Koalisi Gemuk setelah Pilkada 2024 Melemahkan atau Menjaga Napas Demokrasi?

Kamis, 19 Juni 2025 19:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kabinet Prabowo-Gibran
Iklan

Membahas mengenai koalisi gemuk pemerintahan prabowo setelah Pilkada 2024 apakah melemahkan atau jutsru menjaga napas demokrasi hari ini.

***

Pilkada Serentak 2024 menghadirkan dinamika baru dalam politik lokal Indonesia. Di berbagai daerah konfigurasi dukungan politik menunjukkan kecenderungan yang sama dimana hampir seluruh partai besar bersatu dalam satu barisan mendukung pasangan calon kepala daerah. Fenomena ini sering disebut sebagai Koalisi Gemuk dan menjadi ciri yang membedakan pilkada kali ini dengan kontestasi sebelumnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alih-alih mencerminkan lemahnya demokrasi, koalisi gemuk bisa dimaknai sebagai upaya konsolidasi politik nasional yang turun ke level lokal. Ini mencerminkan semangat menyatukan kekuatan politik dalam menghadapi tantangan besar secara kolektif mulai dari ketidakpastian ekonomi global, ancaman perubahan iklim, hingga ketegangan geopolitik kawasan. Tapi dalam waktu yang sama fenomena ini juga menuntut perhatian serius terhadap kondisi demokrasi lokal dan ruang kompetisi politik yang sehat.

Konsolidasi Politik dan Agenda Penguatan Kelembagaan

Pola koalisi gemuk yang menguat di banyak daerah menunjukkan adanya arus keseragaman politik yang bersumber dari pusat. Setelah kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dan terbentuknya Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+), banyak partai politik di daerah menyesuaikan diri dengan arah nasional. Akibatnya sejumlah besar pasangan calon diusung oleh hampir seluruh partai di parlemen daerah menciptakan konfigurasi yang kuat, besar, dan terkoordinasi.

Dari perspektif kelembagaan kondisi ini dapat dilihat sebagai bentuk penguatan institusi politik secara vertikal. Dalam konteks sistem presidensial terutama di negara dengan multipartai seperti Indonesia konsolidasi kekuatan politik dapat memperlancar jalannya pemerintahan. Dukungan mayoritas legislatif terhadap eksekutif memungkinkan pelaksanaan kebijakan yang lebih efektif, cepat, dan minim konflik politik terbuka.

Menurut teori Party System Institutionalization dari Mainwaring, Bizzarro, dan Petrova (2018), sistem partai yang terinstitusionalisasi dicirikan oleh keberlanjutan, otonomi, dan koherensi organisasi. Bila konsolidasi pusat-daerah ini mendorong penguatan struktur internal partai dan keselarasan antarlevel kekuasaan secara fungsional maka ini dapat memperkuat stabilitas demokrasi itu sendiri.

Namun, bila partai daerah kehilangan ruang deliberatif dan hanya menjadi pelaksana instruksi elite pusat maka kekuatan struktural ini berubah menjadi kerentanan sistemik. Proses rekrutmen politik kehilangan kemandirian lokal dan agenda pembangunan bisa tercerabut dari konteks wilayahnya sendiri.

 

Ruang Kompetisi dan Relevansi Penguatan Demokrasi

Tantangan utama dari koalisi gemuk bukan pada stabilitas yang ditawarkannya melainkan pada menyempitnya ruang kompetisi politik. Di banyak daerah masyarakat tidak lagi dihadapkan pada pilihan calon yang beragam. Bahkan di beberapa wilayah hanya ada satu pasangan calon yang maju melawan kotak kosong.

Dalam kerangka teori Mainwaring dkk, ini disebut sebagai tanda decay atau kemunduran institusionalisasi sistem partai karena hilangnya kompetisi dan daya tarik partai di mata publik. Demokrasi tanpa pilihan bukanlah demokrasi yang hidup. Ia berubah menjadi proses administratif yang sekadar menggugurkan prosedur bukan ajang seleksi kepemimpinan berdasarkan kualitas dan visi.

Dampaknya mulai terasa yaitu partisipasi pemilih menurun, kritik terhadap DPRD melemah karena minimnya oposisi, dan elite politik lokal kian terjebak dalam logika transaksional bukan ideologis. Ketika semua partai ada di satu poros kekuasaan siapa yang menjalankan fungsi kontrol?

Karena itu, penguatan demokrasi dalam konteks konsolidasi politik lokal harus dilakukan dengan menata kembali ruang kompetisi. Koalisi besar bukan masalah selama ia tidak menutup jalan bagi alternatif. Stabilitas penting tapi stabilitas yang kokoh harus ditopang oleh kompetisi yang sehat.

Partai politik tetap dituntut menjaga basis sosialnya dengan membuka ruang kaderisasi yang otonom serta memperkuat mekanisme internal agar tidak menjadi sekadar perpanjangan tangan elite nasional. Pemerintah juga perlu mendorong format pilkada yang menjamin keterbukaan dan akses adil bagi semua aktor politik untuk berpartisipasi.

Fenomena koalisi gemuk tidak serta-merta mengancam demokrasi tetapi menuntut kehati-hatian dalam mengelolanya. Konsolidasi adalah bagian dari pembangunan kelembagaan politik yang solid. Namun, bila konsolidasi terjadi tanpa kompetisi maka berisiko membangun kekuatan yang rapuh dan stabil di permukaan tetapi kehilangan legitimasi publik dalam jangka panjang.

Pilkada adalah ruang belajar demokrasi yang paling dekat dengan warga. Bila ruang itu sepi lawan dan sunyi suara alternatif maka demokrasi kehilangan napasnya. Maka tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa dalam stabilitas demokrasi tetap bernapas.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rifki Ali Aziz

Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler