x

Ilustrasi perjudian. Gambar oleh Thomas Wolter dari Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 16 Maret 2024 07:43 WIB

Puasa Kuasa

Dalam urusan kekuasaan, puasa memiliki relevansi yang tidak kalah penting. Bila kehidupan individu saja diperintahkan untuk jeda dari hal-hal yang dalam keadaan biasa diperbolehkan, apa lagi untuk urusan kekuasaan yang dalam bulan-bulan biasapun umumnya menyerempet hal-hal yang dianggap tidak etis. Apalagi saat berpuasa, maka jeda dari praktik-praktik kekuasaan yang tidak patut secara legalistik maupun etik semestinya dijalankan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di bulan Ramadhan, umat Muslim diwajibkan untuk menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang berpotensi menjadikan puasa kehilangan makna bagi yang berpuasa kecuali hanya lapar dan dahaga semata. Makan dan minum adalah tindakan-tindakan yang kasat mata dan bentuk puasa sederhana, tapi berpuasa sesungguhnya proses yang melampaui yang kasat mata. Capaian yang ingin diraih lewat berpuasa jauh melampaui urusan makan dan minum dan hal-hal lain yang bersifat jasmaniah.

Berpuasa berarti juga menahan diri dari pikiran-pikiran yang kurang baik, seperti bersikap tidak jujur, curang, sewenang-wenang, dan hal lain kurang baik lainnya yang terkait dengan kognitif, sikap, maupun perilaku. Ngrumpiin orang lain, bersikap julid, nge-buli, hingga berkata kasar termasuk mesti dihentikan saat seseorang berpuasa dengan harapan setelah puasa selesai, perilaku berubah jadi lebih baik. Memang begitulah, puasa dimaksudkan untuk membersihkan jiwa yang tercemari oleh hasrat duniawi.

Dalam diri manusia, hasrat kuasa seringkali tidak terbendung. Apalagi jika sudah pernah merasakan kenikmatan berkuasa, keinginan untuk terus duduk di kursi kekuasaan semakin menggebu-gebu. Ramadhan seharusnya jadi saat yang tepat bagi pemegang kuasa untuk berhenti sejenak, mengambil jeda, memulihkan pikiran dan hati agar tidak terlampau dikeruhkan oleh hasrat kuasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam urusan kekuasaan, puasa memiliki relevansi yang tidak kalah penting. Bila kehidupan individu saja diperintahkan untuk jeda dari hal-hal yang dalam keadaan biasa diperbolehkan, apa lagi untuk urusan kekuasaan yang dalam bulan-bulan biasapun umumnya menyerempet hal-hal yang dianggap tidak etis. Apalagi saat berpuasa, maka jeda dari praktik-praktik kekuasaan yang tidak patut secara legalistik maupun etik semestinya dijalankan.

Ramadhan seharusnya bisa menjadi momen introspeksi bagi siapapun yang sedang memegang kuasa. Setelah setiap hari sepanjang tahun menjalankan praktik kekuasaan yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, maka Ramadhan dapat menjadi momen bagi pemegang kekuasaan pada jenjang apapun untuk mengevaluasi diri. Ramadhan seharusnya menjadi momen bagi individu pemegang jabatan untuk berkaca diri, bukan untuk mematut-matut diri, melainkan untuk memberi penilaian secara jujur kepada diri sendiri.

Bagaimana menilai diri sendiri? Bisa dimulai dengan langkah sederhana, tapi memang butuh ‘keberanian’ untuk memberi penilaian secara jujur. Saat duduk sendiri di ruang kerja, ajukan beberapa pertanyaan sederhana kepada diri sendiri, misalnya apakah sebagai pemegang kekuasaan aku telah bertindak jujur, sudah berlaku adil, dan tidak mementingkan diri sendiri maupun keluargaku? Tiga pertanyaan pendahuluan ini membutuhkan jawaban yang jujur sebelum anda melangkah ke pertanyaan berikutnya. Bila tiga pertanyaan pendahuluan ini berhasil dilalui dengan rasa hati ‘plong’ tanpa ganjalan sama sekali, maka sebagai pemegang kekuasaan Anda akan lebih mudah menjawab pertanyaan berikutnya.

Soalnya ialah bagaimana pemegang kekuasaan mampu bersikap jujur mengenai dirinya sendiri, bukan sekedar mengajukan pertanyaan, tapi bersikap kritis dengan bertanya “apakah aku sudah bertindak adil terhadap rakyat”? Sanggupkah ia menjawab jujur pertanyaan ini? Ataukah ia akan memberi jawaban yang ia sendiri tahu benar bahwa jawaban itu tidak jujur? Ramadhan sebenarnya momen untuk introspeksi tentang hal ini: bersikap jujur kepada diri sendiri. Bersikap jujur pada diri sendiri setidaknya dapat menjadi awal untuk bersikap jujur kepada orang lain, kepada rakyat.

Bulan puasa, dinamika politik cenderung lebih tenang, karena itu para pemegang kuasa pun semestinya tidak memanfatkan kesempatan untuk menyusun siasat poltik yang merugikan rakyat banyak. Jadikan Ramadhan momen terbaik untuk introspeksi, muhasabah, dan memeriksa diri apakah sebagai penguasa telah menjalankan amanah rakyat dengan cara yang adil dan jujur, serta tidak semena-mena. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu