Jaring Pengaman Sosial dan Realitas Kemiskinan: Apa yang Masih Kurang?
Selasa, 4 Maret 2025 07:29 WIB
Kebijakan jaring pengaman sosial harus bertransformasi dari sekadar “bantuan” menjadi “pemberdayaan”.
***
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah mengalami kemajuan pesat dalam mengurangi kemiskinan. Namun, tren positif ini mulai mengalami stagnasi. Pandemi COVID-19, krisis ekonomi global, konflik geopolitik, hingga dampak perubahan iklim telah menghambat laju pengurangan kemiskinan. Jutaan orang yang sebelumnya berhasil keluar dari garis kemiskinan kini kembali terjerembab ke dalam jurang ketidakpastian ekonomi.
Organisasi internasional termasuk World Bank mencatat bahwa upaya mengurangi kemiskinan kini semakin sulit terutama di negara berkembang yang memiliki ketimpangan ekonomi tinggi dan akses sumber daya yang terbatas. Di tengah tantangan ini banyak negara mengandalkan Social Safety Net (SSN) atau Jaring Pengaman Sosial sebagai instrumen utama dalam melindungi masyarakat miskin dan rentan. SSN mencakup berbagai program seperti bantuan tunai, subsidi pangan, program kesehatan gratis, hingga kebijakan perlindungan tenaga kerja.
Negara-negara dengan sistem SSN yang kuat mampu merespons krisis dengan lebih baik, mengurangi dampak ekonomi terhadap kelompok paling rentan, dan memastikan bahwa masyarakat tetap memiliki akses terhadap kebutuhan dasar. Namun efektivitas SSN bergantung pada seberapa baik sistem ini dijalankan mulai dari akurasi data penerima manfaat hingga transparansi dalam distribusinya.
World Bank sendiri memiliki pendekatan tersendiri dalam mengukur kemiskinan. Secara global, kemiskinan sering dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan ekstrem sebesar $2,15 per hari (PPP). Namun untuk negara dengan tingkat pendapatan menengah seperti Indonesia, standar yang lebih tinggi sering digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang kondisi ekonomi masyarakat.
Selain itu, World Bank juga mempertimbangkan Multidimensional Poverty Index (MPI) yang tidak hanya melihat aspek pendapatan tetapi juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lainnya. Dengan metode ini kemiskinan tidak lagi hanya diukur berdasarkan seberapa besar uang yang dimiliki seseorang, tetapi juga dari kualitas hidupnya secara keseluruhan.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan tersendiri dalam menanggulangi kemiskinan. Jaring pengaman sosial memang telah menjadi bagian dari strategi pemerintah tetapi efektivitasnya masih sering diperdebatkan. Di satu sisi program bantuan sosial telah membantu banyak masyarakat keluar dari kesulitan. Namun di sisi lain sistem ini sering dikritik karena persoalan politisasi, ketidaktepatan sasaran, dan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan jangka pendek.
Lantas, bagaimana sebenarnya kondisi kemiskinan di Indonesia saat ini? Apakah sistem jaring pengaman sosial kita sudah cukup kuat untuk mengurangi angka kemiskinan secara berkelanjutan? Mari kita telaah lebih dalam.
Di Indonesia upaya pengentasan kemiskinan telah menjadi bagian dari tanggung jawab negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Sementara itu, Pasal 34 UUD 1945 menegaskan peran negara dalam perlindungan sosial. Pada ayat (1) disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Kemudian, ayat (2) menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Untuk merealisasikan amanat konstitusi tersebut pemerintah Indonesia telah menerbitkan berbagai kebijakan salah satunya melalui Perpres No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Peraturan ini mengatur strategi nasional dalam mengurangi kemiskinan melalui tiga pilar utama yaitu program bantuan sosial berbasis rumah tangga miskin, pemberdayaan masyarakat, serta pemberian akses terhadap peluang usaha dan pekerjaan.
Selanjutnya, diterbitkan Keppres No. 10 Tahun 2011 yang memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga dalam mengimplementasikan kebijakan pengentasan kemiskinan secara lebih efektif dan terintegrasi.
Jika melihat dari aspek kebijakan langkah yang diambil oleh pemerintah dalam pengentasan kemiskinan sebenarnya sudah cukup inovatif. Kebijakan yang tertuang dalam berbagai regulasi merupakan bentuk adaptasi dari konsep Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net/SSN) yang telah direkomendasikan secara global. Namun meskipun secara teori kebijakan ini tampak ideal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasinya masih jauh dari sempurna. Ada dua aspek utama yang perlu dikritisi dalam melihat efektivitas program ini, yaitu dari sisi formal dan non-formal.
Secara formal regulasi yang ada memang telah dirancang untuk mengintervensi kemiskinan dengan berbagai skema bantuan dan pemberdayaan. Namun kebijakan ini sering kali gagal menangkap realitas sosial dan budaya di Indonesia yang sangat beragam.
Salah satu kelemahan mendasarnya adalah cara pandang kebijakan yang masih bertumpu pada indikator ekonomi konvensional seperti tingkat pendapatan individu. Padahal Indonesia memiliki struktur sosial dan ekonomi yang sangat heterogen terutama di daerah pedesaan dan pelosok yang masih mengandalkan sistem ekonomi agraris dan subsisten. Dalam kondisi ini pendapatan bukanlah satu-satunya ukuran kemiskinan.
Ada masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap tetapi masih bisa bertahan hidup dengan sistem ekonomi komunal dan pertanian subsisten. Jika hanya mengandalkan standar moneter banyak kelompok yang sebenarnya tidak sepenuhnya miskin tetapi tetap masuk dalam kategori penerima bantuan, sementara kelompok yang benar-benar rentan justru terlewat.
Oleh karena itu, perlu ada evaluasi dalam cara pemerintah mengukur kemiskinan, agar program bantuan lebih tepat sasaran dan mampu merefleksikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara lebih komprehensif.
Dari sisi non-formal permasalahan yang muncul adalah efek jangka panjang dari skema bantuan yang ada. Bantuan tunai atau bantuan langsung sering kali tidak menciptakan kemandirian tetapi justru menimbulkan ketergantungan. Alih-alih memberdayakan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan, banyak program bantuan justru membuat penerima pasif dan menunggu bantuan berikutnya tanpa ada mekanisme yang mendorong mereka untuk meningkatkan kapasitas ekonomi mereka sendiri.
Masalah ini semakin kompleks ketika bantuan sosial mulai dipolitisasi, di mana distribusinya tidak selalu berdasarkan kebutuhan, tetapi lebih kepada kepentingan elektoral. Akibatnya, masyarakat miskin tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga menjadi bagian dari strategi politik tertentu.
Dari semua permasalahan ini, pertanyaan fundamentalnya adalah: Apakah kebijakan jaring pengaman sosial yang ada benar-benar berhasil membawa masyarakat keluar dari kemiskinan? Apakah ketimpangan antara si kaya dan si miskin berkurang? Dan yang paling penting, apakah kebijakan ini memberikan dampak jangka panjang?
Jika merujuk pada standar yang digunakan World Bank dalam mengukur kemiskinan, kebijakan yang ada belum sepenuhnya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kemiskinan bukan sekadar masalah kekurangan pendapatan, tetapi juga mencakup ketidakadilan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi yang setara. Selama skema bantuan masih lebih banyak berorientasi pada distribusi jangka pendek tanpa strategi pemberdayaan yang berkelanjutan maka angka kemiskinan mungkin berfluktuasi tetapi akar permasalahan kemiskinan itu sendiri tidak akan terselesaikan.
Maka diperlukan pendekatan yang lebih progresif dalam melihat dan menangani kemiskinan di Indonesia. Kebijakan jaring pengaman sosial harus bertransformasi dari sekadar “bantuan” menjadi “pemberdayaan”, dari sekadar menyalurkan dana menjadi menciptakan kemandirian ekonomi bagi masyarakat miskin. Tanpa perubahan paradigma ini kemiskinan akan tetap menjadi siklus yang berulang dan kebijakan yang ada hanya menjadi tambal sulam tanpa solusi jangka panjang.

Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta
0 Pengikut

Koalisi Gemuk setelah Pilkada 2024 Melemahkan atau Menjaga Napas Demokrasi?
Kamis, 19 Juni 2025 19:56 WIB
Jaring Pengaman Sosial dan Realitas Kemiskinan: Apa yang Masih Kurang?
Selasa, 4 Maret 2025 07:29 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler