berbagai kemungkinan bisa terjadi. Salah satunya adalah pengaduan dugaan kecurangan oleh Paslon kepada Bawaslu. Meski kepercayaan publik terhadap Bawaslu sudah sedemikian rendah, tetapi ini adalah ruang yang diberikan undang-undang yang seharusnya dihormati.  

Jika memiliki integritas tinggi dan keberanian, berdasarkan laporan pengaduan perihal adanya kecurangan atau pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan Pemilu dan terbukti misalnya, Bawaslu bisa mendiskualifikasi Paslon teradu dari kontestasi. 

Sebagaimana diatur di dalam ayat (1-4) Pasal 280 UU Pemilu, bahwa Paslon yang terbukti melakukan pelanggaran berupa menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih, dan ini berlangsung secara terstruktur, sistematis dan masif dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai pasangan calon.   

Saat ini yang berlangsung adalah alih-alih mengedukasi publik perihal tahapan yang benar dan proses penegakan hukum yang wajib ditaati itu, kubu Paslon 02 justru mengglorifikasi bahwa Pilpres sudah pasti hanya satu putaran. Lagi-lagi, ini seakan mengonfirmasi bahwa Pemilu 2024 memang sudah disiapkan demikian rupa berlangsung satu putaran, dan untuk itu semua cara telah dilakukan untuk mewujudkannya.

Terminal Akhir di MK 
Terminal akhir perjalanan Pemilu masih panjang. Ia bahkan tidak selesai serta merta setelah KPU menetapkan hasil Pemilu dan Pilpres secara nasional. Masih ada satu tahapan krusial yang diatur di dalam UU, yang mungkin saja terjadi atau dilakukan oleh peserta Pemilu atau Paslon yang merasa dirugikan. Yakni proses gugatan dan penyelesaian perselisihan hasil Pemilu. 

Terkait hal ini diatur di dalam Pasal 473-475 UU Pemilu, yang menjelaskan bahwa perselisihan hasil Pemilu itu meliputi Perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai : 

Penetapan perolehan suara hasil Pemiu secara nasional; Penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu dan; Penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Kesemua kasus perselisihan hasil Pemilu tersebut ditangani (diperiksa, diadili dan diputuskan) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam durasi waktu sekitar 15 hari terhitung sejak pengajuan permohonan keberatan oleh Peserta Pemilu atas penetapan hasil Pemilu oleh KPU. Meski kepercayaan publik terhadap MK juga sedang tidak bagus, tetapi ini adalah ruang yang diberikan undang-undang yang harus dihormati semua pihak.

Publik harusnya diberikan informasi dan edukasi yang benar, bukan terus-menerus dicuci otaknya dengan orkestrasi sesat dan menyesatkan bahwa Pemilu sudah selesai, Pilpres sudah beres. Bahwa jika permohonan keberatan atau gugatan Paslon dikabulkan oleh MK, putusan KPU bisa dikoreksi, dan ini artinya bisa mengubah hasil Pilpres. 

Berdasarkan pengalaman pada Pemilu dan Pilkada sebelumnya, koreksi MK atas putusan KPU itu bisa macam-macam. Mulai dari pengurangan jumlah perolehan suara termohon dan diberikan kepada pemohon atau perintah agar Pilpres diulang berdasarkan lokus dimana dugaan kecurangan atau pelanggaran dapat dibuktikan. 

Putusan MK bahkan bisa berupa pembatalan putusan KPU mengenai hasil Pilpres dan perintah pengulangan Pilpres secara keseluruhan jika pemohon dapat membuktikan dan meyakinkan para hakim konstitusi bahwa telah terjadi kecurangan atau pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dalam rangkaian proses Pilpres yang memengaruhi perolehan hasil suara.

Atau sebaliknya, jika permohonan gugatan pemohon tidak dapat dibuktikan, maka permohonan ditolak atau tidak dikabulkan oleh MK. Dan dengan demikian putusan KPU final, Pilpres selesai. Begitu yang sahih.

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

8 jam lalu

Terpopuler