x

Megawati

Iklan

Heru Subagia

Penulis, Pengamat Politik dan Sosial
Bergabung Sejak: 9 November 2022

Minggu, 26 Mei 2024 19:09 WIB

Benarkah Megawati Soekarnoputri Memilih Provokator Ketimbang Menjadi Negarawan?

Kemarahan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akhirnya pecah dalam acara Rakernas PDI-P V di Ancol Jakarta. Megawati Soekarnoputri dengan penuh amarah menunjukkan sikap politiknya di depan publik. Megawati Soekarnoputri menggaungkan dirinya menjadi provokator.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menarik sekali ketika Megawati Soekarnoputri tersulut nyalinya mengobarkan semangat perlawanan kepada pihak yang sudah dianggap melawan ataupun menjadi pengkhianat. Dengan nada tegas dan mengelegar menyatakan diri sebagai provokator. Lantas apa yang dimaksudkan dengan "menjadi provokator" dan siapa yang menjadi target tantangan tersebut?

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidato politik saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDI Perjuangan di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, Jumat (24/5/2024). 

Dalam isi pidato tesebut, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengakui bahwa dirinya kini merupakan seorang provokator demi kebenaran dan keadilan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lantas apa menyulut kemarahan Megawati Soekarnoputri hingga  muncul Memoar Politik Menjadi Provokator"?

Solidaritas Partai 

Penulis melihat Megawati Soekarnoputri sedang berada dalam sikap emosi yang sangat membara ditengah-tengah keramaian dan juga solidaritas kader PDIP yang sedang menjalankan rakernas tesebut. PDIP dan Megawati Soekarnoputri berada dalam satu kolektivitas kesadaran bersama dimana secara kepartaian PDIP sedang dirundung berbagai bencana politik naik karena gejolak internal atau faktor eksternal.

Latar belakang dimunculkan kata provokator diawali ketika Megawati menyinggung soal patung banteng yang tertusuk panah yang berdiri di sekitar arena rakernas. Kader PDIP yang loncat ke partai lain dan juga dukungan politik pencapresan kemudian terjadinya kemunduran suara dalam pileg 2024 serta kekalahannya pilpres amat telak . Tiga tersebut telah menegaskan kemarahan dan juga penegasan posisi politik hingga memunculkan Memoar Politik perlawanan " menjadi provokator".

Pemilu Curang 

Kekalahan politik yang dirasakan oleh PDIP diungkapkan juga karena faktor eksternal. Para pihak yang dituduh oleh PDIP dalam membantu, mendukung atau merekayasa kemenangan lawan. Para pihak tersebut ditujukan kepada MK, Jokowi , Gibran dan KPK. Dari keseluruhan hasil pemilu, PDIP nyatakan jika pemilu dinyatakan curang secara TSM ( terstruktur, sistematis dan massif).

Kecurangan Pemilu diawali dari intervensi kekuasaan dalam putusan 9 Mahkamah Konstitusi berkaitan ikut wakil presiden. PDIP berdalih jika MK terlibat penuh pengubahan aturan berkaitan batas sehingga bakal calon wakil presiden putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dapat melenggang menjadi Cawapres Prabowo.

Ketidakpuasan PDI-P dalam proses pemilu kembali ditudingkan ke Jokowi selaku presiden RI yang sedang menjabat. Nama Jokowi atau Presiden Joko Widodo bagi Mega yang harus disalahkan dalam skandal MK. Megawati mengatakan pengingkaran terhadap rakyat dibuktikan melalui praktik penyalahgunaan kekuasaan, dengan menggunakan sumber daya negara demi kepentingan elektoral. Intimidasi hukum terjadi atas nama kekuasaan.

Jokowi telah banyak menyalahkan gunakanlah kekuasaan untuk membantu kemenangan Paslon 02 ( Prabowo -Gibran) melalui kegiatan kebijakan bantuan sosial, ( bansos). Personal inilah yang  menjadi sorotan dalam gugatan perselisihan hasil pemilu. 

Kemarahan PDIP kembali memuncak ketika tuduhan kecurangan pemilu di MK tidak bisa diterima. PDIP kembali menuduh Jokowi melakukan intervensi di MK untuk memenangkan keputusan MK dan membatalkan semua tuntutan hukum ke Palson 02.

PDIP sekali lagi  tidak mengakui kemenagan Paslon 02 dan menolak hasil keputusan MK. Akhirnya PDIP kembali melanjutkan perjalanan gugatan hukumnya ke Peradilan Negara untuk menggugat penyelanggara pemilu yang diduga memenangkan Paslon 02. Dalam hal ini PDIP menggugat KPU sebagai bagian dari keseluruhan gugatan sebagai pihak penyelenggara negara berkaitan perselisihan anta lembaga.

PDIP mengajukan gugatan tersebut pada 2 April 2024 ke PTUN Jakarta. Pihak tergugat adalah KPU dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JKT dengan pihak penggugat PDIP diwakili oleh Megawati Soekarnoputri.

PDIP ke PTUN beda dengan yang dilayangkan ke MK. Gugatan ini membahas soal pelanggaran yang dilakukan KPU.

Catatan kritis 

Boleh Megawati Soekarnoputri saat ini menjadi provokator politik untuk dalih menyelamatkan bahasa dan negara. Namun Megawati Soekarnoputri tidak bisa mengeklaim mewakili seluruh rakyat Indonesia. Capres yang didukung hanya perolehan Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD: 27.040.878  dan Pileg hanya memperoleh 25.387.279 suara (16,72%)

Menjadi pertanyaan besar ketika Megawati Soekarnoputri sangat galak dan sangar ketika mendeklarasikan sebagai provokator disaat proses pemilu sudah ditetapkan. Ini tidak fair dan jentel yang ada justru Megawati Soekarnoputri dituduh sebagai pihak provokator yang mengajak untuk menolak dan menggagalkan hasil pemilu yang sudah ditetapkan KPU. Pertanyaan kemana saja kemarin saat terjadi sengketa pemilu, Megawati Soekarnoputri kok  diem dan cenderung bersahaja ? Galak dan sikap tegasnya mana.

Bukan Memoar Politik Kebangsaan 

Penulis menyakinkan jika Deklarasi Provokator oleh Megawati Soekarnoputri hanya gertak sambal politik. Tidak ada legacy kekuatan politik dan pengaruhnya terhadap hasil keputusan MK dan juga penetapan KPU. Megawati lupa pemilu sudah selesai dan Palson 02 menjadi pemenang.

Megawati terjebak euforia politik saat proses sidang dalam Rakernas PDI-P V di Ancol Jakarta. Megawati Soekarnoputri menunjukkan ekspresi kekecewaan dan kegelisahan politiknya dengan menggalang solidaritas kolektif dalam ruangan rakernas kader dan juga elite PDI-P.

Penulis melihat Megawati Soekarnoputri justru menunjukkan kekalahannya dalam kontestasi pemilu 2024 baik pileg dan juga pilpres. Menyalahkan para pihak yang mendukung kekalahan PDI-P. Kemudiannya Megawati Soekarnoputri terjebak dalam ilusi politik seolah-olah negara sedang darurat sipil dan dibutuhkan orator atau deklarasi politik mercusuar untuk menggalang simpati dan dukungan politik. 

Penutup 

Megawati lupa jika negara ini secara politik terbagi dalam banyak dukungan politik yang berbeda-beda. Disamping itu saat ini kondisi negara sedang aman dan terkendali. Rezim berdasarkan calon kekuatan di eksekutif dan legislatif. Pada akhirnya penulis menyebut Deklarasi Provokator tidak akan mengambil simpati masyarakat dan bukan memoar politik kebangsaan yang harus didengar dan diikuti oleh masyarakat Indonesia. Belum ada hal urgen untuk mendengarkan atau bahkan mematuhinya.

Deklarasi tersebut hanya berlaku untuk Kader PDI-P dan simpatisannya. Karpet merah "Memoar Politik Provokator" masih  terlalu ejakulasi dini dan eksklusif, hanya untuk dijadikan sebagai simbol inspirasi nilai perjuangan perlawanan kepada rezim berkuasa bukan menjadi inspirasi pergerakan perlawanan menjatuhkan rezim.

Baiknya Megawati Soekarnoputri dan PDI-P menyatakan peperangan politik dengan cara menjadi provokator. Menjadi bagian entitas politik yang produktif,  dilakukannya secara elegan dengan menjadi mitra rezim bari, menempati posisi di luar pemerintah atau oposisi. Karenanya harusnya bagian dari isu rakernas lebih fokus pada penggodokan materi bagaimana maksimal menjadi oposisi dan menjadikan isu dan perjuangannya untuk merebut simpati dan juga elektoral partai PDIP. Megawati Soekarnoputri selayaknya meniadakan isu dan kelakuan tidak produktif dan mengarahkan total perjuangan untuk menjadi negarawan sejati.

Ikuti tulisan menarik Heru Subagia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler