Mengenal Kesakralan Garuda Sebagai Burung Perkasa

Kamis, 5 September 2024 09:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Garuda kini menjadi perbincangan karena namanya banyak dipakai untuk berbagai hal. Ada sebagai lambang negara, ada sebagai istana, lalu ada garuda yang sakral secara keagamaan. Mari kita kenali lebih jauh.

Oleh: Mpu Jaya Prema

Garuda itu artinya burung. Bukan nama burung. Namun tidak semua burung itu bisa disinonimkan dengan garuda. Garuda adalah burung yang perkasa. Burung yang melindungi makhluk lain. Bahwa nama burung itu adalah rajawali, elang, gagak, emprit atau apa pun, tapi tidak melakukan perbuatan yang perkasa melindungi makhluk lain, maka burung itu tak layak disebut garuda. Begitulah seorang teman yang lama belajar di India menjelaskan kepada saya apa arti garuda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang saya ketahui hanya terbatas. Jika burung itu bernama Garuda Wisnu Kencana, maka itu adalah burung sakral karena ada dalam purana (himpunan kisah keagamaan) dalam agama Hindu. Burung sakral ini menjadi tunggangan (istilah di Bali: pelinggihan, istilah agamanya: stana) dari Dewa Wisnu, dewa pemelihara bumi. Sakral jika sebutan Garuda Wisnu Kencana itu menjadi satuan nama yang tak terpisahkan. Orang bisa menyebut nama Garuda saja, atau Wisnu saja, atau Kencana saja. Berapa banyak orang yang memakai nama yang ada kata Wisnu. Juga ada toko buku terkenal di Denpasar dengan nama Garuda Wisnu. Tidak ada masalah.

Karena itulah saya tidak setuju dengan adanya monumen dengan nama Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang jauh dari tujuan sakral di kawasan Nusa Dua, Bali Selatan.  Monumen GWK idenya dari pematung Nyoman Nuarta pada tahun 1989 dan konon disetujui oleh Presiden Soeharto setahun kemudian. Lalu saat ide itu dilontarkan ke masyarakat, banyak yang menentang. Saya, selaku Ketua Umum Forum Cendekiawan Hindu Indonesia, sejak 1994 sudah menentang keras berdirinya GWK karena melanggar prinsip kesakralan. Pro kontra cukup panjang dan akhirnya peletakan batu pertama berlangsung pula pada 8 Juni 1997, era Pak Harto.

Kenapa penolakan itu muncul? Patung berdiri di wilayah Bali Selatan, itu sudah melanggar prinsip dewata nawa sanga (tata letak dewa dalam Hindu). Dewa Wisnu ber-stana (tempatnya) di utara, kalau selatan adalah tempat Dewa Brahma. Lalu, monumen itu murni pariwisata. Saya pernah usulkan, kalau toh beralasan akronim GWK sudah diperkenalkan bertahun-tahun ganti saja sebutan menjadi Gerbang Wisata Kedamaian atau bisa pula Garuda Wahana Kepariwisataan. Pihak penggagas tetap ngotot GWK itu ya Garuda Wisnu Kencana.

Meski peletakan batu pertama sudah dilakukan pembangunan tetap macet. Pemerintah Bali dan para tokohnya sepakat bahwa monumen itu tidak layak diteruskan. Jadi tak ada bantuan apa pun dari pemerintah daerah selain izin pembebasan lahan. Rupanya Nyoman Nuarta tetap gesit – kegesitan ini memang layak dikagumi – akhinya pembangunan GWK dilanjutkan pada 2013 dengan “menjual” ke konglomerat Jakarta. Presiden Joko Widodo meresmikan GWK pada 22 September 2018 setelah presiden sebelumnya tak ada yang menaruh perhatian. Dan kita akhirnya menyaksikan bagaimana pentas musik dan berbagai pergelaran yang jauh dari kesakralan – bahkan menyimpang dari kaidah agama Hindu – dilakukan di bawah patung Garuda Wisnu Kencana itu.

Di Bali, patung Garuda Wisnu Kencana sebenarnya banyak dijual, meski pun hanya dipakai hiasan di rumah. Tapi masyarakat tetap menghormati kesakralannya secara terbatas, misalnya, tak akan menaruh patung itu di dapur, di kamar mandi, atau tempat-tempat kotor lainnya. Jika sudah disebut dengan garuda, maka itu dianggap burung suci dan perkasa.

Berapa banyakkah ada burung yang disebut garuda? Kalau secara nyata, saya justru tak punya referensi, burung apa saja yang disebut garuda. Di Bali ada Taman Burung tapi dari sekian ratus jenis burung tak ada informasi apakah ada yang disebut garuda.

Kalau garuda dalam kitab-kitab purana ada beberapa. Ada burung perkasa yang moncongnya tajam dan menjadi kendaraan para raksasa. Burung ini siap membela para raksasa dalam melaksanakan aksi jahatnya. Burung ini disebut Garuda Wilmana.

Kemudian ada burung garuda dalam cerita Ramayana bernama Sempati dan Jatayu. Keduanya adalah garuda yang menebarkan sifat cinta kasih, rela mengorbankan nyawanya untuk sesuatu yang mulia. Dalam cerita Ramayana yang hidup di Bali, yang ditonjolkan adalah peran Jatayu yang berusaha menyelamatkan Dewi Sita dari tangan Rahwana. Jatayu kalah bertarung. Saat dalam sekarat Jatayu ditemukan oleh Rama. Sebelum ajal, Jatayu memberitahu siapa yang melarikan Sita. Jatayu mencapai moksa berkat doa restu Rama. “Oh, Rama, engkaulah Dewa Wisnu,” begitu kata Jatayu. Dalam versi Bali, Jatayu disempurnakan jalan kematiannya dengan dipanah oleh Rama.

Sempati kurang menonjol dalam cerita Ramayana versi Bali. Di luar Bali masih populer bahkan nama Sempati pernah dipakai maskapai penerbangan di Indonesia. Mungkin karena Sempati tidak bertemu dengan Rama. Sempati ditemukan oleh sepasukan kera yang dipimpin Hanoman ketika menuju Alengka. Keadaan Sempati sudah mengenaskan, seluruh bulunya habis karena ditebas Rahwana. Ia tak bisa lagi terbang. Sebaliknya, pasukan kera itu mengalami kebutaan karena racun Sayempraba yang disebar pasukan Rahwana.

Sempati yang sudah dalam keadaan gundul masih bertahan hidup karena punya kekuatan dalam urat nadinya. Dalam urat nadi itu tersimpan mantram dari Resi Rawatmaja yang begitu sakti, bisa untuk berbagai penyembuhan. Sempati mengeluarkan mantram Resi Rawatmaja untuk menyembuhkan mata para kera itu. Ia berhitung, kera lebih berguna hidupnya sementara dirinya toh tak bisa terbang. Seluruh kera termasuk Hanoman menjadi sehat walafiat. Mereka pun segera berangkat menuju Alengka. Setelah pasukan kera itu hilang dari pandangannya, Sempati menemui ajalnya karena kekuatan urat nadinya telah habis.

Bagaimana dengan garuda yang kini dijadikan lambang negara? Garuda sebagai lambang negara juga tidak jelas, jenis burung apa itu. Para peneliti yang ditugaskan membuat lambang negara mempelajari berbagai ornamen garuda yang ada di candi-candi Nusantara seperti di Candi Prambanan, Mendut, Sukuh, Cetho. Sebuah panitia yang diketuai oleh Sultan Hamid II dari Pontianak kemudian berhasil menyusun lambang negara itu. Karena ini simbol negara maka semua ornamen burung itu ada artinya.

Moncong menoleh ke kanan berarti selalu membela kebenaran, ini konsep dalam pentas wayang kulit di mana kesatria yang membela kebenaran datang dari kanan. Warna keemasan melambangkan keagungan dan kejayaan. Sayap garuda berjumlah 17 lambang tanggal. Helai bulu pada ekor ada delapan lambang bulan. Helai bulu di pangkal ekor ada 19 dan bulu di leher ada 45 lambang tahun. Jadilah 17, 8, 1945, bilangan angka proklamasi kemerdekaan. Di dada garuda ada perisai (atau tameng) yang dikenal dalam peradaban Indonesia sebagai bagian senjata untuk perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri. Di perisai itu ada lambang-lambang Pancasila. Karena itu burung sarat lambang ini disebut Garuda Pancasila.

Garuda Pancasila diresmikan pemakaiannya dalam sidang kabinet 11 Februari 1960 dan diperkenalkan oleh Presiden Soekarno empat hari setelahnya. Meski sudah diresmikan, perubahan desain tetap dilakukan menyusul adanya masukan baru. Kepala garuda yang gundul kemudian ditambahkan jambul seperti yang terlihat sekarang sehingga lebih mirip burung Rajawali. Kaki garuda yang tadinya dibelakang pita bertulis Bhineka Tunggal Ika (diambil dari Kakawin Sutasoma yang berarti berbeda-beda tetap satu) diubah menjadi mencengkeram pita.

Bagaimana dengan Istana Garuda yang dijadikan istana kepresidenan di IKN, melambangkan apa? Tidak ada diskusi terbuka di masyarakat tentang konsep dan perlambangan itu. Bentangan sayap dengan jumlah bilah sebanyak itu melambangkan apa? Begitu juga soal tinggi, paruh burung dan seterusnya. Sayup-sayup ada terbaca soal kepala garuda yang menunduk itu. Penggagasnya, lagi-lagi Nyoman Nuarta, menyebutkan itu lambang garuda yang mengayomi Nusantara.

Mengayomi? Garuda itu burung perkasa yang melindungi makhluk lain dengan siap berperang. Sayapnya mengepak menantang musuh, paruhnya mendongak siap menerkam dan mematuk musuh. Kalau mengayomi itu bukan burung perkasa tetapi mungkin burung lain, atau ayam.

Dengan posisi moncong garuda menunduk dan sayapnya bukan mengepak maka garuda ini terkesan burung yang pasrah dan mengalah. Lalu orang pun menyindir kok kelihatan seperti kelelawar, apalagi kalau dipotret dari kejauhan. Atau sepintas mirip rumah adat di Pagaruyung Sumatra Barat. Bisa jadi karena desain Istana Garuda itu tidak diperdebatkan secara terbuka. Juga tanpa ada penelitian yang lebih intens, garuda jenis apa yang digunakan untuk istana ini. Tiba-tiba dibangun dan selesai. Bahwa nanti akan ada revisi atau perubahan sebagai mana lambang Garuda Pancasila, bisa saja terjadi. Tapi berapa biaya yang dibutuhkan untuk itu jika IKN memang dilanjutkan?

Intinya adalah garuda itu bisa divisualisasikan bermacam-macam tetapi tetaplah dia burung perkasa yang menjaga kedamaian, bukan burung merunduk dan mengalah. ***

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mpu Jaya Prema, mantan jurnalis yg menyepi di G Batukaru, Bali

Penulis Indonesiana

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler