Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Menuju Keselamatan Kolektif Ummat Islam

Selasa, 14 Januari 2025 17:15 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
\x200e5 Cara Mengatasi Rasa Putus Asa Saat Doa Belum Dikabulkan
Iklan

Siapa yang Allah memberinya petunjuk, dialah yang mendapat petunjuk. Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz

QS. Al-fatihah Ayat 7 :

Bismillahirrahmanirrahim

ِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

 

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَࣖ

artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat. (QS. Al-fatihah Ayat 7).

 

Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT sebagai jalan yang lurus (shirathal mustaqim), sebagaimana tercermin dalam Surah Al-Fatihah ayat 7 yang berbunyi "ghairil maghdubi 'alaihim waladdhallin". Ayat ini mengandung makna yang mendalam tentang petunjuk untuk menghindari jalan mereka yang dimurkai Allah dan jalan orang-orang yang sesat. Dalam konteks ini, Islam hadir sebagai pedoman yang komprehensif untuk membimbing manusia menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Islam Jalan Lurus.

QS. Al-fatihah ayat 6 :

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

artinya : Bimbinglah kami ke jalan yang lurus.

Islam sebagai "shirathal mustaqim" atau jalan lurus sebenarnya merupakan sebuah metafora spiritual yang sangat dalam. Ketika kita membahas tentang "jalan lurus", ini bukan sekadar konsep fisik atau dogmatis, melainkan representasi dari keseimbangan dan harmoni dalam pencarian spiritual manusia.

Dalam perspektif Al-Quran, konsep jalan lurus ini erat kaitannya dengan "hidayah" atau petunjuk ilahi. Namun, yang menarik adalah bahwa hidayah ini bersifat personal dan individual - tidak bisa dipaksakan atau ditransfer dari satu individu ke individu lain. Ini tercermin dalam ayat "innaka la tahdi man ahbabta walakinnallaha yahdi man yasya'" yang menunjukkan bahwa bahkan Nabi Muhammad SAW pun tidak memiliki otoritas untuk memberikan hidayah.

Ketika kita membahas Islam sebagai jalan lurus, penting untuk memahami bahwa "kelurusan" ini tidak selalu berarti kekakuan atau rigiditas. Sebaliknya, ia mencerminkan keseimbangan atau "wasathiyyah" - posisi tengah yang harmonis antara berbagai ekstrem. Ini mencakup keseimbangan antara aspek spiritual dan material, antara rasionalitas dan spiritualitas, serta antara kepentingan individu dan sosial.

Dalam implementasinya, konsep jalan lurus ini lebih merupakan proses pencarian personal daripada sebuah status yang tetap. Setiap individu memiliki perjalanan spiritualnya sendiri dalam menemukan dan menghayati makna jalan lurus ini. Ini sejalan dengan konsep "ihdinas shirathal mustaqim" yang merupakan doa yang terus-menerus dipanjatkan, menunjukkan bahwa pencarian akan jalan lurus adalah proses yang berkelanjutan.

Yang perlu ditekankan adalah bahwa pemahaman tentang Islam sebagai jalan lurus tidak bisa dilepaskan dari konteks keterbatasan manusia sebagai makhluk. Kita tidak bisa mengklaim pemahaman yang sempurna atau mutlak tentang apa itu "jalan lurus", karena pemahaman kita selalu dibatasi oleh keterbatasan persepsi dan kognitif manusiawi.

Oleh karena itu, konsep Islam sebagai jalan lurus sebaiknya dipahami sebagai panduan spiritual yang bersifat personal, di mana setiap individu bertanggung jawab atas pencarian dan penghayatan spiritualnya sendiri, dengan tetap menyadari keterbatasan pemahaman manusiawi dalam menangkap makna yang transenden.

Jalan Orang-Orang Yang Di beri Nikmat.

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

"Jalan orang-orang yang diberi nikmat" (shiratal ladzina an'amta 'alaihim) perlu dipahami secara mendalam dan filosofis.

"Nikmat" dalam konteks ini tidak bisa dimaknai secara sederhana sebagai kesenangan atau kemudahan duniawi. Ia lebih merujuk pada anugerah spiritual dan pencerahan ilahiah yang bersifat transenden. Para ulama tafsir mengidentifikasi mereka yang "diberi nikmat" ini sebagai para nabi, shiddiqin, syuhada, dan sholihin, namun identifikasi ini sebaiknya dipahami sebagai simbolisasi dari kualitas spiritual tertentu, bukan sekadar kategorisasi personal.

Dalam dimensi yang lebih mendalam, "jalan yang diberi nikmat" ini merupakan manifestasi dari keselarasan antara kehendak ilahi dan respons manusiawi. Ia bukan sekadar pemberian sepihak dari Allah, melainkan juga mencakup kesiapan dan keterbukaan spiritual dari pihak penerima. Ini sejalan dengan konsep "qabiliyyah" atau receptivitas spiritual dalam tradisi tasawuf.

Penting untuk dicatat bahwa pemahaman tentang "jalan yang diberi nikmat" ini tidak bisa dilepaskan dari konteks doa dan pengharapan. Ketika kita membaca "ihdinas shiratal mustaqim" yang dilanjutkan dengan "shiratal ladzina an'amta 'alaihim", kita sebenarnya sedang mengekspresikan kerinduan spiritual untuk mencapai tingkat kesadaran dan pencerahan yang lebih tinggi.

Dalam implementasi personalnya, konsep ini mengajak kita untuk memahami bahwa pencarian spiritual bukanlah perjalanan yang bersifat linear atau mekanis. Ia lebih merupakan proses yang melibatkan keterbukaan hati, kerendahan diri, dan kesadaran akan ketergantungan mutlak kita kepada Allah sebagai sumber segala nikmat.

Dengan demikian, "jalan yang diberi nikmat" lebih tepat dipahami sebagai kondisi spiritual di mana seseorang mencapai tingkat kesadaran dan kedekatan dengan Allah yang memungkinkannya menerima dan menghayati nikmat-nikmat spiritual yang bersifat transenden.

Bukan Jalan Yang Di murkai.

غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَࣖ

Yakni, bukanlah jalan yang dimurkai atau; "ghairil maghdubi 'alaihim" merujuk pada kelompok yang telah mendapatkan kemurkaan Allah SWT. Para ulama tafsir, termasuk Ibnu Katsir, menafsirkan bahwa kelompok ini adalah mereka yang telah mengetahui kebenaran namun dengan sengaja berpaling darinya. Mereka memiliki pengetahuan tentang ajaran yang benar, tetapi justru menentangnya karena kesombongan dan kepentingan duniawi. Karakteristik ini sering dikaitkan dengan sikap kaum Yahudi pada masa lampau yang menolak kebenaran meski telah mengetahuinya.

Sementara itu, "waladdhallin" mengacu pada mereka yang tersesat dari jalan kebenaran. Kelompok ini dicirikan oleh ketidaktahuan atau kesesatan dalam mencari kebenaran, seperti yang digambarkan pada kaum Nasrani yang menyimpang dari ajaran asli Nabi Isa AS. Mereka melakukan ibadah dan ritual keagamaan tanpa dasar ilmu yang benar, sehingga terjerumus dalam berbagai bentuk bid'ah dan kesesatan. Pemahaman tentang kedua kelompok ini menjadi penting sebagai pembelajaran bagi umat Islam untuk senantiasa menjaga kemurnian akidah dan ibadahnya.

Islam sebagai jalan tengah (wasathiyyah) menawarkan keseimbangan antara aspek spiritual dan material, antara ketaatan dan toleransi, serta antara keteguhan prinsip dan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan zaman. Ajaran Islam yang moderat ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari akidah, ibadah, muamalah, hingga akhlak. Moderasi Islam ini menjadi karakteristik utama yang membedakannya dari ekstremisme religious maupun liberalisme sekuler yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan.

Dalam implementasinya, konsep ini mengajarkan umat Islam untuk senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman hidup. Kedua sumber ajaran ini memberikan petunjuk yang jelas tentang bagaimana menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Pemahaman yang mendalam terhadap kedua sumber ini, disertai dengan bimbingan para ulama yang otoritatif, akan membantu umat Islam terhindar dari berbagai bentuk penyimpangan dan kesesatan dalam beragama.

Kesimpulannya, Islam sebagai jalan yang "ghairul maghdhu bi 'alaihim wa laddholiin" memberikan panduan komprehensif bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Melalui pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang benar, umat Islam dapat terhindar dari jalan yang dimurkai Allah maupun jalan kesesatan. Hal ini menuntut kesungguhan dalam menuntut ilmu, ketaatan dalam beribadah, serta konsistensi dalam mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

 

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَࣖ

 

Ayat ke-7 dari Surah Al-Fatihah ini mengandung makna yang sangat mendalam terkait tiga kelompok manusia dalam konteks petunjuk Allah SWT. Saya akan menguraikan maknanya secara komprehensif.

"Shiratal-ladzina an'amta 'alaihim" merujuk kepada kelompok pertama yaitu orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT. Mereka adalah para nabi, shiddiqin (orang-orang yang sangat teguh kepercayaannya), syuhada (para syuhada), dan sholihin (orang-orang saleh), sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa ayat 69. Kelompok ini mencerminkan mereka yang menjalankan Islam dengan pemahaman yang benar dan pengamalan yang konsisten.

"Ghairil maghdubi 'alaihim" menunjukkan kelompok kedua, yaitu orang-orang yang dimurkai Allah. Menurut tafsir yang masyhur, ini merujuk kepada mereka yang mengetahui kebenaran namun dengan sengaja menolak dan menentangnya. Mereka memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya, seperti yang dijelaskan dalam berbagai riwayat tentang karakteristik kaum yang mendapat kemurkaan Allah.

"Walad-dhallin" mengacu pada kelompok ketiga, yaitu orang-orang yang sesat dari jalan yang benar. Mereka adalah orang-orang yang beribadah tanpa ilmu yang benar, sehingga meskipun memiliki semangat dalam beribadah, namun tidak sesuai dengan tuntunan yang shahih. Kesesatan ini bisa terjadi karena ketidaktahuan atau karena mengikuti hawa nafsu.

Doa yang terkandung dalam ayat ini mengajarkan kita untuk senantiasa memohon hidayah agar termasuk dalam kelompok pertama dan terjaga dari menjadi bagian dari dua kelompok terakhir. Ini menekankan pentingnya menggabungkan antara ilmu yang benar dan pengamalan yang konsisten dalam menjalani ajaran Islam.

Dalam konteks kehidupan modern, ayat ini menjadi sangat relevan sebagai pedoman untuk:

1. Menuntut ilmu agama dari sumber yang otoritatif
2. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dengan istiqomah
3. Menjaga keseimbangan antara aspek lahir dan batin dalam beragama
4. Menghindari sikap ekstrem dalam beragama
5. Senantiasa memohon petunjuk Allah dalam setiap langkah kehidupan

Pemahaman mendalam terhadap ayat ini akan membantu seorang Muslim untuk menjalani kehidupannya di jalan yang lurus, sesuai dengan yang diridhai Allah SWT, serta terhindar dari kesesatan dan kemurkaan-Nya.

Bukan Jalan Misi Dalam Jalan Para Misionaris.

Hal, yang menjadai perkara, yakni, pertama, pernyataan bahwa, yang ingin saya kemukakan, tentang bahwa, "bunyi tekstual dalam ayat ini adalah bukan yang dapat didefinisikan sebagai misi" menunjukkan bahwa teks suci (dalam hal ini Al-Fatihah ayat 7) tidak bisa dibatasi hanya pada pemahaman harfiah semata. Ini sejalan dengan konsep dalam ushul fiqh bahwa makna teks tidak selalu identik dengan zhahir (makna permukaan) lafaznya.

Kedua, aspek "otoritas yang transenden bagi manusia dan absolut" yang kita ketahui bersama, bahwa, di sebutkan berkaitan erat dengan konsep sifat 20 dalam Islam. Allah SWT sebagai Dzat yang memiliki sifat "qiyamuhu binafsihi" (berdiri sendiri) menegaskan independensi mutlak-Nya dari segala makhluk. Ini adalah manifestasi dari tauhid  yang fundamental.

Ketiga, perspektif Anda tentang keterbatasan manusia sebagai makhluk dalam memahami Khaliq sangat relevan dengan konsep tanzih (mensucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk). Dalam tradisi kalam, ini dikenal sebagai prinsip "laysa kamitslihi syai'" - tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

Pernyataannya bagi kita semua juga dalam perkara yang menyentuh aspek epistemologis yang penting, dari, perkara, bagaimana manusia dengan keterbatasannya dapat memahami kehendak Allah yang tidak terbatas. Hal, ini mengingatkan pada konsep ma'rifatullah dalam tasawuf, di mana pengenalan terhadap Allah selalu bersifat terbatas dan bertingkat sesuai kapasitas spiritual seseorang.

Dalam konteks "qiyamuhu binafsihi", sifat ini memang merupakan manifestasi kesempurnaan Allah yang tidak membutuhkan apa pun selain Diri-Nya. Pemahaman ini menegaskan posisi manusia sebagai 'abd (hamba) yang sepenuhnya bergantung kepada Allah, sekaligus menegaskan kemutlakan otoritas-Nya dalam memberi petunjuk (hidayah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Refleksi filosofis ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa interpretasi tekstual ayat harus selalu mempertimbangkan dimensi transenden dan keterbatasan manusiawi dalam memahami kehendak Allah. Ini menjadi landasan penting dalam metodologi tafsir dan pemahaman keagamaan yang komprehensif.

Dengan, demikian, mereduksi ayat ke dalam bentuk doa dan harapan ini sebenarnya merupakan bentuk pengakuan akan keterbatasan manusia (al-'ajz al-basyari) dalam mencapai kesempurnaan pemahaman dan pengamalan. Ketika kita membaca "ihdinas shiratal mustaqim" yang dilanjutkan dengan penjelasan tentang "shiratal ladzina an'amta 'alaihim", sesungguhnya kita sedang menempatkan diri dalam posisi memohon dan berharap (raja').

Dalam aspek ajaran islam kita semua ummat islam diajarkan, mengucapkan "kalimat thoyyibah" yang mana, sebagai landasan masih menyoal pokok argumentasi yang tersebutkan sangat relevan karena menunjukkan tahapan awal dari proses spiritual manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ini sejalan dengan hadits "kalimah thoyyibah shadaqah" yang mengindikasikan bahwa ucapan yang baik merupakan bentuk amal yang bernilai ibadah.

Hadits nabi: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

artinya: Berkata yang baik adalah sedekah. (HR Bukhari)

Dalam tradisi tasawuf, konsep ini dikenal sebagai tahapan maqamat, di mana seseorang memulai perjalanan spiritualnya dari ucapan (qawl), kemudian niat (niyyah), hingga mencapai tingkatan amal (fi'l). Ini menegaskan prinsip bahwa setiap amal ibadah harus didasari oleh niat yang benar dan dimanifestasikan dalam ucapan yang baik.

Ketika kita memahami ayat ini sebagai doa, kita sebenarnya sedang mengakui dua hal fundamental:
1. Keterbatasan kita sebagai makhluk dalam mencapai kesempurnaan ibadah
2. Kebutuhan mutlak kita akan petunjuk dan pertolongan Allah dalam meniti jalan yang lurus

Pemahaman ini juga sejalan dengan konsep "al-du'a mukhul ibadah" (doa adalah inti ibadah), yang menegaskan bahwa pengakuan akan keterbatasan diri dan kebergantungan kepada Allah merupakan esensi dari peribadatan itu sendiri.

Dengan demikian, reduksi ayat menjadi bentuk doa dan kalimat thoyyibah bukanlah penyederhanaan yang merendahkan makna ayat, melainkan bentuk pemahaman yang tepat akan posisi kita sebagai hamba dalam relasi dengan Yang Maha Kuasa.

Petunjuk Allah Yang Tentukan.

Allah berfiman dalam QS. Al-kahfi Ayat 17 :

 

۞ وَتَرَى الشَّمْسَ اِذَا طَلَعَتْ تَّزٰوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَاِذَا غَرَبَتْ تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِۗ مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًاࣖ

 

artinya : Engkau akan melihat matahari yang ketika terbit condong ke sebelah kanan dari gua mereka dan yang ketika terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri, sedang mereka berada di tempat yang luas di dalamnya (gua itu). Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Siapa yang Allah memberinya petunjuk, dialah yang mendapat petunjuk. Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang penolong pun yang dapat memberinya petunjuk.
dalam redaksi ayat tersebut diantaranya :

 

مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًاࣖ

Redaksi ayat "Man yahdillahu fahuwal muhtadi wa man yudhlil falan tajida lahu waliyyan mursyida" ini memang mengandung makna yang sangat mendasar tentang konsep hidayah dalam Islam, di dalam QS. Al-kahfi, ayat 17 ini.

Kalimat pertama "Man yahdillahu fahuwal muhtadi" (Siapa yang Allah beri petunjuk, maka dialah yang mendapat petunjuk) menegaskan bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah SWT. Tidak ada kekuatan atau otoritas lain yang dapat memberikan petunjuk sejati selain Allah. Ini menegaskan konsep tauhid dalam konteks hidayah, bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.

Sedangkan kalimat kedua "wa man yudhlil falan tajida lahu waliyyan mursyida" (dan siapa yang Dia sesatkan, maka engkau tidak akan mendapati baginya seorang penolong yang dapat memberi petunjuk) semakin mempertegas batasan kemampuan manusia. Bahkan seorang wali atau pembimbing spiritual sekalipun tidak akan mampu memberikan petunjuk kepada seseorang yang telah Allah tetapkan dalam kesesatan.

Penggunaan kata "falan tajida" (maka engkau tidak akan mendapati) yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW sendiri memberikan pemahaman yang sangat dalam. Jika Nabi Muhammad SAW saja - sebagai manusia paling mulia - tidak mampu memberi petunjuk kepada orang yang Allah sesatkan, maka hal ini berlaku lebih kuat lagi bagi manusia biasa.

Ayat ini secara fundamental mengajarkan sikap tawadhu' (rendah hati) dalam konteks dakwah dan pemberian nasihat. Bahwa tugas kita hanyalah menyampaikan (tabligh), sedangkan hasil akhirnya sepenuhnya berada di tangan Allah SWT. Ini sejalan dengan firman Allah dalam ayat lain "Innaka la tahdi man ahbabta walakinnallaha yahdi man yasya'" (Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki).

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler