x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Selasa, 26 Maret 2024 11:52 WIB

Stop Manuver Politik, Hormati Pilihan Konstituen dan Proses di Mahkamah Konstitusi

Di tengah ikhtiar Tim Hukum Anies dan Ganjar mencari keadilan Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, sejumlah elit pendukung masing-masing kubu ini saling bermanuver. Langkah yang jauh dari bijak dan tidak mencerminkan level kompetensi dan integritas para pemimpin yang memahami rule of game Pemilu dan rangkaian prosesnya hingga tuntas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud akhirnya resmi mendaftarkan permohonan (gugatan) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kubu Anies mendaftarkan permohonan pada tanggal 21 Maret 2024, sementara kubu Ganjar pada tanggal 23 Maret 2024.

Berdasarkan timeline proses penyelesaian PHPU yang dirilis MK, persidangan dengan agenda pemeriksaan perkara akan mulai dilakukan tanggal 27 Maret mendatang. Kemudian sesuai ketentuan Pasal 475 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, total waktu yang disediakan untuk menyelesaikan dan memutus perkara PHPU ini adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi.

Proses penyelesaian perkara PHPU oleh MK, baik untuk Pileg maupun Pilpres, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan tidak boleh terputus dari rangkaian tahapan penyelenggaraan Pemilu. Dalam konstruksi hukum Pemilu kita, hasil akhir Pemilu menjadi final dan mengikat setelah proses PHPU ini tuntas digelar oleh MK.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan demikian, status Paslon Prabowo-Gibran yang telah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024 oleh KPU belumlah final. Berbagai kemungkinan masih bisa terjadi. Jika membaca substansi gugatan/permohonan kedua kubu yang dinyatakan kalah oleh KPU, sekurang-kurangnya ada empat kemungkinan yang masih bisa terjadi selain MK menolak permohonan kedua kubu.

Pertama, Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh TPS (versi permohonan kubu Anies dan Ganjar). Ini artinya Pilpres diulang dengan tetap diikuti oleh tiga Paslon. Kedua, PSU atau Pilpres diulang tanpa Paslon Prabowo-Gibran karena didiskualifikasi oleh MK (versi permohonan kubu Ganjar).

Ketiga, PSU dan Pilpres diulang dengan mendiskualifikasi status Gibran sebagai Cawapres (versi permohonan kubu Anies). Ini artinya, Prabowo dipersilahkan untuk mengganti posisi Gibran dengan figur lain sebagai Cawapres. Keempat, Pilpres dilanjutkan dengan putaran kedua yang diikuti oleh Paslon 02 dan Paslon urutan kedua, tergantung pergeseran perolehan suara yang mengakibatkan suara Prabowo-Gibran turun ke angka kurang dari 50% plus 1.

Menguji Dugaan Kecurangan dan Implikasinya terhadap Legitimasi Hasil Pemilu

Terlepas dari apapun putusan MK nanti, hemat saya langkah kubu Anies dan Ganjar mengajukan permohonan ke MK patut diapresiasi karena beberapa argumentasi berikut ini.

Pertama permohonan gugatan ini akan menjadi sarana sekaligus momentum strategis untuk membuktikan atau (sebaliknya menegasikan) dugaan berbagai kecurangan dalam perhelatan Pemilu, khususnya Pilpres.

Jika kedua kubu pemohon berhasil membuktikan dan meyakinkan para hakim konstitusi bahwa telah terjadi kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematik dan Masif (TSM), dan kecurangan TSM ini secara kuantitatif memengaruhi secara signifikan perolehan suara ketiga Paslon, maka para pihak harus dengan legawa menerima putusan ini.  Apapun amar putusan MK diantara keempat kemungkinan tersebut diatas.

Sebaliknya, jika kedua kubu pemohon gagal membuktikan dan meyakinkan para hakim konstitusi, dan dengan demikian Keputusan KPU sebagai obyek permohonan PHPU berstatus inkracht, maka para pihak yang berperkara (khususnya kubu Anies dan Ganjar) juga harus menerima dengan sportif. 

Dalam hal Putusan MK menolak permohonan kedua kubu untuk seluruhnya, yang artinya menguatkan Keputusan KPU secara teori mestinya hasil Pemilu legitimate. Dan legitimasi, penerimaan dan pengakuan publik atas hasil akhir Pemilu ini sangat penting karena berhubungan dengan legitimasi kepemimpinan politik di kemudian hari.

Mengkanalisasi Konflik      

Kedua, apresiasi juga patut diberikan kepada Anies dan Ganjar karena dengan mendaftarkan permohonan PHPU kepada MK pada hakikatnya kedua kubu telah menggeser konflik elektoral dari area publik ke ranah hukum.

Dengan cara demikian, ketidakpuasan atau kekecewaan para pendukungnya tidak perlu diekspresikan di jalanan yang potensial dapat memicu pertengkaran keras horisontal didalam masyarakat.

Begitulah memang sejatinya keadaban demokrasi modern. Para pihak berhak untuk tidak puas terhadap hasil Pemilu karena berbagai alasan. Namun ketidakpuasan itu tidak bisa dibiarkan meliar di jalanan. Untuk itulah peraturan perundang-undangan menyediakan ruang untuk menyelesaikan konflik sebagai dampak ketidakpuasan itu melalui mekanisme hukum yang telah disepakati bersama.

Jadi, proses penyelesaian perkara PHPU di MK merupakan kanalisasi konflik elektoral agar tetap dalam koridor hukum dan keadaban demokrasi. Dalam konteks harmoni sosial dan keutuhan berbangsa, kanalisasi konflik ini penting untuk memastikan negara tidak mengalami disintegrasi oleh sebab kontestasi kekuasaan sekeras dan setajam apapun.     

Menjaga Demokrasi, Menghindari Normalisasi Kecurangan

Ketiga, langkah kubu Anies dan Ganjar juga patut diapresiasi sebagai ikhtiar untuk menjaga demokrasi dari potensi kehancurannya oleh perilaku banal dan oportunis para elit politik yang cenderung menormalisasi kecurangan asal ambisi dan kepentingan politiknya terpuaskan.

Dalam kerangka kebutuhan inilah maka para pihak, baik kubu Prabowo-Gibran maupun kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mestinya sama-sama bersikap bijak dan sabar dengan cara tidak mengumbar manuver-manuver yang secara psikopolitik dapat menisbikan dan tidak menghormati proses konstitusional yang masih akan berlangsung pasca penetapan hasil Pemilu oleh KPU. Yakni proses penyelesaian PHPU di MK itu.

Pada kubu Prabowo-Gibran manuver-manuver politik itu misalnya dilakukan dengan mengumbar tawaran-tawaran transaksional kepada partai-partai anggota koalisi kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Atau ramai-ramai membicarakan jatah kementerian di lingkungan internal koalisinya sendiri.

Sementara di kubu Anies dan Ganjar, langkah Surya Paloh-Nasdem memberikan ucapan selamat dan menggelar karpet merah untuk Prabowo atau elit PPP yang menyatakan terbuka untuk bekerjasama dengan Prabowo-Gibran, hemat saya semuanya terlalu dini dilakukan.

Mereka semua seakan tidak faham, bahwa proses Pemilu belum selesai, dan kemenangan Prabowo-Gibran belum lagi final dan masih harus diuji secara hukum. Di mata publik yang kritis dan melek politik, manuver-manuver itu terkesan seperti ingin menormalisasi (dugaan-dugaan) kecurangan yang bukti-bukti indikatifnya bertebaran dalam banyak kasus di sepanjang tahapan Pemilu.

Manuver dan langkah-langkah politik itu, apapun alasan yang disematkan kepadanya, hemat saya jauh dari bijak dan tidak mencerminkan level kompetensi dan integritas para pemimpin yang memahami rule of game Pemilu dan rangkaian prosesnya hingga tuntas. Padahal regulasi kepemiluan mereka sendiri yang merumuskan. Dan sekarang mereka juga yang tidak menghormatinya.

Alih-alih menunjukan sikap bijak dan memberi teladan kepatuhan terhadap mekanisme hukum dan keadaban demokrasi pada publik, manuver dan langkah-langkah politik itu justru memperlihatkan secara telanjang watak asli mereka (baik di kubu Prabowo-Gibran maupun di sebagian kubu Anies dan Ganjar) yang terlampau pragmatis dan oportunis ! 

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler