x

Matahari terbenam di Laut Cina Selatan di lepas desa M\x169i N\xe9 di pantai tenggara Vietnam. Wikipedia

Iklan

Nazar Mohammad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Maret 2024

Sabtu, 9 Maret 2024 10:39 WIB

Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia; Pemikiran Strategis

Permasalahan sengketa di Laut China Selatan menjadi perhatian serius Indonesia. Meskipun bukan negara pendaku (claimant state), Indonesia memiliki perhatian terhadap sengketa wilayah di Laut China Selatan. Fokus perhatian terutama klaim Tiongkok yang diwujudkan dengan pembangunan pulau buatan serta pengerahan kekuatan militer dan paramiliter di kawasan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara terluas ke-14 dan memiliki pulau terbanyak ke-6 di dunia, dengan jumlah 17.504 pulau. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah darat sebesar 1.910.931 km² atau sekitar 1/3 dari luas total wilayah yang mencapai 5.193.250 km2. Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara kepulauan telah dikukuhkan melalui sidang ke-4 the United Nations Convention on Law of Sea (UNCLOS) tahun 1982. Pengukuhan tersebut merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah darat, laut dan udaranya yang diawali oleh proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki keunikan karena berbatasan dengan 10 negara, yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Timor Leste, Palau, Papua Nugini, dan Australia. Di antara 10 negara tetangga yang berbatasan tersebut, Indonesia berbatasan darat dengan tiga negara, yaitu Malaysia di Pulau Kalimantan dan Sebatik, Timor Leste di Pulau Timor, dan Papua Niugini di Pulau Niugini. Dengan situasi geografis tersebut, terdapat kemungkinan terjadinya sengketa perbatasan antarnegara dan aktivitas ilegal oleh aktor-aktor non-negara di beberapa wilayah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sejarahnya, penegakan kedaulatan wilayah Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat. Sampai dengan saat ini masih banyak hal yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia, seperti misalnya penegakan hukum di perairan Indonesia, penjagaan kedaulatan dan hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), pemeliharaan dan penjagaan wilayah perbatasan dari berbagai jenis pelanggaran, khususnya di titik-titik rawan konflik, seperti di Laut Natuna Utara (Provinsi Kepulauan Riau), dan Blok Ambalat.

Dengan mencermati latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi sejumlah permasalahan yang meliputi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang dapat mengganggu kedaulatan, membahayakan keselamatan bangsa, serta merongrong keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun ancaman di kawasan yang saat ini menjadi perhatian utama Indonesia adalah imbas konflik di Laut China Selatan yang dipicu oleh klaim Tiongkok atas wilayah di perairan itu, gangguan keamanan di seluruh perairan yang meliputi pencurian ikan, perompakan dan kegiatan ilegal lainnya, serta potensi bencana alam yang meliputi gempa bumi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi. Tingkat risiko maksimal dari skenario yang mungkin terjadi dapat memicu situasi darurat, baik darurat sipil ataupun darurat militer atau perang.

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka penyelenggaraan pertahanan negara yang responsif dan antisipatif terhadap segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan memerlukan penyiapan strategi yang mampu mengatasi berbagai tingkat risiko dari tingkat minimum hingga maksimum. Penyiapan strategi tersebut tidak dapat dipisahkan dari kondisi geografis Indonesia, sehingga meliputi strategi pertahanan berlapis yang bertumpu pada pertahanan pulau-pulau besar Indonesia yang terhubung oleh perairan antara. Di samping itu, konsep strategi pertahanan berlapis juga melibatkan kebijakan politik luar negeri Indonesia atau diplomasi pertahanan yang melindungi pengerahan kekuatan militer pada masa damai dan darurat, khususnya di kawasan dimana Indonesia berada, yakni kawasan Indo-Pasifik.

Lingkungan Strategis

Indonesia dikelilingi oleh negara-negara yang beraliansi, yaitu Five Power Defence Arrangements (FPDA) yang terdiri dari Singapura, Malaysia, Australia dan Selandia Baru, ditambah Inggris sebagai negara di luar kawasan. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan Indonesia selama tiga dasawarsa, khususnya apabila dikaitkan dengan potensi sengketa perbatasan dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Seiring dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, bertumpu kepada diplomasi multifacet melalui ASEAN (Association of South East Asian Nations) dan ASEAN-Plus, posisi Indonesia yang tidak menguntungkan secara politik-militer tersebut berangsur-angsur dapat dinetralisasi.

Arah kebijakan politik luar negeri Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh dinamika situasi geopolitik dan geo-ekonomi, yang antara lain, cenderung memprioritaskan hubungan kerja sama ekonomi dengan negara-negara di kawasan, yakni Asia Tenggara dan Indo-Pasifik. Di samping itu, Indonesia menempatkan konteks kerja sama berdasarkan kedekatan geografis, yaitu lingkaran konsentris yang terdiri dari negara-negara ASEAN pada lingkaran konsentris pertama, negara-negara mitra ASEAN pada lingkaran konsentris kedua, dan negara-negara berkembang pada lingkaran konsentris ketiga (terluar). Artinya, prioritas politik luar negeri Indonesia adalah negara-negara ASEAN yang meliputi Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Setelah negara-negara ASEAN, prioritas selanjutnya ditujukan kepada negara-negara mitra ASEAN, sekaligus mitra utama ekonomi Indonesia seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat, serta ditambah Uni Eropa. Sedangkan prioritas berikutnya adalah negara-negara berkembang yang memiliki kesamaan pandangan dan kepentingan. Lebih khusus lagi adalah negara-negara tetangga lainnya, seperti Timor Leste dan Papua Nugini, serta negara mitra ASEAN lain seperti Australia, India, Rusia, dan Selandia Baru yang berada dalam kategori tertentu, tersebar pada lingkaran konsentris ketiga.

Adapun pemetaan masalah yang dihadapi Indonesia dengan menggunakan metode analisis SWOT, adalah sebagai berikut:

Strengths (Kekuatan). Kekuatan yang dimiliki Indonesia meliputi sumber daya manusia yang relatif banyak, sumber daya alam yang melimpah, serta sumber daya buatan yang saat ini sedang digalakkan. Indonesia juga menjadi kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan baik di tingkat regional maupun global, sebagaimana diketahui, Indonesia adalah anggota G20. Secara militer, Indonesia melakukan gelar kekuatan operasi matra dan gabungan, serta melakukan patroli rutin di wilayah perbatasan, yang di beberapa daerah juga melibatkan K/L lainnya seperti Bakamla, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, dan Polairud.

Weaknesses (Kelemahan). Kelemahan yang dimiliki Indonesia adalah rendahnya rasio kemampuan pengawasan/penguasaan dengan luasnya wilayah operasi yang meliputi darat, laut dan udara, sehingga berakibat kepada lemahnya pengawasan, khususnya terhadap wilayah perbatasan. Di samping itu, kemajemukan yang sangat tinggi di antara rakyat Indonesia yang berjumlah besar juga dapat menjadi kelemahan yang perlu diwaspadai. Kemampuan penegakan hukum yang menjangkau wilayah perbatasan baik di darat, laut, maupun udara juga dapat dikatakan masih sangat terbatas.

Opportunities (Peluang). Peluang bagi Indonesia saat ini adalah adanya kekuatan hukum dan politik Indonesia di dunia internasional, dengan adanya hasil sidang ke-4 UNCLOS tahun 1982 yang menjadi landasan hukum pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan, keanggotaan Indonesia dalam organisasi multilateral seperti dalam PBB dan OKI sebagai negara yang bereputasi baik, serta sebagai negara terbesar dalam keanggotaan ASEAN. Indonesia juga memiliki peluang dalam menggunakan diplomasi ekonomi dengan negara-negara besar dan maju seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, serta negara-negara anggota G20 lainnya. Di samping itu, hubungan bilateral yang masih terjalin baik antara Indonesia dengan negara-negara tetangga berpeluang dapat menyelesaikan sengketa perbatasan, misalnya dengan Malaysia (melalui GBC Malindo) dan Vietnam.

Threats (Ancaman/Kendala/Tantangan). Ancaman bagi Indonesia terletak pada itikad kekuatan eksternal yang menggunakan kelemahan Indonesia atau ketidakmampuan Indonesia dalam mengelola peluang yang ada, untuk mengeruk aset nasional Indonesia bagi kepentingannya, atau mengganggu kepentingan nasional Indonesia. Sementara kendala dan tantangan yang ada dihadapkan kepada kelemahan Indonesia adalah luasnya wilayah dan kemajemukan penduduk Indonesia dalam jumlah besar yang memerlukan kendali yang efektif agar tidak menumbuhkan separatisme, ketidakpuasan masyarakat yang dapat memicu konflik komunal dan anarki, serta absennya kontrol pemerintah di wilayah-wilayah tertentu (ungoverned territories). Keterbatasan kemampuan dalam mengelola wilayah perbatasan juga berdampak kepada tingginya frekuensi terjadinya aktivitas ilegal yang dilakukan aktor negara lain dan aktor non-negara dengan melanggar wilayah kedaulatan dan wilayah dengan hak berdaulat di ZEEI.

Skenario Kontinjensi di Kawasan

Dalam mengelola kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang ada, Pemerintah Indonesia mengupayakan gelar kekuatan militer di seluruh wilayah pertahanan pada masa damai guna mengantisipasi kondisi darurat, baik darurat sipil maupun darurat perang. Skenario diberlakukannya status darurat perang yang paling mungkin terjadi pada masa mendatang adalah eskalasi konflik di Laut China Selatan yang berkaitan erat dengan sengketa Tiongkok-Taiwan. Konflik tersebut telah berada pada fase dimana pengerahan kekuatan militer oleh Tiongkok merupakan faktor utama ancaman, karena tingkat kesiapannya yang sudah optimal di Kepulauan Spratly dan Paracel, melalui pembangunan pangkalan militer dan penempatan kekuatan militer yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia, yakni seperti pesawat pengebom strategis dan peluru kendali jarak jauh/menengah. Meskipun Indonesia bukan negara pendaku (claimant state) wilayah Laut China Selatan, konflik yang terjadi antara negara-negara pendaku wilayah itu meliputi Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filipina dan Brunei dapat meletus kapan saja. Apalagi, aktor eksternal seperti Amerika Serikat, Australia dan Jepang dalam melakukan operasi kebebasan bernavigasi (freedom of navigation operations -FONOP) seringkali memicu reaksi keras dari Tiongkok. Lebih khusus lagi, klaim Tiongkok melalui peresmian peta barunya pada tahun 2023 telah menuai kontroversi dan penolakan dari negara-negara yang berkepentingan.

Menurut Mark Zacher (1979), dalam sejarah peradaban manusia, ancaman perang konvensional berupa invasi negara lain sebagian besar dilatarbelakangi adanya konflik atau sengketa perbatasan. Di kawasan Indo-Pasifik, konflik atau sengketa perbatasan merupakan hal yang sangat jelas sedang terjadi, dengan isu yang paling besar berisiko adalah konflik Laut China Selatan. Dengan melakukan tinjauan terhadap lingkungan strategis Indonesia tersebut di atas dan skenario konflik yang mungkin terjadi, agresivitas militer Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik dapat mengulang sejarah sebagaimana yang dilakukan militer Jepang di masa Perang Dunia II (Perang Pasifik).

Di kawasan Indo-Pasifik, Tiongkok terlibat sengketa perbatasan dan wilayah dengan negara-negara seperti India, Vietnam, Taiwan, Jepang, Filipina, Malaysia dan Brunei. Proyeksi kekuatan militer Tiongkok di kawasan tersebut juga sangat terlihat jelas dan ambisius, terutama dalam melindungi jalur pasokan logistiknya di bawah nama Belt and Road Initiatives (BRI). Kebutuhan Tiongkok akan hasil tambang (mineral) juga sangat tinggi, khususnya rare earth material(tanah jarang), dan terkait hal itu, Indonesia merupakan wilayah yang sangat diperhitungkan oleh Tiongkok. Kondisi saat ini menunjukkan betapa leluasanya Tiongkok melakukan aktivitas intelijen di wilayah Indonesia, ditandai dengan aktivitas survei bawah laut oleh Unmanned Underwater Vehicle (UUV) dan berlayarnya kapal-kapal surveillancepermukaan seperti Xiang Yang Hong dan Yuan Wang (seri 4, 5, 6, dan 7) melalui perairan Indonesia. Di samping itu, ribuan pekerja Tiongkok yang dipekerjakan di daerah pertambangan seperti di Morowali, Sultra dan daerah lainnya sangat menarik perhatian publik. Kegiatan riset intelijen juga telah lama berlangsung secara umum dilakukan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.

Skenario sederhana dalam meninjau agresivitas Tiongkok adalah dengan bercermin kepada kasus agresivitas Jepang pada masa menjelang dan berlangsungnya Perang Pasifik (1932-1945). Pada masa itu, di tengah konteks persaingan hegemon di kawasan Pasifik, Jepang melakukan klaim secara perlahan, terlibat perang dengan negara tetangga, menganeksasi Korea (1910), dilanjutkan dengan peningkatan kapabilitas angkatan lautnya dengan membangun kapal-kapal perang bertonase besar dan kapal induk, menduduki Manchuria dengan membentuk negara boneka (1932), memulai perang dengan Tiongkok (1936), serta memicu perang besar dengan menyerang pangkalan Amerika Serikat di Hawaii (Pearl Harbor, 7 Desember 1941).

Apa yang dilakukan Jepang pada waktu itu dapat terulang kembali, kali ini oleh Tiongkok, dengan sejumlah kemiripan kebijakan-kebijakan yang diambil seperti klaim dan penguasaan wilayah-wilayah strategis baik di dalam lingkungan first island chain Tiongkok maupun di seberang lautan, seperti menyewa pelabuhan-pelabuhan di Australia, Solomon, Pakistan, Djibouti dan Kenya. Permasalahan sekarang, Tiongkok sangat berambisi menjadi negara adidaya, didukung oleh sumber daya yang sangat melimpah, sehingga citra Tiongkok saat ini, tidak hanya menggantikan ambisi Jepang di masa lalu, tetapi juga sosok dan peran Amerika Serikat. Perbedaannya, sebagai negara komunis, Tiongkok lebih memungkinkan melakukan aksi-aksi militer secara unilateral, dibanding Amerika Serikat yang melakukan agresi melalui persetujuan Kongres, dengan cara berkoalisi ataupun menggunakan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Strategi Antisipatif

Dalam mengantisipasi ancaman perang konvensional di Indonesia, maka Kemhan dan TNI menyusun strategi pertahanan berlapis di wilayah yurisdiksi Indonesia yang bertumpu kepada pertahanan pulau-pulau besar beserta perairan di sekitarnya, serta strategi perang berlarut melalui penataan wilayah pertahanan berupa daerah pertempuran, daerah komunikasi, daerah belakang, dan daerah pangkal perlawanan. Strategi pertahanan negara dilakukan dengan mempersiapkan pertahanan yang bersifat semesta, mempersiapkan pertahanan defensif aktif, menyusun pertahanan berlapis, memantapkan keamanan wilayah, meningkatkan kerja sama internasional, memberdayakan industri pertahanan, serta memantapkan kesadaran dan kemampuan bela negara. Terkait dengan strategi pertahanan berlapis, dilaksanakan dengan menyinergikan antara pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter melalui penyusunan lapis penangkalan. Implementasi strategi pertahanan berlapis dan pertahanan perang berlarut dilaksanakan dengan membangun wilayah pertahanan, serta memperkuat konektivitas antarpulau, yakni menambah kekuatan pertahanan di pulau-pulau besar dan perairan penghubung (termasuk selat-selat strategis) dengan kemampuan maksimal dalam melakukan blokade akses perairan.

Menurut Marshal V.D. Sokolovsky (1963), strategi militer adalah sistem pengetahuan teoretis yang berurusan dengan hukum perang sebagai konflik bersenjata atas nama kepentingan tertentu. Atas dasar pengalaman militer, kondisi militer dan politik, potensi ekonomi dan moral, sarana baru untuk melakukan perang, dan pandangan lawan potensial, strategi ini mempelajari kondisi-kondisi, dan sifat perang di masa depan, metode persiapan dan pelaksanaannya, cabang-cabang angkatan bersenjata dan basis pemanfaatan strategisnya, serta basis material dan teknologi perang. Hal itu tetap menjadi bidang kegiatan praktis dari kepemimpinan militer dan politik yang lebih tinggi dari komando tertinggi dan markas besar yang berkaitan dengan seni mempersiapkan perang dan antisipasi konflik bersenjata.

Bercermin dari pemikiran tersebut, setiap kebijakan pengerahan kekuatan militer tentunya dikendalikan oleh para pemimpin suatu negara, baik pemimpin politik maupun pemimpin militer. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, strategi pengerahan kekuatan militer guna mengantisipasi ancaman perang konvensional memerlukan arah kebijakan politik, baik di bidang politik dalam negeri maupun luar negeri. Hal yang perlu dilakukan adalah menetapkan indikator-indikator tingkat kesiagaan yang dapat didasarkan kepada aspek geografis dari suatu konflik. Pertama, indikator ancaman (bahaya) bagi kedaulatan Indonesia adalah perang terbuka di negara-negara tetangga (negara anggota ASEAN), misalnya serangan militer terhadap Malaysia dan Filipina (dua negara pendaku wilayah di Laut China Selatan). Serangan militer terhadap kedua negara tersebut dapat menjadi pemicu pengerahan militer Indonesia secara pre-emptive antisipatif atau dikategorikan sebagai Defence Ready Condition (DEFCON) level 1. Kedua, pengerahan dan penempatan militer dalam jumlah besar oleh suatu negara dalam jarak 1.000 mil, misalnya seperti yang dilakukan Tiongkok di Kepulauan Spratly dan Paracel dapat dikategorikan sebagai indikator pemberlakuan DEFCON level 2. Ketiga, frekuensi pergerakan voluntary people’s army (ciri khas Tiongkok) yang juga meliputi maritime militia (nelayan bersenjata) di kawasan sebagai bagian dari strategi gray zone Tiongkok dapat mendorong pemberlakuan status DEFCON 3. Keempat, infiltrasi unsur-unsur intelijen baik menggunakan manusia ataupun peralatan survei yang dilakukan di wilayah Indonesia, termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan daerah-daerah konsesi pertambangan dapat menjadi indikator perlunya pemberlakuan status DEFCON 4.

Sebagai penjelasan, DEFCON I atau Siaga 1 adalah kondisi darurat perang yaitu ketika seluruh satuan militer bersiaga perang menghadapi ancaman militer yang sudah terdefinisikan. Adapun DEFCON II atau Siaga 2 adalah kondisi ketika seluruh satuan militer bersiaga untuk dikerahkan dalam jangka waktu maksimal 6 jam. Sedangkan DEFCON III atau Siaga 3 adalah kondisi ketika satuan Angkatan Udara dapat dimobilisasi dalam jangka waktu maksimal 15 menit, dan DEFCON IV atau Siaga 4 adalah kondisi di atas normal ketika unsur intelijen mengambil peran dalam penguatan keamanan karena adanya aktivitas-aktivitas tertentu (intelijen) yang terdeteksi di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Terkait hal tersebut, penyiapan zona pertahanan dilakukan tidak hanya di wilayah yurisdiksi Indonesia, melainkan juga di luar wilayah yurisdiksi Indonesia dengan mengambil kebijakan politik luar negeri atau bekerja sama dengan negara terkait, dalam kerangka diplomasi pertahanan. Dalam konteks tersebut, situasi darurat perang dapat terjadi dengan meninjau kemungkinan-kemungkinan skenario pada lingkungan strategis yang meliputi jangkauan pengaruh (exposure) hot-spot konflik, kondisi stabilitas keamanan di setiap negara, dan agresivitas militer negara-negara tertentu di kawasan. Oleh karena itu, guna mengantisipasi situasi darurat yang ditimbulkan oleh ancaman dan gangguan di kawasan, diperlukan komunikasi intensif dengan negara-negara sahabat, khususnya melalui ASEAN Our Eyes, selaras dengan prioritas politik luar negeri Indonesia yang mengedepankan kepentingan negara-negara anggota ASEAN. Kebijakan yang lebih khusus adalah dengan meningkatkan status Trilateral Cooperative Arrangement (TCA) antara Indonesia, Malaysia dan Filipina. Hal ini karena, Malaysia dan Filipina merupakan dua negara yang dapat dipandang sebagai “perisai” bagi ancaman kedaulatan Indonesia dari arah utara.

Dalam hal situasi darurat yang melibatkan banyak negara di kawasan Indo-Pasifik, upaya antisipasi dalam menghadapi kemungkinan terburuk berdasarkan skenario yang mungkin terjadi adalah dengan menyepakati kerja sama yang lebih erat di bidang pertahanan (militer) di antaranya dengan menandatangani Status of Visiting Force Agreement(SOVFA) yang memperbolehkan pengerahan kekuatan militer secara terkoordinasi di antara negara bertetangga (ASEAN) untuk mengatasi situasi darurat tanpa dibatasi wilayah negara masing-masing dalam jangka waktu atau kondisi tertentu, atau paling tidak dalam melakukan latihan bersama (gabungan). SOVFA ini paling memungkinkan diterapkan dalam kerangka TCA antara Indonesia, Malaysia dan Filipina, dengan pemikiran bahwa “setiap serangan militer terhadap Malaysia dan Filipina, adalah juga serangan secara langsung terhadap Indonesia.”

Selain penandatanganan SOVFA, Indonesia perlu mengambil kebijakan alternatif dengan meningkatkan kerja sama operasi militer dengan negara-negara besar, misalnya terlibat dalam FONOP yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Namun, hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui penetapan status DEFCON III atau DEFCON II. Sedangkan, untuk status DEFCON IV, pendekatan joint operation dengan menggunakan Lanud Halim Perdana Kusumah (Jakarta) dan Lanud Juanda (Surabaya) untuk operasional pesawat surveillance P-8 Poseidon milik Amerika Serikat dalam mendukung FONOP di Laut China Selatan beberapa waktu lalu (Oktober 2020) sangat berisiko, sehingga berujung kepada keputusan penolakan. Mengingat kondisi saat ini berada pada kisaran status DEFCON IV hingga DEFCON II, opsi yang paling memungkinkan dan telah dilakukan adalah melaksanakan latihan militer bersama berskala besar, seperti Garuda Shield yang dilaksanakan antara Amerika Serikat dan Indonesia.

Strategi pertahanan yang menjadi payung utama pengerahan kekuatan militer di bawah skenario tersebut tidak akan berarti apapun tanpa adanya penguatan kemampuan industri pertahanan dan rantai pasokan logistik nasional, melalui kebijakan politik baik lingkup luar negeri dengan menjalin kerja sama pertahanan dan perdagangan, maupun lingkup dalam negeri dengan mengatur dan mengelola sumber daya pertahanan yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana prasarana yang diarahkan dalam penyiapan komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan.

Pengerahan dalam bentuk gelar kekuatan militer dilakukan di sepanjang perbatasan dan pangkalan aju (forward military base) yang dalam postur pertahanan Indonesia memiliki dasar hukum yang jelas. Beberapa wilayah yang menjadi pangkalan aju yaitu Natuna (Kepri), dan Tarakan (Kaltara) dapat disiagakan dalam menghadapi skenario agresi Tiongkok. Pangkalan aju lainnya seperti di Morotai (Malut), Selaru (Maluku), dan Biak (Papua) dapat disiapkan sebagai pelapis. Sementara akses perairan yang menjadi urat nadi pasokan logistik perlu diperkuat antara lain di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Jawa, Selat Makassar, dan Perairan Maluku. Kesiagaan Angkatan Udara dengan keberadaan skuadron interceptor (fighter wing) dapat diaktifkan di Lanud Roesmin Nuryadin (Pekanbaru), Lanud Supadio (Pontianak), Lanud Halim PK (Jakarta), Lanud Iswahyudi (Madiun), Lanud Dhomber (Balikpapan), dan Lanud Hasanuddin (Makassar). Berdasarkan skenario tersebut, kesiapan pasokan logistik pada pangkalan-pangkalan udara di pulau-pulau Indonesia menjadi tumpuan utama strategi bersama pengerahan kekuatan militer di teater Indo-Pasifik. Selain itu, sistem pertahanan udara teater harus disiagakan dalam kondisi prima dan masif, ditempatkan pada posisi-posisi strategis melindungi wilayah Indonesia.

Penguatan TCA melalui keberadaan Maritime Command Centre di Tarakan (Indonesia), Tawao (Sabah), dan Zamboanga (Filipina) dapat dilakukan dengan meningkatkan kapabilitas pangkalan-pangkalan militer di daerah tersebut, sehingga dapat menangkal serangan laut dan udara. Sementara Semenanjung Malaya, Singapura, Natuna, Sarawak, Brunei dan Sabah menjadi rantai pertahanan terdepan dalam menghadapi agresi Tiongkok. Oleh karena itu, komunikasi aktif dengan Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand dapat memperjelas perkembangan situasi, sehingga bantuan militer dan mobilisasi dapat dilakukan secara sinergis dan terintegrasi. Komunikasi ini juga dapat memaksimalkan peran ASEAN Our Eyes berikut Command Centre dan fasilitasnya. Hal yang perlu menjadi pertimbangan untuk diantisipasi adalah manuver cepat (unsur surprise) Tiongkok dapat dilakukan melalui Myanmar, Laos dan Kamboja yang merupakan negara ASEAN yang memiliki hubungan paling dekat dengan Tiongkok. Faktor India menjadi signifikan apabila Myanmar digunakan Tiongkok untuk melakukan agresi di kawasan. Sedangkan keberadaan kekuatan militer Amerika Serikat di Darwin (Australia), Okinawa (Jepang), serta di Guam dapat menjadi unsur pendukung bagi antisipasi agresi Tiongkok di kawasan. Kekuatan eksternal tersebut seharusnya dapat diandalkan dalam menetralisasi kekuatan militer Tiongkok di Kepulauan Spratly dan Paracel, atau lebih jauh lagi menghambat agresi militer Tiongkok terhadap Jepang dan Taiwan.

Penutup

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyiapan strategi pertahanan untuk melindungi kedaulatan Indonesia, menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, dilakukan langkah-langkah yang meliputi pemetaan situasi lingkungan strategis, mempertimbangkan skenario-skenario kedaruratan (kontinjensi) guna menentukan status kesiapan pertahanan atau Defence Ready Condition (DEFCON), penempatan gelar kekuatan militer di wilayah pertahanan, serta penggalangan guna menyatukan front bersama negara-negara sahabat menghadapi ancaman agresi militer.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia yang harus diambil guna mendukung strategi pertahanan yang efektif adalah melakukan diplomasi pertahanan, membangun confidence building measures, melaksanakan komunikasi aktif dengan negara-negara sahabat, khususnya negara-negara tetangga yang tergabung dalam ASEAN, dan mitranya (ASEAN-Plus) sebagai upaya pengkondisian kesiapan kerja sama militer yang lebih erat, sehingga secara bersama-sama dapat menangkal ancaman agresi militer di kawasan Indo-Pasifik.

Di samping itu, implementasi strategi pertahanan dalam rangka antisipasi kondisi darurat agar kedaulatan nasional Indonesia dapat terjamin serta terlindungi, penguatan wilayah pertahanan dilakukan melalui penerapan strategi pertahanan berlapis yang bertumpu pada pulau-pulau besar dengan memperkuat konektivitas antarpulau, pembangunan pangkalan aju, serta menambah kekuatan pertahanan di pulau-pulau besar dan perairan penghubung (termasuk selat-selat strategis) dengan kemampuan maksimal melakukan blokade akses.

Dalam rangka implementasi strategi tersebut, dapat direkomendasikan beberapa hal antara lain, Pemerintah perlu menyiapkan pengajuan Status of Visiting Force Agreement (SOVFA) bersama negara-negara anggota ASEAN agar dapat mempermudah prosedur latihan bersama, operasi bersama (khususnya OMSP), dan kerja sama yang melibatkan hubungan militer antarnegara. Selain itu, penyelenggaraan latihan militer bersama dengan negara-negara mitra ASEAN, khususnya Amerika Serikat merupakan kebutuhan utama pertahanan negara saat ini. Kerja sama serupa dengan Tiongkok untuk saat ini tidak dapat dilakukan (khususnya di wilayah Indonesia), meskipun Tiongkok juga adalah mitra utama ASEAN. Hal ini tidaklah menyalahi politik luar negeri bebas-aktif, dan bahkan politik luar negeri bebas-aktif itu sendiri memerlukan reinterpretasi dan redifinisi sesuai kepentingan dan keamanan nasional Indonesia. Dengan demikian, dapat ditegaskan kembali bahwa terpeliharanya kedaulatan nasional merupakan tujuan utama yang ditopang oleh strategi pertahanan dan kebijakan politik luar negeri.

Ikuti tulisan menarik Nazar Mohammad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler